SAYA MOHON MAAF JIKA DI DALAM BLOG SAYA TERDAPAT KESALAHAN DAN KEKURANGAN DALAM MEYAMPAIKAN KARNA SAYA JUGA MANUSIA YANG TIDAK LEPAS DARI KESALAHAN BAGI PENGUNJUNG MOHON KRITIK DAN SARANNYA UNTUK SAYA

Wednesday, April 29, 2015

Peperangan di Masa Rasulullah

   




            Perang adalah sesuatu yang tidak disukai oleh jiwa manusia. Karena dalam peperangan manusia dihadapkan dengan kesusahan fisik dan mental. Perang juga memisahkan manusia dari keluarga dan kerabat. Bahkan perang bisa berakibat berpisahnya ruh dari jasadnya. Allah Ta’ala berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Bertolak belakang dengan keinginan jiwa manusia, realitanya perang selalu mengiringi kehidupan mereka. Perang selalu terjadi dalam kurun perjalanan sejarah dengan motif dan tujuan yang beragam. Ada yang berperang karena memperebutkan sumber daya, ada pula karena ambisi merebut dunia, bahkan perang pun terjadi karena kisah cinta laki-laki dan wanita. Artinya, perang adalah sebuah keniscayaan.
Banyak agama dan aliran kepercayaan menolak kalau mereka dianggap mengajarkan peperangan, meskipun faktanya mereka telah melakukan pembantaian. Sementara agama Islam secara jujur menyatakan perang termaktub dalam fikihnya. Keniscayaan perang ditata dan diatur dalam Islam dengan penuh kebijaksanaan dan kemuliaan. Islam mengajarkan perang yang penuh adab dan akhlak. Islam mengajarkan perang yang bernilai ibadah, bukan membantai, membunuh membabi buta, penuh dendam dan kezaliman. Islam mengajarkan perang yang berkonsekuensi hidup mulia atau wafat menjemput syahadah, bukan kemenangan yang menindas dan kekalahan yang hina. Oleh karena itu, Ali bin al-Hasan mengatakan,
كُنَّا نُعَلَّمُ مَغَازِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَرَايَاهُ كَمَا نُعَلَّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Kami mempelajari (kisah) peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perjalanan hidup beliau sebagaimana kami mempelajari surat di dalam Alquran.” (al-Jami’ li-l Akhlaqi-r Rawi wa Adabu-s Sami’ li-l Khatib, No. 1616).
Pada tulisan kali ini, penulis tidak membahas hikmah dari peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tulisan ini hanya merupakan catatan ringkas dari peperangan yang terjadi di zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai titik mula bagi para pembaca untuk mempelajari dan mengkaji kisah-kisah peperangan Rasulullah lebih mendalam lagi.

Ibnu Hisyam menyatakan ada 27 peperangan yang terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun hanya tujuh di antaranya yang terjadi kontak senjata yakni :
Perang Badar
Perang Uhud
Perang Khandaq
Perang Bani Quraidhah
Perang Bani Musthaliq
Perang Khaibar
Perang Fath Makkah
Perang Hunain
Perang Tabuk

