SAYA MOHON MAAF JIKA DI DALAM BLOG SAYA TERDAPAT KESALAHAN DAN KEKURANGAN DALAM MEYAMPAIKAN KARNA SAYA JUGA MANUSIA YANG TIDAK LEPAS DARI KESALAHAN BAGI PENGUNJUNG MOHON KRITIK DAN SARANNYA UNTUK SAYA

Friday, August 17, 2018

Soesilo Toer: Marxisme dan Hilangnya Satu Generasi Intelektual



Orang orang intelegtual memiliki peran penting dalam sejarah peradaban di dunia. Namun, tak jarang, para intelegtual mengkhianati masyarakat.

Dalam kasus Indonesia, keberadaan “mafia Barkeley” disebut banyak pihak sebagai wujud pengkhianatan kaum intelektual.

Mafia Barkeley merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh penulis Amerika Serikat, David Ransom, dalam majalah Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Istilah ini merujuk pada ekonom-ekonom Indonesia lulusan University of California, Berkeley yang menjadi arsitek utama perekonomian Indonesia pada masa akhir 1960-an dan saat Orde Baru berkuasa.

Dalam artikel tersebut, Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Soekarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukan Soeharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat.

Kekinian, di zaman kiwari, dunia intelektual Indonesia juga mengalami kemandekan. Ariel Heryanto, Kepala Pusat Studi Asia Tenggara di University of Melbourne, Australia, tahun 2012 pernah membeberkan data yang menunjukkan kaum intelektul Indonesia terbilang tak produktif.

Menurut Ariel, peneliti Indonesia berada di posisi terendah dalam menghasilkan karya ilmiah mengenai negerinya sendiri kalau diperbandingkan dengan peneliti dari lima negara ASEAN.

Skor persentase karya mengenai Indonesia yang ditulis intelektual dalam negeri hanya 7.1. Sementara skor persentase intelektual Singapura jauh lebih tinggi, yakni 53.5;  Brunei 35.7; Malaysia 25.1; Filipina 24.1; dan Thailand, 18.8.

Bagi Soesilo Toer, seluruh persoalan kaum intelektual di Indonesia tersebut bersumber dari institusi pendidikan yang justru membuat anak didik hanya berorientasi mengejar keuntungan pribadi, bukan untuk mengabdi kepada masyarakat.

Menurutnya, fenomena tersebut bermula sejak era Orde Baru, ketika beragam institusi pendidikan didirikan dengan tujuan komersial, yakni mengeruk keuntungan.
Soesilo Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer membeberkan sekelumit persoalan itu dan pengalamannya menjadi kaum intelektual pada era Soekarno yang menurutnya masih berorientasi untuk memajukan masyarakat.

Ia sendiri adalah lulusan master Ilmu Perencanaan Ekonomi Politik Peoples' Friendship University of Russia—lebih dikenal dengan nama Patice Lumumba University—pada era Uni Soviet. Ia juga doktor bidang politik ekonomi dari Plekhanov Russian University of Economics, juga era Soviet.






Soesilo melakukan studi di Uni Soviet selama 11 tahun, yakni sejak tahun 1962 sampai 1973. Namun, ketika kembali ke Indonesia, ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru karena dianggap kader Partai Komunis Indonesia.

Kekinian, Soesilo terus berkarya menghasilkan banyak karangan, merawat perpustakaan Pramoedya Ananta Toer, sekaligus bekerja sebagai pemulung.
Soesilo Toer mendapatkan beasiswa dengan mengikuti tes beasiswa dan lulus di Moscow ibu kota Soviet Rusia. memulai pendidikan di Moscow pada tahun 1962. Sebelumnya Soesilo Toer adalah mahasiswa Universitas Indonesia.

Sewaktu menempuh S2 di Patice Lumumba University, Soesilo Toer  lulus cume laude. Sedangkan program doktor didapat dari Plekhanov Russian University of Economics. Selain berkuliah, Soesilo Toer  juga banyak menulis artikel.

Soesilo Toer mengatakan bahwa perberbedaan  di kalangan intelektual pada era sebelum dan sesudah tragedi 1965 terdapat perbedaan penguasa. Pada era Bung Karno, rezim mendukung setiap kemajuan intelektual dan kebudayaan. Pendidikan ditujukan untuk memajukan bangsa. Karenanya, kaum intelektual bebas berpolemik, mengkritik, selama bertujuan untuk memajukan bangsa.

