Orang orang intelegtual memiliki peran penting dalam
sejarah peradaban di dunia. Namun, tak jarang, para intelegtual mengkhianati
masyarakat.
Dalam kasus
Indonesia, keberadaan “mafia Barkeley” disebut banyak pihak sebagai wujud
pengkhianatan kaum intelektual.
Mafia Barkeley
merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh penulis Amerika
Serikat, David Ransom, dalam majalah Ramparts, edisi 4
tahun 1970. Istilah ini merujuk pada ekonom-ekonom Indonesia lulusan University
of California, Berkeley yang menjadi arsitek utama perekonomian Indonesia pada
masa akhir 1960-an dan saat Orde Baru berkuasa.
Dalam artikel
tersebut, Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA)
untuk menggulingkan Soekarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia,
mendudukan Soeharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan
ekonomi yang berorientasi pada Barat.
Kekinian, di zaman
kiwari, dunia intelektual Indonesia juga mengalami kemandekan. Ariel Heryanto,
Kepala Pusat Studi Asia Tenggara di University of Melbourne, Australia, tahun
2012 pernah membeberkan data yang menunjukkan kaum intelektul Indonesia
terbilang tak produktif.
Menurut Ariel,
peneliti Indonesia berada di posisi terendah dalam menghasilkan karya ilmiah
mengenai negerinya sendiri kalau diperbandingkan dengan peneliti dari lima
negara ASEAN.
Skor persentase
karya mengenai Indonesia yang ditulis intelektual dalam negeri hanya 7.1.
Sementara skor persentase intelektual Singapura jauh lebih tinggi, yakni 53.5;
Brunei 35.7; Malaysia 25.1; Filipina 24.1; dan Thailand, 18.8.
Menurutnya, fenomena tersebut bermula
sejak era Orde Baru, ketika beragam institusi pendidikan didirikan dengan
tujuan komersial, yakni mengeruk keuntungan.
Ia sendiri adalah lulusan master Ilmu
Perencanaan Ekonomi Politik Peoples' Friendship University of Russia—lebih
dikenal dengan nama Patice Lumumba University—pada era Uni Soviet. Ia juga
doktor bidang politik ekonomi dari Plekhanov Russian University of Economics,
juga era Soviet.
Soesilo
melakukan studi di Uni Soviet selama 11 tahun, yakni sejak tahun 1962 sampai
1973. Namun, ketika kembali ke Indonesia, ia ditangkap dan dijebloskan ke
penjara oleh rezim Orde Baru karena dianggap kader Partai Komunis Indonesia.
Kekinian,
Soesilo terus berkarya menghasilkan banyak karangan, merawat perpustakaan
Pramoedya Ananta Toer, sekaligus bekerja sebagai pemulung.
Soesilo Toer
mendapatkan beasiswa dengan mengikuti tes beasiswa dan lulus di Moscow ibu kota
Soviet Rusia. memulai pendidikan di Moscow pada tahun 1962. Sebelumnya Soesilo
Toer adalah mahasiswa Universitas Indonesia.
Sewaktu menempuh
S2 di Patice Lumumba University, Soesilo Toer lulus cume laude. Sedangkan
program doktor didapat dari Plekhanov Russian University of Economics. Selain
berkuliah, Soesilo Toer juga banyak menulis artikel.
Soesilo Toer
mengatakan bahwa perberbedaan di kalangan intelektual pada
era sebelum dan sesudah tragedi 1965 terdapat perbedaan penguasa. Pada
era Bung Karno, rezim mendukung setiap kemajuan intelektual dan kebudayaan.
Pendidikan ditujukan untuk memajukan bangsa. Karenanya, kaum intelektual bebas
berpolemik, mengkritik, selama bertujuan untuk memajukan bangsa.
Tapi setelah era
Bung Karno, terutama pada rezim Soeharto, pendidikan justru
dikomersialisasikan. Alhasil, iklim intelektualnya berubah. Tak ada yang berani
berpolemik, mengkritik.