Perang Uhud

Perang Uhud (Bahasa Arab: غزوة أحد‎ Ġazwat ‘Uḥud) berlaku pada hari Sabtu, 7 Syawal atau 11 Syawal tahun ketiga hijrah (26 Mac 625 M) adalah peperangan antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin Quraisy  Mekah yang terjadi pada tahun 3 Hijriah di Gunung Uhud. Gunung kecil yang terdiri dari batu hitam diselimuti oleh tanah kering ini tingginya 1050 meter, terletak di sebelah barat laut Madinah, tepatnya 5 km arah utara dari Masjid Nabawi dan arah selatan dari Gunung Tsur. Peristiwa pertempuran ini terasa begitu dahsyat dan memberikan dampak emosional, 70 Orang Syuhada gugur dan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terluka. Berikut kami ulas secara singkat  Kisah pertempuran Uhud dan hikmah dibalik musibah yang menimpa kaum muslimin. Bismillahirrahmanirrahim..
Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja menyelimuti kota Makkah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa kaum Musyrikin Quraisy tak mampu menyembunyikan duka lara mendalam perihal kekalahan telak mereka pada perang Badar tahun ke-2 Hijriyah, hati mereka tersayat pilu tak terkira. Berita kalahnya pasukan Quraisy terasa begitu cepat menyebar keseluruh penjuru kota Makkah, bak awan bergerak menutupi celah celah langit yang kosong di musim penghujan. Namun sangat disayangkan, kekalahan telak kaum paganis Quraisy pada perang itu tak mampu merubah sikap bengis mereka terhadap kaum muslimin. Dendam kesumat nan membara tertancap kokoh dalam hati mereka, tewasnya tokoh-tokoh Quraisy berstrata sosial tinggi pada peristiwa nahas itu semakin menambah kental kebencian Quraisy terhadap kaum muslimin.
Persiapan pasukan Quraisy
Tokoh-tokoh Quraisy seperti  Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayah, dan Abu Sufyan bin Harb (sebelum mereka masuk Islam) bangkit sebagai pelopor-pelopor yang sangat getol mengobarkan api balas dendam terhadap Islam dan pemeluknya. Para orator ulung bangsa Arab tersebut menempuh langkah-langkah strategis  untuk memuluskan program balas dendam tersebut, mula-mula mereka melarang warga Makkah meratapi kematian korban tewas perang Badar kemudian menunda pembayaran tebusan kepada kaum muslim untuk membebaskan tawanan Quraisy yang masih tersisa di Madinah. Mereka sibuk menggalang dana untuk menyongsong aksi balas dendam, mereka datang kepada para pemilik kafilah dagang Quraisy yang merupakan pemicu utama terjadinya perang Badar, seraya menyeru :
”Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh Muhammad telah menganiaya kalian serta membunuh tokoh-tokoh kalian! Maka bantulah kami dengan harta kalian untuk membalasnya! Mudah-mudahan kami bisa menuntut balas terhadap mereka.”
Rencana tersebut mendapat respon hangat dari masyarakat Quraisy, kontan dalam waktu yang sangat singkat terkumpul dana perang yang cukup banyak berupa 1000 onta dan 50.000 keping mata uang emas. Sebagaimana yang Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir pada ayat ketigapuluh enam dari surat Al-Anfal:
Sesungguhnya orang-orang kafir itu mereka menginfakkan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah…
Hari demi hari tampak upaya mereka mendapat hasil signifikan. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu satu tahun saja mereka mampu menghimpun pasukan tiga kali lipat lebih besar dibanding jumlah pasukan Quraisy pada perang setahun lalu (perang Badar) ditambah fasilitas persenjataan yang memadai terdiri dari 3000 onta, 200 kuda dan 700 baju besi, jumlah total pasukan tidak kurang dari 3000 prajurit ditambah lima belas wanita bertugas mengobarkan semangat tempur dan menghalau pasukan lari mundur kebelakang.
Bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan Quraisy adalah Abu Sufyan bin Harb, adapun pasukan berkuda dibawah komando Khalid bin Al Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, sementara panji- panji perang dipegang para ahli perang dari Kabilah Bani Abdud Dar, dan barisan wanita dibawah koordinasi Hindun bintu ’Utbah istri Abu Sufyan. Terasa lengkap dan cukup memadai persiapan Quraisy dalam periode putaran perang kali ini, arak-arakan pasukan besar sarat anarkisme dan angkara murka kini tengah merangsek menuju Madinah menyandang misi balas dendam.
Sampainya kabar kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Beliau menerima surat rahasia dari Al Abbas bin Abdul Mutthalib paman beliau yang masih bermukim di Makkah. Kala itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Quba, Ubay bin Ka’ab diminta untuk membaca surat tersebut dan merahasiakan isinya. Beliau bergegas menuju Madinah mengadakan persiapan militer menyongsong kedatangan ’tamu tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita pergerakan pasukan kafir Quraisy menyebar keseluruh penjuru Madinah, tak ayal kondisi kota itu mendadak  tegang , penduduk kota siaga satu, setiap laki-laki tidak lepas dari senjatanya walau dalam kondisi shalat. Sampai-sampai mereka bermalam di depan pintu rumah dalam keadaan merangkul senjata.
Majelis musyawarah militer
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan para sahabatnya sembari  bersabda :
Demi Allah sungguh aku telah melihat pertanda baik, aku melihat seekor sapi yang disembelih, pedangku tumpul, dan aku masukkan tanganku didalam baju besi, aku ta’wilkan sapi dengan gugurnya sekelompok orang dari sahabatku, tumpulnya pedangku dengan gugurnya salah satu anggota keluargaku sementara baju besi dengan Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpendapat agar tetap bertahan di dalam kota Madinah dan meladeni tantangan mereka di mulut-mulut lorong kota Madinah. Pendapat ini disetujui oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, Abdullah bin Ubay  memilih pendapat ini bukan atas pertimbangan strategi militer melainkan agar dirinya bisa dengan mudah kabur dari pertempuran tanpa mencolok pandangan manusia.  Adapun mayoritas para sahabat, mereka cenderung memilih menyambut tantangan Quraiys di luar Madinah dengan alasan banyak diantara mereka tidak sempat ambil bagian dalam perang Badar, kali ini mereka tidak ingin ketinggalan untuk ’menanam saham’ pada puncak amalan tertinggi dalam Islam (JIHAD).  Hamzah bin Abdul Mutthalib sangat mendukung pendapat ini seraya berkata :
”Demi Dzat Yang menurunkan Al Qur’an kepadamu, sungguh Aku tidak akan makan sampai Aku mencincang mereka dengan pedangku di luar Madinah.”
Dengan mempertimbangkan berbagai usulan para sahabat akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memutuskan untuk menjawab tantangan Quraisy di medan terbuka luar kota Madinah. Dan meninggalkan selera Abdullah bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H beliau memberi wasiat kepada para sahabat agar bersemangat penuh kesungguhan dan bahwasannya Allah akan memberi pertolongan atas kesabaran mereka. Lalu mereka shalat Ashar dan Beliau beranjak masuk kedalam rumah bersama Abu Bakar dan Umar bin Al Khathab, saat itu beliau mengenakan baju besi dan mempersiapkan persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan sikap mereka yang terkesan memaksa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk keluar dari Madinah, tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam keluar mereka berkata :
”Wahai Rasulullah, kami tidak bermaksud menyelisihi pendapatmu, putuskanlah sekehendakmu! Jika engkau lebih suka bertahan di Madinah maka lakukanlah!”
Beliau menjawab:
”Tidak pantas bagi seorang nabi menanggalkan baju perang yang telah dipakainya sebelum Allah memberi keputusan antara dia dengan musuhnya.”
Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membagi pasukan Islam menjadi tiga batalyon : Batalyon Muhajirin dibawah komando Mush’ab bin Umair, Batalyon Aus dikomando oleh Usaid bin Hudhair dan Batalyon Khazraj dipimpin oleh Khabbab bin Al Mundzir . Jumlah total pasukan Islam hanya 1000 orang, dengan perlengkapan fasilitas serba minim berupa 100 baju besi dan 50 ekor kuda (dikisahkan dalam sebuah riwayat: tanpa adanya kuda sama sekali) dalam perang ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam disebuah tempat yang dikenal dengan Asy Syaikhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyeleksi beberapa para sahabat yang masih sangat dini usia mereka diantaranya Abdullah bin Umar bin Al Khathab, Usamah bin Zaid, Zaid bin Tsabit, Abu Said Al Khudry dan beberapa sahabat muda lainnya, tak urung kesedihan pun tampak di wajah mereka dengan terpaksa mereka harus kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya ditolak oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan aksi penggembosan dalam tubuh pasukan Islam. Musuh Allah ini berhasil memprovokasi hampir sepertiga jumlah total pasukan, tidak kurang dari 300 orang kabur meninggalkan front jihad fisabilillah. ’Manusia bermuka dua’ ini memang sengaja melakukan aksi penggembosan ditengah perjalanan agar tercipta kerisauan di hati pasukan Islam sekaligus menyedot sebanyak mungkin kekuatan muslimin.