Tapi setelah era Bung Karno, terutama pada rezim Soeharto, pendidikan justru dikomersialisasikan. Alhasil, iklim intelektualnya berubah. Tak ada yang berani berpolemik, mengkritik.

Kalau polemik itu kan, dalam suasana intelektual, harus dijawab dengan polemik juga. Tapi ketika era Orde Baru tidak, malah dibalas dengan represi. Misalnya, kantor Pramoedya Ananta Toer pernah digranat. Intelektualitas dibalas kekerasan.








Pada masa era bung Karno banyak negara negara yang menawarkan ke Indonesia agar mahasiswa mahasiswa Indonesia belajar ke negara mereka secara gratis.

Akan tetapi dulu pada masa bung Karno, mahasiswa mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri di haruskan pulang ke tanah air, berbakti kepada negara dan rakyat.

Akan tetapi ketika bung Karno turun, banyak mahasiswa mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri  tidak mau pulang, kepana ? karena tidak mau mengikuti kemauan penguasa.

Pada masa orde baru setelah Bung Karno turun maka dilakukanlah pembersihan intelegtual kritis.
Pembersihannya macam-macam caranya. Biasanya intelijen bergerak. Digertak. Semua intelektual yang dianggap “merah” (Marxis atau bahkan Komunis) diintai. Jadi, setiap mahasiswa yang baru pulang dari luar negeri diintai.

Kiprah intelegtual pada masa orde baru bermacam macam, ada yang pro pemerintahan dan ada yang kontra pemerintahan, menurutnya (Soesilo Toer) fenomena ini disebabakan perbedaan cara berpikir.

Menurut Soesilo Toer " tergantung intelektual itu masing-masing. Kalau dia banyak membaca buku, mempunyai banyak pengalaman praktik di kalangan rakyat, maka akan menolak Soeharto.

Soesilo Toer menanggapi tentang kaum intelegtual pada masa reformasi, yaa sama saja seperi era orde baru, ada yang mendukung pemerintahan dan ada juga yang kritis.

Pada Saat era Bung Karno berakhir dan Soeharto berkuasa, setiap intelektual benar-benar diteliti. Misalnya kalau mau menjadi pegawai pemerintah, apa terindikasi “merah”? Kalau iya, akan “dibersihkan”. Akhirnya, banyak mahasiswa dan intelektual yang menganggur, tak bisa menerapkan ilmu-ilmunya. Mereka yang dianggap “merah” tak bisa bekerja untuk negerinya sendiri

Menurut Soesilo Toer, Kenapa Indonesia pada saat sekarang ini dinilai kekurangan tenaga ahli dalam banyak bidang, sehingga dengan Malaysia pun kita sekarang kalah majunya dalam banyak bidang keilmuan ?

Kembali kepada tatanan pemerintahan, pada saat sekarang ini kenapa menjadi seperti itu, hanya ada satu jawaban yaitu Cara mengurusnya Salah. Pemerintah maupun lembaga pendidikan pada saat sekarang ini orang orangnya banyak yang sok.

Selain itu, banyak lembaga pendidikan, seperti perguruan tinggi, didirikan justru untuk ladang bisnis pemiliknya. Ada pula yang membangun lembaga pendidikan untuk membangun kelompok tersendiri, yang  ditujukan untuk mengambil pengaruh golongannya sendiri.

Alhasil, anak-anak bangsa, ketika mengikuti pendidikan seperti itu, tidak tahu apa-apa. Bahkan, soal masa depannya sendiri mereka tak tahu
dan satu lagi menurut Soesilo Toer Kenapa Intelektual Indonesia banyak yang dinilai tak bisa menganalisis akar masalah masyarakatnya sendiri ?

jawabannya adalah bisa jadi karena Marxisme, sebagai filsafat, maupun sebagai perangkat analisis ekonomi-politik-budaya mumpuni justru dilarang atau setidaknya dikucilkan oleh banyak intelektual sejak era Orba. Orang-orang yang berbau ‘merah’ menjadi takut.

menurut Soesilo Toer, seharusnya ilmu ya tetap ilmu, jangan ada yang menyangkut pautkannya dengan politik. Inilah yang menyebabkan intelektualitas serta kreatifitasnya menurun. Secara langsung itu bisa dikatakan pemberangusan intelektual.



Dikutip dari Suara.com
Ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya.
Semoga bermanfaat.