Kalau polemik
itu kan, dalam suasana intelektual, harus dijawab dengan polemik juga. Tapi
ketika era Orde Baru tidak, malah dibalas dengan represi. Misalnya, kantor
Pramoedya Ananta Toer pernah digranat. Intelektualitas dibalas kekerasan.
Pada masa era bung Karno banyak negara negara yang menawarkan ke Indonesia agar mahasiswa mahasiswa Indonesia belajar ke negara mereka secara gratis.
Akan tetapi dulu pada masa bung Karno, mahasiswa mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri di haruskan pulang ke tanah air, berbakti kepada negara dan rakyat.
Akan tetapi ketika bung Karno turun, banyak mahasiswa mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri tidak mau pulang, kepana ? karena tidak mau mengikuti kemauan penguasa.
Pada masa orde baru setelah Bung Karno turun maka dilakukanlah pembersihan intelegtual kritis.
Pembersihannya macam-macam caranya. Biasanya intelijen bergerak. Digertak. Semua intelektual yang dianggap “merah” (Marxis atau bahkan Komunis) diintai. Jadi, setiap mahasiswa yang baru pulang dari luar negeri diintai.
Kiprah intelegtual pada masa orde baru bermacam macam, ada yang pro pemerintahan dan ada yang kontra pemerintahan, menurutnya (Soesilo Toer) fenomena ini disebabakan perbedaan cara berpikir.
Menurut Soesilo Toer " tergantung intelektual itu masing-masing. Kalau dia banyak membaca buku, mempunyai banyak pengalaman praktik di kalangan rakyat, maka akan menolak Soeharto.
Soesilo Toer menanggapi tentang kaum intelegtual pada masa reformasi, yaa sama saja seperi era orde baru, ada yang mendukung pemerintahan dan ada juga yang kritis.
Pada Saat era Bung Karno berakhir dan Soeharto berkuasa, setiap intelektual benar-benar diteliti. Misalnya kalau mau menjadi pegawai pemerintah, apa terindikasi “merah”? Kalau iya, akan “dibersihkan”. Akhirnya, banyak mahasiswa dan intelektual yang menganggur, tak bisa menerapkan ilmu-ilmunya. Mereka yang dianggap “merah” tak bisa bekerja untuk negerinya sendiri
Menurut Soesilo Toer, Kenapa Indonesia pada saat sekarang ini dinilai kekurangan tenaga ahli dalam banyak bidang, sehingga dengan Malaysia pun kita sekarang kalah majunya dalam banyak bidang keilmuan ?
Kembali kepada tatanan pemerintahan, pada saat sekarang ini kenapa menjadi seperti itu, hanya ada satu jawaban yaitu Cara mengurusnya Salah. Pemerintah maupun lembaga pendidikan pada saat sekarang ini orang orangnya banyak yang sok.
Selain itu, banyak lembaga pendidikan, seperti perguruan tinggi, didirikan justru untuk ladang bisnis pemiliknya. Ada pula yang membangun lembaga pendidikan untuk membangun kelompok tersendiri, yang ditujukan untuk mengambil pengaruh golongannya sendiri.
Alhasil, anak-anak bangsa, ketika mengikuti pendidikan seperti itu, tidak tahu apa-apa. Bahkan, soal masa depannya sendiri mereka tak tahu
dan satu lagi menurut Soesilo Toer Kenapa Intelektual Indonesia banyak yang dinilai tak bisa menganalisis akar masalah masyarakatnya sendiri ?
jawabannya adalah bisa jadi karena Marxisme, sebagai filsafat, maupun sebagai perangkat analisis ekonomi-politik-budaya mumpuni justru dilarang atau setidaknya dikucilkan oleh banyak intelektual sejak era Orba. Orang-orang yang berbau ‘merah’ menjadi takut.
menurut Soesilo Toer, seharusnya ilmu ya tetap ilmu, jangan ada yang menyangkut pautkannya dengan politik. Inilah yang menyebabkan intelektualitas serta kreatifitasnya menurun. Secara langsung itu bisa dikatakan pemberangusan intelektual.