Strategi militer Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sang ahli strategi militer mengatur barisan pasukan dan membagi tugas serta misi mereka. Beliau menempatkan 50 pemanah di bukit Ainan bertugas sebagai sniper-sniper dibawah komando Abdullah bin Jubair bin Nu’man Al Anshary, Beliau memberi intruksi militer seraya bersabda :
Gempurlah mereka dengan panah-panah kalian!Jangan tinggalkan posisi kalian dalam kondisi apapun! Lindungi punggung-punggung kami dengan panah-panah kalian! Jangan bantu kami sekalipun kami terbunuh! Dan jangan bergabung bersama kami sekalipun kami mendapat rampasan perang!. Dalam riwayat Bukhari:jangan tinggalkan posisi kalian sekalipun kalian melihat burung-burung telah menyambar kami sampai datang utusanku kepada kalian!
Sesampainya di Uhud kedua pasukan saling mendekat, panglima kafir Quraisy Abu Sufyan berupaya memecah persatuan pasukan Islam, dia berkata kepada kaum Anshar: ”Biarkan urusan kami dengan anak-anak paman kami (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan kaum Muhajirin)! Maka kami tidak akan mengusik kalian, kami tidak ada kepentingan memerangi kalian!”
Akan tetapi, upaya Abu Sufyan tidak menuai hasil karena kokohnya keimanan kaum Anshar. Justru sebaliknya, mereka membalasnya dengan ucapan yang amat pedas yang membuat panas telinga orang yang mendengarnya.
Awal mula pertempuran
Thalhah bin Abi Thalhah Al Abdary pemangku panji perang kafir Quraisy, seorang yang dikenal sangat mahir dan pemberani maju menantang mubarazah (duel), secepat kilat Zubair Ibnul Awwam menerkam dan membantingnya, Thalhah tak berdaya melepas nafas terakhirnya dengan leher menganga. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir dan bertakbirlah kaum muslimin.
Bangkitlah Abu Syaibah Utsman bin Abi Thalhah mengibarkan kembali panji tersebut, dengan penuh kesombongan menantang duel, secepat kilat pula Hamzah bin Abdul Mutthalib menghantam pundaknya dengan sabetan pedang yang sangat kuat hingga menembus pusarnya tak ayal tangan dan pundaknya terlepas, Utsman tersungkur tak berdaya meregang nyawa. Berikutnya Abu Sa’ad bin Abi Thalhah mengambil panji tersebut namun seiring dengan itu anak panah Sa’ad bin Abi Waqash menembus kerongkongannya.
Musafi’ bin Abi Thalhah memberanikan diri mengangkat kembali panji Quraisy namun ia tewas mendadak tersambar runcingnya anak panah Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah. Berikutnya Kilab bin Thalhah bin Abi Thalhah saudara kandung Musafi’ mengibarkan kembali panji itu namun ia segera roboh ketanah mengakhiri hidupnya setelah pedang Zubair bin Al Awwam menyambar badannya. Al Jallas bin Abi Thalhah segera menopang kembali menopang panji itu, namun sabetan pedang Thalhah bin Ubaidillah segera memecat nyawa dari tubuhnya. Keenam pemberani tersebut berasal dari satu keluarga kabilah Bani Abdi Dar.
Kemudian Arthah bin Syurahbil maju namun Ali bin Abi Thalib tak membiarkannya hidup lama menenteng panji dan langsung melibasnya, realita yg sungguh spektakuler, tidaklah seorang pun dari kaum musyrikin mengambil panji tersebut melainkan terenggut nyawanya hingga genap sepuluh orang menemui ajalnya disekitar panji perang musyrikin. Setelah itu tak ada seorang pun dari mereka yang bernyali mengambil panji yang tergeletak di bumi Uhud.
Perang pun Berkobar
Genderang perang semakin nyaring saja bunyinya, kucuran darah, ringkikan kuda, dencing suara pedang  beradu semakin menambah warna kental suasana bumi Uhud saat itu. Perang berkecamuk merata di setiap titik bak kobaran api menjalar membakar rerumputan kering, jagoan-jagoan Islam benar-benar menampakkan kehebatan dan kepiawaian mereka dalam putaran perang kali ini, militansi pasukan Islam merupakan buah dari kekuatan iman yang merasuk dan terpatri kuat dalam hati mereka, seakan-akan iman telah memenuhi setiap pembuluh darah mereka, kecilnya jumlah tak menciutkan nyali para pejuang demi tegaknya agama Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi. Mereka begitu yakin bahwa kematian tidak akan dipercepat dengan perang dan tidak pula diundur dengan meninggalkannya.
Bermodalkan iman dan semangat membaja mereka bertawakal kepada Rabbul Alamin menggadaikan nyawa mereka demi kenikmatan abadi disisi Allah subhanahu wa ta’ala –Al-Jannah (surga). Kala itu Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sebilah pedang seraya bersabda,
”Siapa yang hendak mengambil pedang ini sesuai dengan haknya?” Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu dan sejumlah para shahabat bergegas maju, berizin untuk mengambil pedang itu. Namun, meski demikian, beliau  belum juga menyerahkannya kepada salah seorang pun hingga Abu Dujanah Simak bin Kharasyah radhiyallahu ‘anhu maju, sembari berujar, ”Apa hak pedang itu wahai Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam?” ”Engkau sabetkan pada musuh sampai bengkok,” jawab beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. “Aku yang akan mengambil dengan haknya, wahai Rasulullah,” pinta Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu. Barulah setelah itu, beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam memberikannya kepadanya.
Az-Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu ‘anhu menuturkan: “Muncul dalam hatiku kekecewaan tatkala Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam menolak permintaanku, Aku berkata dalam hatiku, ’Aku adalah anak bibi beliau Shafiyah bintu Abdul Muththalib. Aku dari bangsa Quraisy. Aku lebih dahulu meminta pedang itu, namun justru beliau memberikannya kepada Abu Dujanah dan menolakku. Demi Allah, aku akan perhatikan sepak terjang Abu Dujanah!’ Maka aku selalu mengikutinya. Mula-mula ia memakai surban merah. Kaum Anshar berkata, ’Apakah Abu Dujanah keluar dengan surban kematian?’ Ia pun keluar sembari mendendangkan syair-syair.”
Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu melibas setiap musuh yang menghadangnya, tidak ada satu musuh pun yang ia lewati melainkan menjadi seonggok mayat, ia menggempur, menyibak barisan musuh sampai menembus pertahanan Quraisy paling belakang yaitu barisan prajurit wanita Quraisy. Kalau bukan karena kemuliaan pedang Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuh seorang wanita, tentunya kepala Hindun bintu Utbah telah lepas dari badannya. Namun Abu Dujanah radhiyallahu ‘anhu menarik pedang yang sudah berada tepat diatas kepala Hindun (sebelum masuk Islam), ia menghindar dan meninggalkan komandan pasukan wanita Quraisy itu sembari berkata, ”Allah subhanahu wa ta’ala dan RasulNya lebih mengetahui.”
Gugurnya Paman Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu sebagai Syahid
Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu seorang yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela Islam, orang yang tidak pernah merasa takut melawan kezhaliman, pemberani dan mahir dalam perang menggempur jantung pertahanan musuh bak singa jantan menerkam mangsa, mengamuk, menumbangkan setiap lawan tanpa hambatan, musuh kocar-kacir bak daun-daun kering diterpa angin. Singa Allah subhanahu wa ta’ala dan Singa RasulNya ini tak membiarkan satu lawan pun kecuali terlibas olehnya, namun tanpa ia sadari tiba-tiba sebuah lembing tajam milik Wahsyi bin Harb (yang pada waktu itu belum masuk Islam) telah lama mengintainya, menusuk dan merobek perutnya. Ia gugur sebagai syahid.
Abu Bakar, Umar bin Al-Khathab, Sa’ad bin Abi Waqash dan seluruh pasukan Islam radhiyallahu ‘anhum mengerahkan segala keberanian menggempur dan memporak-porandakan pertahanan lawan yang semakin rapuh. Pasukan Quraisy kalang-kabut tak mampu memberi perimbangan terhadap serangan pasukan Islam. Barisan musuh semakin kacau-balau. Tak pelak, mereka lari centang-perenang meninggalkan medan laga, dan lalai dengan ambisi buruk yang selama ini mereka impikan. Prajurit wanita Quraisy lari terbirit-birit ke perbukitan sembari menyingsingkan pakaian hingga tersingkap betis-betis mereka.
Begitulah Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberi pertolongan kepada hamba-hambaNya selama mereka menolong agamaNya.
Kesalahan Fatal Pasukan Pemanah
Kaum muslimin unggul diatas angin menguasai medan laga. Tak ada perlawanan yang berarti dari Quraisy, mereka lari terbirit-birit meninggalkan harta benda yang melimpah. Kaum muslimin merasa telah keluar sebagai pemenang. Rasanya tak ada pekerjaan lain, kecuali sibuk mengumpulkan harta rampasan perang yang tercecer. Mulailah kecintaan terhadap dunia menghinggapi hati sebagian besar pasukan pemanah. Mereka khawatir akan tidak mendapat bagian rampasan perang. Mereka meninggalkan bukit strategis itu dan lalai terhadap wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Komandan pasukan pemanah, Abdullah bin Jubair Al-Ansharyradhiyallahu ‘anhu, mengingatkan mereka seraya berkata,
“Lupakah kalian dengan wasiat Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam?”
Namun apa daya, mereka tak mengindahkan nasehat sang komandan. Empat puluh orang pasukan turun meninggalkan tugas inti mereka.
Kini pertahanan inti kaum muslimin dalam kondisi rawan. Jantung pertahanan pasukan Islam melemah tanpa mereka sadari. Kholid bin Al-Walid, salah satu komandan pasukan berkuda Quraisy, tak membiarkan kesempatan emas itu lewat begitu saja. Panglima perang yang tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran baik ketika masih kafir maupun setelah masuk Islam itu secepat kilat memutar haluan arah pasukan kuda Quraisy. Ia memacu kudanya dengan segala ambisi merebut posisi paling strategis, yaitu bukit para pemanah. Musuh menyergap dan mengepung sisa pasukan pemanah. Para pemanah tak kuasa menghalau serangan mendadak itu. Sepuluh orang pemanah gugur satu persatu fi sabilillah berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala –semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai mereka semua–.
Kuda Kholid bin Walid meringkik dengan suara yang dikenali pasukan Quraisy. Seorang wanita Quraisy, ’Amrah Al-Haritsiyyah, memungut dan mengibarkan kembali panji perang yang tergeletak sejak awal pertempuran. Quraisy bersatu dan bangkit semangat mereka untuk menyerang balik. Mereka mengepung kaum muslimin dari dua arah. Posisi kaum muslimin terjepit dan dengan mudah mereka membantai para mujahidin. Kini musuh mampu menguasai bukit. Kemudian mereka merangsek menyerang sisa pasukan Islam yang lain. Posisi mereka seakan berada diantara gigi-gerigi mesin penggilas. Pertahanan kaum muslimin semakin rapuh. Kondisi berubah seketika.
Barisan pasukan Islam semakin kacau balau. Susah membedakan antara kawan dan lawan. Bahkan ada diantara mereka yang saling menyerang karena gaduh dan gawatnya kondisi. Ayah Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma pun menjadi korban salah sasaran.
Kabar dusta kematian Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu, duta Islam pertama di Madinah, salah satu pemegang panji komando, tewas di tangan Ibnu Qim’ah. Setelah berhasil membunuhnya, ia berteriak, ”Muhammad telah tewas!” karena menyangka bahwa Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu adalah Rasulullahshallalallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Mush’ab adalah seorang shahabat yang bentuk fisik dan perawakannya sangat mirip dengan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Teriakan itu kontan membuat semangat para shahabat radhiyallahu ‘anhum turun drastis. Di sisi lain, serangan Quraisy semakin membabi buta terhadap pasukan Islam hingga terbunuh sejumlah shahabatradhiyallahu ‘anhum.
Jiwa pasukan Islam lemah tak tahu kemana mereka akan melangkah. Sebagian mereka terduduk tak tahu apa yang ditunggu, bahkan sebagian mereka berpikir untuk menghubungi Abdullah bin Ubay bin Salul –salah satu tokoh munafiqin– guna meminta perlindungan keamanan dari Abu Sufyan (yang ketika itu belum masuk Islam).
Kala itu Anas bin An-Nadhri  radhiyallahu ‘anhu melewati mereka seraya berkata,
”Apa yang kalian tunggu?” Mereka berkata, ”Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam telah terbunuh,” jawab mereka lemas. ”Apa yang kalian pikirkan terhadap kehidupan sepeninggal beliau?! Bangkit dan matilah kalian diatas matinya Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam!” Lalu ia berkata, ”Ya Allah, aku meminta udzur atas sikap mereka (muslimin), dan aku berlepas diri dari perbuatan mereka (musyrikin).” Lalu ia maju ke arah musuh. ”Hendak kemana engkau, wahai Abu Umar?” tanya Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. “Sungguh aku mencium bau Al-Jannah (surga) di bawah Uhud, wahai Sa’ad!” ujarnya. Lalu ia maju menyerang musuh sampai gugur dengan lebih dari delapan puluh luka di badannya. Tidak ada yang dapat mengenali jenazahnya kecuali saudarinya yang mengenali jari-jemarinya.
Tsabit bin Ad Dihdah radhiyallahu ‘anhu menyeru,
“Wahai orang-orang Anshar, kalaupun Muhammad telah mati, maka Allah tidak akan pernah mati! Beperanglah atas nama agama kalian, niscaya Allah menolong kalian!” Majulah sekelompok orang dari Anshar menyerang pasukan Khalid bin Walid namun semuanya gugur fi sabilillah.
Setelah terbunuhnya Mush’ab radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallammemberikan panji perang pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Ia pun menyerang musuh bersama sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum dan telah menghabiskan segala kemampuan.
Jagoan Quraisy menjadikan Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai target operasi utama. Beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam hanya didampingi sembilan orang shahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun pasukan muslimin yang lain tercerai-berai. Beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallammenyeru para shahabat dengan teriakan, ”Kemarilah! Aku adalah Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Namun, kaum musyrikin lebih dahulu mendengarnya, secepat kilat mencari sumber suara, dan disitulah mereka mendapatkan manusia mulia yang selama ini mereka berambisi besar untuk membunuhnya. Gugur tujuh orang, yang kesemuanya dari kalangan Anshar, dari sembilan orang shahabat yang melindungi Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun dua orang yang tersisa adalah dari kalangan Muhajirin, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhuma.
Saat itu, musuh dengan leluasa menyerang  Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Utbah bin Abi Waqqash melukai bibir beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam dengan lemparan batu. Abdullah bin Shihab Az-Zuhry menciderai pipi beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Abdullah bin Qim’ah menyabetkan pedangnya pada pundak beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam, yang menyebabkan rasa sakit lebih dari sebulan, namun sabetan tersebut tidak berhasil menembus baju besi beliaushallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak puas dengan itu, Abdullah menyabetkan kembali pedangnya tepat di pipi beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam.
”Rasakan ini! Aku adalah Ibnu Qim’ah!” teriak Abdullah bin Qim’ah bengis. Topi besi beliaus hallalallahu ‘alaihi wa sallam rusak. Pecahan rantainya menembus pipi  hingga pecah gigi seri beliau shallalallahu ‘alaihi wa sallam. Tak ayal darah membasahi wajah suci manusia termulia itu shallalallahu ‘alaihi wa sallam.Kisah Thalhah bin Ubaidillah  dan  Sa’ad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhuma menghabiskan tenaga melindungi Rasulullah shallalallahu ‘alaihi wa sallam hingga putus beberapa jari-jemari Thalhah radhiyallahu ‘anhu.
Akhir Pertempuran
Jumlah korban kaum muslimin dalam periode perang kali ini memang lebih banyak dibanding jumlah korban kaum musyrikin. Oleh karena itu, mayoritas ahli sejarah menyatakan bahwa kaum muslimin mengalami kekalahan dalam pertempuran Uhud.