Akan tetapi dulu pada masa bung Karno, mahasiswa mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri di haruskan pulang ke tanah air, berbakti kepada negara dan rakyat.
Akan tetapi ketika bung Karno turun, banyak mahasiswa mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri tidak mau pulang, kepana ? karena tidak mau mengikuti kemauan penguasa.
Pada masa orde baru setelah Bung Karno turun maka dilakukanlah pembersihan intelegtual kritis.
Pembersihannya macam-macam caranya. Biasanya intelijen bergerak. Digertak. Semua intelektual yang dianggap “merah” (Marxis atau bahkan Komunis) diintai. Jadi, setiap mahasiswa yang baru pulang dari luar negeri diintai.
Kiprah intelegtual pada masa orde baru bermacam macam, ada yang pro pemerintahan dan ada yang kontra pemerintahan, menurutnya (Soesilo Toer) fenomena ini disebabakan perbedaan cara berpikir.
Menurut Soesilo Toer " tergantung intelektual itu masing-masing. Kalau dia banyak membaca buku, mempunyai banyak pengalaman praktik di kalangan rakyat, maka akan menolak Soeharto.
Soesilo Toer menanggapi tentang kaum intelegtual pada masa reformasi, yaa sama saja seperi era orde baru, ada yang mendukung pemerintahan dan ada juga yang kritis.
Pada Saat era Bung Karno berakhir dan Soeharto berkuasa, setiap intelektual benar-benar diteliti. Misalnya kalau mau menjadi pegawai pemerintah, apa terindikasi “merah”? Kalau iya, akan “dibersihkan”. Akhirnya, banyak mahasiswa dan intelektual yang menganggur, tak bisa menerapkan ilmu-ilmunya. Mereka yang dianggap “merah” tak bisa bekerja untuk negerinya sendiri
Menurut Soesilo Toer, Kenapa Indonesia pada saat sekarang ini dinilai kekurangan tenaga ahli dalam banyak bidang, sehingga dengan Malaysia pun kita sekarang kalah majunya dalam banyak bidang keilmuan ?
Kembali kepada tatanan pemerintahan, pada saat sekarang ini kenapa menjadi seperti itu, hanya ada satu jawaban yaitu Cara mengurusnya Salah. Pemerintah maupun lembaga pendidikan pada saat sekarang ini orang orangnya banyak yang sok.
Selain itu, banyak lembaga pendidikan, seperti perguruan tinggi, didirikan justru untuk ladang bisnis pemiliknya. Ada pula yang membangun lembaga pendidikan untuk membangun kelompok tersendiri, yang ditujukan untuk mengambil pengaruh golongannya sendiri.
Alhasil, anak-anak bangsa, ketika mengikuti pendidikan seperti itu, tidak tahu apa-apa. Bahkan, soal masa depannya sendiri mereka tak tahu
dan satu lagi menurut Soesilo Toer Kenapa Intelektual Indonesia banyak yang dinilai tak bisa menganalisis akar masalah masyarakatnya sendiri ?
jawabannya adalah bisa jadi karena Marxisme, sebagai filsafat, maupun sebagai perangkat analisis ekonomi-politik-budaya mumpuni justru dilarang atau setidaknya dikucilkan oleh banyak intelektual sejak era Orba. Orang-orang yang berbau ‘merah’ menjadi takut.
menurut Soesilo Toer, seharusnya ilmu ya tetap ilmu, jangan ada yang menyangkut pautkannya dengan politik. Inilah yang menyebabkan intelektualitas serta kreatifitasnya menurun. Secara langsung itu bisa dikatakan pemberangusan intelektual.
Dikutip dari Suara.com
Ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya.
Semoga bermanfaat.
Ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya.
Semoga bermanfaat.
No comments:
Post a Comment