Kisah Sa’ad bin Abi Waqqas

Sa’ad bin Malik Az-Zuhri atau sering disebut sebagai Sa’ad bin Abi Waqqas, dilahirkan di Makkah dan berasal dari bani Zuhrah suku Quraisy. Dia adalah paman Rosulullah Saw dari pihak ibu. Ibunda rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Oleh karena itu Saad juga sering disebut sebagai Sa'ad of Zuhrah atau Sa'ad dari Zuhrah, untuk membedakannya dengan Sa'ad-Sa'ad lainnya. Sa’ad termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam dan termasuk sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga.

Sa’ad dilahirkan dari keluarga yang kaya raya dan terpandang. Dia adalah seorang pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Dia sangat dekat dengan ibunya.


Awal masuk Islam

Suatu hari dalam hidupnya, ia didatangi sosok Abu Bakar yang dikenal sebagai orang yang ramah. Ia mengajak Sa'ad menemui Nabi Muhammad di sebuah perbukitan dekat Makkah. Pertemuan itu mengesankan Sa'ad yang saat itu baru berusia 20 tahun.

Ia pun segera menerima undangan Nabi Muhammad SAW untuk menjadi salah satu penganut ajaran Islam yang dibawanya. Sa'ad kemudian menjadi salah satu sahabat yang pertama masuk Islam.

Keislaman Saad mendapat tentangan keras terutama dari keluarga dan anggota sukunya. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri. Selama beberapa hari, ibu Sa'ad menolak makan dan minum sehingga kurus dan lemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, namun ibunya tetap menolak dan hanya bersedia makan jika Sa'ad kembali ke agama lamanya. Namun Sa'ad berkata bahwa meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada sang ibu, namun kecintaannya pada Allah SWT dan Rasulullah SAW jauh lebih besar lagi.

Mendengar kekerasan hati Sa'ad, sang ibu akhirnya menyerah dan mau makan kembali. Fakta ini memberikan bukti kekuatan dan keteguhan iman Sa'ad bin Abi Waqqas.


Kelebihan Sa'ad

Ada dua peristiwa yang menjadikan Sa'ad selalu dikenang dan istimewa, pertama dialah yang pertama melepas anak panah untuk membela Agama Allah, sekaligus orang pertama yang tertembus anak panah dalam membela Agama Allah.

Kedua, Sa'ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah dengan jaminan kedua orang tua beliau. Sabda Rasulullah, Saw., pada saat perang Uhud : "Panahlah hai Sa'ad ! Ibu Bapakku menjadi jaminan bagimu ...." 

Dalam setiap peperangan siapapun panglimanya jika ada Sa'ad didalamnya maka pasukan akan merasa tenang. Bukan hanya karena kehebatannya dalam peperangan yang menciutkan hati musuh, tapi juga ketaqwaanya yang luhurlah, yang menjadi hati sahabat lain menjadi tenang.

Pada saat perang Qadishiyyah, Amirul mukminin Umar bin Khaththab r.a. mengangkat Sa'ad sebagai Panglima perang untuk melawan adidaya Persia pada saat itu, ketika Sa'ad mengirim utusan untuk berdiplomasi dengan Rustum (panglima perang persia) yang akhirnya negoisasi itu berlangsung alot, dan muncullah pernyataan dari delegasi kaum muslimin.


Keahlian sa'ad dalam memanah

Sa’ad memang seorang pemanah terkenal. Ketenarannya itu tidak lain karena dialah orang muslim pertama yang melepaskan anak panah untuk berjuang di jalan Allah, sebagaimana penuturannya: “Demi Allah, sayalah orang pertama yang melepaskan anak panah di jalan Allah.” Peristiwa itu terjadi ketika Rasulullah mengutus enam puluh orang ke Mekah di bawah pimpinan Ubaidah bin Haris. Mereka diutus karena kaum kafir Quraisy sering melakukan pelanggaran terhadap isi Perjanjian Hudaibiyah. Di antara keenam puluh orang itu, salah satunya adalah Sa’ad.

Setibanya di Hijaz, mereka menuju mata air yang bernama Wadi Rabig. Ternyata, di sana telah menunggu pasukan kafir Quraisy yang berjumlah dua ratus orang di bawah pimpinan Abu Sufyan. Akhirnya, kedua pasukan yang tidak seimbang itu pun berhadap-hadapan dan siap saling menyerang. Melihat keadaan yang tidak begitu menguntungkan, Sa’ad dan teman-temannya berusaha untuk menghindari pertempuran. Mereka mengutus delegasi untuk melakukan perundingan dengan pihak kafir Quraisy. Dari perundingan itu dicapailah kesepakatan damai, sehingga pertempuran yang tidak seimbang terhindarkan.

Namun demikian, sempat juga terjadi bentrokan singkat ketika beberapa anggota pasukan kafir Quraisy menyerang. Saat itu, Sa’ad yang bersenjatakan panah dengan gagah berani melepaskan anak panahnya. lnilah anak panah yang pertama dilepaskan untuk membela agama Allah, yang membuat Sa’ad terkenal sebagai pemanah pertama di jalan Allah.


Kegagahan dalam peperangan

Keberanian dan kegagahannya sebagai seorang prajurit telah dibuktikan oleh sejarah. Sa’ad tidak pernah absen dalam setiap peperangan yang diikuti oleh Nabi saw. Setelah Nabi saw. wafat, dia juga tetap menjadi salah seorang prajurit kepercayaan para khalifah. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Sa’ad diangkat menjadi panglima perang Qadisiyah yang amat menentukan keberhasilan syiar lslam di wilayah lrak. Perang Qadisiyah terjadi antara pasukan muslimin yang berjumlah sekitar tiga puluh ribu orang dengan pasukan Persi yang jumlahnya mencapai seratus ribu orang.

Saat memimpin perang, Sa’ad sedang sakit. Sekujur tubuhnya dipenuhi bisul yang sangat menyiksa, yang berpecahan setiap kali tubuhnya terhentak di atas kudanya. Namun, meskipun sekujur tubuhnya berlumuran darah akibat bisul-bisul yang berpecahan, Sa’ad tetap bersemangat memimpin pasukannya’ Meski sakit menderanya, dia tetap meneriakkan aba-aba dan takbir penggugah semangat dengan lantang sehingga pasukannya terus bertempur dengan semangat juang yang gigih’

‘Ayo Abdullah, serang bagian sayap kiri. Engkau al-Haris’ masuk ke jantung pertahanan musuh. Engkau Fulan, ke arah sana. Ayo kita sambut surga’ Allahu akbar!”


Wafatnya Sa'ad

Sa’ad meninggal pada tahun 54 Hijriyah saat usia yang sangat lanjut, yaitu 8O tahun, sehingga dia termasuk sahabat Nabi yang meninggal paling akhir. Ketika hendak menemui ajalnya, Sa’ad meminta anaknya untuk membuka sebuah peti yang ternyata isinya adalah sehelai kain tua yang telah usang dan lapuk. Sa’ad meraih kain itu dari tangan putranya, kemudian menciumnya dengan penuh perasaan.

Sa’ad menghembuskan napasnya yang terakhir. Jasadnya dikafani dengan sehelai kain lusuh, kemudian dimakamkan di dekat sahabat-sahabat Nabi saw. yang telah mendahuluinya yakni di pemakaman Baqi’ di kota Madinah.

Kisah Thalhah bin Ubaidillah

Beliau ialah Thalhah bin Ubaidillah bin Usman bin Ka’ab bin Sa’ad, seorang sahabat Quraisy. Merupakan salah seorang daripada 6 (enam) orang ahli majlis yang dicalonkan sebagai pengganti Khalifah Umar bin Khattab sepeninggalnya, dan juga merupakan salah seorang yang dijanjikan syurga.
Setelah Khalifah Umar ditikam oleh Abu Lukluk, ia sempat menamakan 6 orang sahabatnya yaitu
1. Usman Bin Affan,
2. Abdul Rahman Bin Auf,
3. Ali Bin Abu Talib,
4. Thalhah Bin Ubaidillah,
5. Zubair al-Awwam dan,
untuk memilih salah seorang dari mereka sebagai bakal khalifah penggantinya dalam tempo 3 hari. Thalhah bin Ubaidillah juga merupakan salah seorang diantara 10 (sepuluh) sahabat-sahabat yang dijamin masuk surga oleh Nabi Muhammad Sallahu A’laihi Wasallam.
Beliau selalu aktif di setiap peperangan kecuali Perang Badar. Beliau telah menyertai peperangan Uhud dan menyumbangkan suatu sumbangan yang besar Di dalam perang Uhud, beliaulah yang mempertahankan Rasulullah Saw sehingga terhindar dari mata pedang musuh, sehingga putus jari-jari beliau.. Beliau telah melindungi Rasulullah Sallahu A’laihi Wasallam dengan dirinya sendiri dan menahan panah dari terkena baginda dengan tangannya sehingga lumpuh jari-jarinya.
Thalhah Memeluk Islam
Beliau masuk Islam dengan perantaraan Abu Bakar Siddiq ra. Thalhah adalah seorang pemuda Quraisy, ia memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua.
Pada suatu ketika Thalhah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya. Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak, “Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?” “Ya, aku penduduk Makkah,” sahut Thalhah. “Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?” tanyanya. “Ahmad yang mana?” “Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda,” sambung pendeta itu. Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah.
Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya, “Ada peristiwa apa sepeninggalku?” “Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya,” jawab mereka. ”Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy,” gumam Thalhah lirih.
Setelah itu Thalhah langsung mencari Abu Bakar. “Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?” “Betul.” Abu Bakar menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira’ sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar mengajak Thalhah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar bercerita Thalhah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar tercengang. Lalu Abu Bakar mengajak Thalhah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.
Pengorbanan Thalhah kepada Rasulullah
Bila diingatkan tentang perang Uhud, Abu Bakar RA selalu teringat pada Thalhah. Ia berkata, “Perang Uhud adalah harinya Thalhah. Pada waktu itu akulah orang pertama yang menjumpai Rasulullah SAW. Ketika melihat aku dan Abu Ubaidah, baginda berkata kepada kami: “Lihatlah saudaramu ini.” Pada waktu itu aku melihat tubuh Thalhah terkena lebih dari (70) tujuh puluh tikaman atau panah dan jari tangannya putus.”
Diceritakan ketika tentara Muslim terdesak mundur dan Rasulullah SAW dalam bahaya akibat ketidakdisiplinan pemanah-pemanah dalam menjaga pos-pos di bukit, di saat itu pasukan musyrikin bagai kesetanan merangsek maju untuk melumat tentara muslim dan Rasulullah SAW, terbayang di pikiran mereka kekalahan yang amat memalukan di perang Badar. Mereka masing-masing mencari orang yang pernah membunuh keluarga mereka sewaktu perang Badar dan berniat akan membunuh dan memotong-motong dengan sadis. Semua musyrikin berusaha mencari Rasulullah SAW.
Dengan pedang-pedangnya yang tajam dan mengkilat, mereka terus mencari Rasulullah SAW. Tetapi kaum muslimin dengan sekuat tenaga melindungi Rasulullah SAW, melindungi dengan tubuhnya dengan daya upaya, mereka rela terkena sabetan, tikaman pedang dan anak panah. Tombak dan panah menghunjam mereka, tetapi mereka tetap bertahan melawan kaum musyrikin Quraisy. Hati mereka berucap dengan teguh, “Aku korbankan ayah ibuku untuk engkau, ya Rasulullah”.
Salah satu diantara mujahid yang melindungi Nabi SAW adalah Thalhah. Ia berperawakan tinggi kekar. Ia ayunkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Ia melompat ke arah Rasulullah yang tubuhnya berdarah. Dipeluknya Beliau dengan tangan kiri dan dadanya. Sementara pedang yang ada ditangan kanannya ia ayunkan ke arah lawan yang mengelilinginya bagai laron yang tidak memperdulikan maut. Alhamdulillah, Rasulullah selamat.
Thalhah memang merupakan salah satu pahlawan dalam barisan tentara perang Uhud. Ia siap berkorban demi membela Nabi SAW. Ia memang patut ditempatkan pada barisan depan karena ALLAH menganugrahkan kepada dirinya tubuh kuat dan kekar, keimanan yang teguh dan keikhlasan pada agama ALLAH. Akhirnya kaum musyrikin pergi meninggalkan medan perang. Mereka mengira Rasulullah SAW telah tewas. Alhamdulillah, Rasulullah selamat walaupun dalam keadaan menderita luka-luka. Baginda dipapah oleh Thalhah menaiki bukit yang ada di ujung medan pertempuran. Tangan, tubuh dan kakinya diciumi oleh Thalhah, seraya berkata, “Aku tebus engkau Ya Rasulullah dengan ayah ibuku.” Nabi SAW tersenyum dan berkata, ” Engkau adalah Thalhah kebajikan.” Di hadapan para sahabat Nabi SAW bersabda, ” Keharusan bagi Thalhah adalah memperoleh ….” Yang dimaksud nabi SAW adalah memperoleh surga. Sejak peristiwa Uhud itulah Thalhah mendapat julukan “Burung elang hari Uhud.”
Keteladanan Thalhah Bin Ubaidillah
1. Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia
Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang sesukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah, yaitu ibu Thalhah, Ash-Sha’bah binti Al-Hadramy. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar dan Thalhah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar dan Thalhah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia.
2. Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup.
Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup. Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum Musyrikin. “Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga,” seru Rasulullah. “Aku Wahai Rasulullah,” kata Thalhah. “Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu.” “Aku wahai Rasulullah,” kata seorang prajurit Anshar. “Ya, majulah,” kata Rasulullah. Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.
Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah sendirian bersama Rasulullah, saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah, “Sekarang engkau, wahai Thalhah.” Dan majulah Thalhah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas. Saat itu Abu Bakar dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. “Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian,” seru Rasulullah.
Keduanya bergegas mencari Thalhah, ketika ditemukan, Thalhah dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 70 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah. Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. “Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah,” sabda Rasulullah. Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar, maka beliau selalu menyahut, “Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya. Hingga akhir hayatnya, perjuangan sahabat mulia itu tak kenal henti. Sebuah sejarah besar diukir, sejarah itu bernama Thalhah bin Ubaidillah.”
3. . Thalhah Al-Jaud wal Fayyadh – Pribadi yang Pemurah dan Dermawan
Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah merupakan salah seorang dari (8) delapan orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu orang bernilai seribu orang.
Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su’da binti Auf.
Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, ” Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?” Maka istrinya berkata, “Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin.” Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun. Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah, katanya, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang,sandang dan pangannya.” Jaabir bin Abdullah bertutur, ” Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.
Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, ” Thalhah kebaikan dan kebajikan”.
4. Thalhah Al-Khair – Thalhah yang baik
Thalhah adalah pedagang besar. Pada suatu sore hari dia mendapat untung dari Hadhramaut kira-kira 700 000 dirham. Malamnya dia ketakutan, gelisah dan risau. Maka ditanya oleh istrerinya Ummu Kaltsum binti Abu Bakar Shiddiq, Mengapa Anda gelisah, hai Abu Muhammad, Apa kesalahan kami sehingga Anda gelisah?Jawab Thalhah, Tidak! Engkau adalah isteri yang baik dan setia! Tetapi ada yang terfikir olehku sejak semalam, seperti biasanya pikiran seseorang tertuju kepada Tuhannya bila dia tidur, sedangkan harta ini bertumpuk di rumahnya.? Jawab isterinya, Ummu Kalthum, Mengapa Anda begitu risau memikirkannya. Bukankah kaum Anda banyak yang membutuhkan pertolongan Anda. Besok pagi bagi-bagikan wang itu kepada mereka.? Kata Thalhah, Rahimakillah. (Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu!). Engkau wanita beroleh taufiq, anak orang yang selalu diberi taufiq oleh Allah.? Pagi-pagi, dimasukkannya wang itu ke dalam pundi-pundi besar dan kecil, lalu dibagi-bagikannya kepada fakir miskin kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Diceritakanya pula, seorang laki-laki pernah datang kepada Thalhah bin Ubaidillah meminta bantuannya. Hati Thalhah tergugah oleh rasa kasihan terhadap orang itu. Lalu katanya, Aku mempunyai sebidang tanah pemberian Utsman bin ‘Affan kepadaku, seharga tiga ratus ribu. Jika engkau suka, ambilah tanah itu, atau aku beli kepadamu tiga ratus ribu dirham.? Kata orang itu, Biarlah aku terima uangnya saja.? Thalhah memberikan kepadanya uang sejumlah tiga ratus ribu.
Salah seorang sahabat Nabi Muhammad bernama Thalhah bin Ubaidillah. Beliau terkenal sebagai seorang yang sangat pemurah. Pada suatu masa beliau berhutang lima puluh ribu dirham daripada sahabat karib Nabi Muhammad yg bernama Utsman bin Affan. Buat beberapa lama beliau belum dapat membayar hutangnya itu. Suatu hari Thalhah bin Ubaidillah bersama dengan Utsman bin Affan yg sedang berjalan menuju ke Masjid besar Madinah. “Tuan Utsman.”kata Thalhah bin Ubaidillah, “sekarang saya sudah mempunyai cukup uang untuk membayar hutang saya.” “Saya hadiahkan uang itu kepada saudara, sebab saudara selalu berhutang bagi menanggung keperluan orang-orang lain,” Jawab Utsman bin Affan.
Wafatnya Thalhah
Talhah bin Ubaidillah meninggal dunia pada tahun 36 Hijrah bersamaan 656 Masehi. Thalhah wafat pada usia 60 (enam puluh) tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra. Beliau meninggal dunia terkena panah pada peperangan Jamal. Sewaktu terjadi pertempuran “Aljamal”, Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali Ra dan Ali Ra memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah mengenai betisnya maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya yang cukup dalam ia wafat.
Tidak ada kegembiraan paling diharapkan sahabat Rasulullah SAW, melebihi kedudukan yang disandangkan Baginda kepada Thalhah bin Ubaidillah yang tidak hairanlah hatinya tenteram mendengar kata-kata itu. Dialah insan yang akan hidup dan mati termasuk salah seorang mereka yang menepati benar apa dijanjikan Allah, dan dia tidak terkena fitnah dan tidak mendapat kesukaran.
Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat, “Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan di atas bumi maka lihatlah Thalhah. Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.”(Al-Ahzaab: 23)

Awal Mula Tragedi Perang Badar


        Di suatu malam pada bulan Ramadlan, berangkatlah sekitar 313 orang Islam. Mereka mengendarai 2 kuda dan 70 unta. Setiap unta ditunggangi secara bergantian oleh dua sampai tiga orang. Rasulullah saw langsung memimpin,  yang tujuannya tiada lain kecuali ingin menyerang kawanan kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan. Sayang, rencana penyerangan itu bocor hingga telinga Abu Sufyan.

Ketika mengetahui dirinya menjadi sasaran umat Islam, dia langsung mengirim delegasi ke kaum Quraisy agar melindungi harta benda bawaannya. Ia mengutus kurir bernama Dham Dham bin Amr al-Ghiffari ke Makkah. Atas siasat Abu Sufyan Dham Dham berpenampilan layaknya orang yang telah disiksa oleh kaum Muslim. Badannya berlumuran darah, serta bajunya tersobek-sobek. Siasat ini mampu menarik simpati kaum Quraisy. Seluruh kaum Quraisy berkumpul dan berangkat ke Madinah, yang dipimpinan Abu Jahal.
Konvoi pasukan yang menuju Madinah kira-kira 1000 personil. Sementara rombongan Abu Sufyan berhasil meloloskan diri melalui mata air Badau, terus ke Pantai lalu menuju Makkah.

Berkobarnya Api Jihad
Berita itu terdengar juga oleh Rasulullah saw, dan menimbulkan suasana genting di pihak kaum Muslim. kafilah yang menjadi targetnya lepas dari genggaman. Berganti tentara kaum Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak. Dalam keadaan yang mendesak seperti ini Rasulullah saw segera mengumpulkan para Sahabat Muhajirin dan mengadakan musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Ternyata dari diskusi tersebut para Sahabat yang berjumlah sedikit itu, menunjukkan semangatnya untuk berjihad, lebih-lebih perang sudah diisyaratkan oleh Allah swt, melalui sabda Rasul-Nya.

Ketika kaum Muslimin sedang berdiskusi, kaum Quraisy di bawah pimpinan Abu Jahal mulai merapat ke lembah Badar, menuju kaum Muslimin yang sedang berdiskusi. Lembah ini memang sejak lama diincar oleh Abu Jahal untuk dikuasai.
Ketika mereka sampai di sisi lembah, Rasulullah  saw tampak gagah memimpin pasukan Muslim yang siap tempur di sisi yang berseberangan. Posisi mereka nyaris berhadap-hadapan di dekat mata air Badar. Ketika itu salah seorang Sahabat, Al-Habab bin Mundzir,bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulallah, apakah dalam memilih tempat ini, Anda menerima wahyu dari Allah swt yang tidak bisa diubah lagi? ataukah berdasarkan taktik perang?”.

Rasulullah menjawab: “Tempat ini aku pilih berdasarkan pendapatku dan taktik peperangan”. Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw , Al-Habab mengusulkan pendapatnya, “Ya Rasulullah! jika demikian, ini bukan tempat yang tepat, ajaklah pasukan ke tempat air yang dekat dengan musuh, kita membuat kubu pertahanan di sana dan menggali sumur-sumur di belakangnya, kita membuka kubangan di sana dan kita isi air hingga penuh. Dengan demikian kita akan berperang dalam keadaan persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum.” Rasulullah saw menjawab, “Pendapatmu cukup baik”. Dengan keputusan itu, lalu Rasulullah saw memberi aba-aba kepada kaum Muslimin untuk segera pindah ke tempat yang telah diusulkan oleh Habab bin Mundzir.

Ketika kaum Quraisy -dengan angkuhnya- maju menuju Lembah Badar, Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya seraya berdoa kepada Allah swt, “Ya Rabbi, jika pasukan kecil ini sampai binasa, tidaklah akan ada lagi yang menyembah-Mu dengan hati yang ikhlas”. Ketika Abu Bakar ash-Shidiq melihat wajah Rasulullah saw yang terlihat sedih, maka ia berusaha menenangkan hati junjungannya itu seraya berkata, “Ya Rasulallah, demi diriku yang ada di tangan-Nya,, bergembiralah! sesungguhnya Allah swt pasti akan memenuhi janji yang telah di berikan kepadamu”.

Janji Allah swt
Beberapa saat setelah kedua pasukan berhadapan, peperangan dibuka dengan tampilnya tiga orang Quraisy menuju medan laga, tempat yang memisahkan kaum Muslimin dengan lawan. Ini merupakan salah satu peradaban orang Arab ketika berperang, yakni 'duel satu lawan satu'.

Ketika para sahabat Nabi saw melihat tiga orang maju, maka tiga sahabat Nabi saw, yakni Hamzah, Abu Ubaidillah dan Ali bin abi Thalib, dengan pedang yang bercabang yang diberi nama Zulfikar, menerima tantangan itu. Pertarungan berlangsung sengit di antara ketiganya. Setelah pertarungan yang berlangsung cukup lama itu, ketiga Sahabat Nabi saw memenangkan laga tersebut. Dengan keadaan ini semangat kaum Muslimin semakin membara. Sebaliknya, perasaan kaum Quraisy mulai digrogoti ketakutan.

Beberapa saat kemudian semua tentara membeludak ke medan laga, pertarungan antara kubu Muslimin dengan kubu Quraisy mulai berkecamuk, pertarungan pun berlangsung sengit. Janji Allah swt, seperti yang diinginkan oleh Abu Bakar kepada Rasulullah saw, benar-benar terjadi. Dengan pasukan kecilnya serta peralatan perang seadanya mampu mengalahkan kaum Quraisy yang jumlahnya tiga kali lipat yang dilengkapi dengan peralatan perang. Hal ini di luar nalar pikiran sehat, bagaimana mungkin pasukan kecil ini bisa menang dalam Perang Badar tanpa kehendak Allah swt. Sebagaimana firman-Nya:
(ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu di perkenankanNya bagimu, sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang berturut-turut,” (QS. al-Anfal [08]:9)
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam perangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah, karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu menjadi orang yang bersukur. (ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mukmin, Apakah tidak cukup bagimu Allah swt membantumu dengan tiga ribu Malaikat yang diturunkan (dari langit)? Ya, (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah swt menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda, dan kemenangan itu hanyalah dari Allah swt yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”. (Ali Imron [03]:123-126)

Alhasil, pada tragedi perang badar tersebut, orang-orang Quraisy terpukul mundur, meski jumlah mereka tiga kali lebih banyak. Mereka menelan kekalahan besar, oleh hegemoni tentara malaikat. Banyak pemimpin mereka yang tewas, salah satunya adalah Abu Jahal sang pemimpin kaum Quraisy. Ia jatuh sebagai korban kesombongannya yang tidak terkendalikan. Seluruh korban dari golongan kaum Quraisy yang gugur pada peperangan tersebut sekitar 70 orang yang tewas, dan sekitar 70 orang yang menjadi tawanan, sedangkan dari pihak kaum Muslimin ada 14 orang yang gugur sebagai Shuhada.

Namun sebagaimana etika orang Muslim yang telah dibimbing langsung oleh orang yang paling mulia di muka bumi, yakni Rasulullah saw, memperlakukan para tawanan dengan baik, mereka diposisikan bagaikan tamu yang harus dihormati. Ia diberi makanan roti, sementara mereka sendiri mencukupkan dirinya dengan menyantap buah kurma, kaum Muslimin dilarang untuk menyiksa tawanan. Mereka diperlakukan layaknya bukan tawanan, walaupun dalam kondisi menjadi tawanan. Inilah yang selalu dijunjung tinggi oleh Rasulullah saw. Sebagaimana tujuan Ia diutus, yakni untuk menyempurnakan etika mulia.

Perang Badar

Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan tahun 2 hijriyah. Ini adalah peperangan pertama yang mana kaum Muslim (Muslimin) mendapat kemenangan terhadap kaum Kafir dan merupakan peperangan yang sangat terkenal karena beberapa kejadian yang ajaib terjadi dalam peperangan tersebut. Jumlah kaum Muslimin cuma 313, sementara tentara musuh berjumlah 1000 orang. Namun kaum Muslimin menang, bagaimana bisa?

Ekspedisi Tentara Islam
Pada Bulan Safar, awal bulan ke 12 sejak hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah, untuk pertama kalinya Rasulullah saw  keluar untuk berperang dalam kancah perang Wildan. Inilah permulaan disyariatkannya peperangan dalam Islam. Invasi tersebut bertujuan memerangi kaum Quraisy dan Bani Hamzah yang menghalangi dakwah Nabi Muhammad saw.

Persiapan orang Muslim sudah cukup matang, namun peperangan urung digelar, sebab Bani Hamzah menawarkan perdamaian. Maka Rasulullah bersama para sahabat kembali ke Madinah. Selang beberapa waktu, Rasulullah saw mendengar kedatangan rombongan kaum Quraisy dari Syam menuju Makkah di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb.

Teringatlah Rasulullah saw  pasca peristiwa beberapa saat sebelumnya, ketika masih di Makkah, harta pengikut Rasulullah saw dirampas oleh orang-orang Quraisy. Itulah sebabnya Rasulullah saw segera meminta umatnya mencegah iring-iringan kafilah tersebut, seraya berseru “Barang bawaan mereka harus dirampas sebagai gantinya”.  Namun seruan Rasulullah ini masih disambut dingin oleh sebagian kaum Muslimin. Mayoritas mereka berpikir pesimis, menyangka bahwa peperangan tidak akan terjadi sama seperti penyerbuan ke Madinah pada beberapa waktu yang lalu.
Awal Mula Tragedi Perang Badar