SAYA MOHON MAAF JIKA DI DALAM BLOG SAYA TERDAPAT KESALAHAN DAN KEKURANGAN DALAM MEYAMPAIKAN KARNA SAYA JUGA MANUSIA YANG TIDAK LEPAS DARI KESALAHAN BAGI PENGUNJUNG MOHON KRITIK DAN SARANNYA UNTUK SAYA

Friday, April 18, 2014

makalah masyarakat dan struktur sosial


Masyarakat Dan Struktur Sosial                                         

Makalah Masyarakat Dan Struktur Sosia.
BAB I
PENDAHULUAN

Pada konteks pemikiran sistem, masyarakat akan dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Pada satu segi, hal ini menunjukkan adanya suatu satuan masyarakat kecil seperti keluarga, sekolah, perkantoran dan sebagainya. Dan pada segi lainnya, pandangan ini menunjukkan adanya suatu satuan masyarakat besar seperti masyarakat kota, atau masyarakat desa.

Di segi lain, Jika kita melihat masyarakat sebagai suatu sistem sosial, maka sistem sosial tersebut dikonstruksikan terdiri dari beberapa sub-sistem yang diantaranya merupakan hal penting adalah fungsi untuk mempertahankan atau menegakkan pola dan struktur masyarakat. Diantara stuktur yang kerap dibicarakan para ahli adalah mengenai pengelompokan sosial, stratifikasi (lapisan) sosial, perubahan sosial dan konflik pertentangan sosial. Pemahaman dalam pengetahuan tentang struktur masyarakat ini dapat membantu kita dalam mengenal suatu eksistensi dalam tatanan masyarakat tertentu, juga dalam usaha menyelesaikan problematika yang muncul dalam masyarakat.

Kata masyarakat diambil dari sebuah kata Arab yakni musyarak, yang kemudian berubah menjadi musyarakat, dan selanjutnya disempurnakan dalam bahasa Indonesia menjadi masyarakat. Adapun musyarak pengertiannya adalah bersama-sama, lalu musyarakat artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sedangkan pemakaiannya dalam bahasa Indonesia telah disepakati dengan sebutan masyarakat.[1]

BAB II
PEMBAHASAN
Makalah Masyarakat Dan Struktur Sosial
A. Pengelompokan Sosial
Menurut sosiologi istilah kelompok mempunyai arti khusus, yang mana berbeda halnya dengan pengertian yang lazim dipergunakan secara umum. Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang memiliki hubungan dan interaksi antar anggotanya, di mana dapat mengakibatkan timbulnya perasaan bersama. Menurut pendapat Mayor Polak (1979), kelompok didefinisikan sebagai berikut:

“Group atau kelompok adalah sejumlah orang yang ada diantara hubungan satu sama lain dan antar hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur.[2]

Pendapat diatas menunjukkan betapa pentingnya faktor hubungan atau interaksi di dalam suatu kelompok. Sekelompok orang belum tentu dapat disebut sebagai kelompok dalam arti sosiologis. Dikatakan demikian karena terbentuknya suatu kelompok sangat tergantung pada adanya jalinan hubungan antara anggota-anggotanya.

Suatu kelompok terdiri dari dua orang atau lebih anak manusia, yang juga diantara mereka terdiri dari beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh anggota kelompok tersebut atau orang lainnya secara menyeluruh. Namun juga ada kumpulan sosial yang secara longgar disebut kelompok, akan tetapi ia sebenarnya bukanlah kelompok menurut definisi sosiologi yang sebenarnya. Sebagai contoh penggunaannya adalah seperti “kelompok seusia/sebaya” bagi semua orang. Walaupun kita dapat mengelompokkan manusia dengan cara demikian mengikuti segala sifat yang mereka miliki, namun ini bukanlah suatu kelompok sosiologis, akan tetapi karena interaksi diantara mansuai sebagai anggota pada keseluruhannya.

Ada beberapa macam bentuk kelompok-kelompok sosial diantaranya adalah;
  • Pertama, kelompok inti atau primer. Kelompok ini dicirikan dengan kemesraan, kontak antar person. Bagian kelompok ini adalah seperti keluarga, sepermainan anak-anak dan kelompok tetangga, karena kelompok tetangga atau jiran ini adalah sebagai asas karena dapat membentuk pola tingkah laku dan sikap anggotanya. Diantara ketiga kelompok ini, keluargalah yang paling penting. Hanya sedikit kelompok lain yang menyamai keluarga tentang kemesraan, yaitu sebuah ciri terpenting dari semua ciri yang dipaparkan diatas.
  • Kedua, kelompok sekunder, yaitu kelompok yang hanya melibatkan keakraban kecil, wujudnya temporer dan melibatkan kurangnya kontak antar pribadi. Saat kemesraan adalah merupakan ciri dari kelompok inti/primer, maka keacuhan adalah ciri kelompok sekunder.
  • Ketiga, kelompok formal. Kelompok ini adalah kelompok yang tersusun menurut sturktur yang telah tetap dan mengikuti peraturan yang mengawasi interaksi antar anggotanya. Ia biasanya memiliki struktur dan tata cara yang jelas dalam peraturan dan juga undang-undang atau yang sejenis dengan hal demikian. Kelompok ini biasanya memiliki kedudukan resmi, atau organisasi, dimana para anggotanya menjalankan tugas sebagaimana yang tertuang dalam peraturan atau undang-undang kelompok. Hak dan kewajiban anggota juga termaktub didalamnya. Contoh kelompok ini adalah klub-klub umum, persatuan wanita, sistem sekolah, dalam negara serta persatuan bangsa-bangsa. Kelompok ini biasanya disebut perserikatan atau semakna dengannya.
  • Keempat, kelompok informal. Kelompok ini adalah kelompok yang tidak memiliki sistem organisasi yang mencantumkan secara khusus hak dan kewajiban para anggotanya. Kelompok ini biasanya terbentuk berdasarkan konteks beraturan yang mengarah pada minat dan karakter yang sama, dengan menerapkan pengalaman dan keahlian bersama. Contoh kelompok ini adalah kelakonan anak-anak dan juga suatu kelompok persahabatan. Dalam contoh diatas dapat difahami bahwa kelompok ini kecil tanpa ada struktur yang formal. Kelompok ini dicirikan dengan adanya hubungan timbal balik mengenai kepercayaan dan juga kerja sama antar kesemua anggotanya.
Setiap kelompok-kelompok diatas berbeda menurut ukuran dimana ia akan menuju kepada jenis kelompok yang terlalu formal atau kelompok yang terlalu informal.[3]

B. Stratifikasi Sosial
Kata stratifikasi diadobsi dari kata stratification yang berasal dari kata stratum bentuk plural dari strata yang artinya lapisan. Pitirim.A. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan suatu masyarakat ke dalam kelas-kelas bertingkat secara hirarkis.[4]

Setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargai. Dan selama suatu kelompok masyarakat memiliki sesuatu yang dihargai, maka hal itu akan menjadi bibit dan benih yang menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat tersebut. Barang sesuatu yang dihargai ini dapat berupa uang, benda-benda yang bernilai ekonomis, dan mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan atau bahkan kesalehan dan juga keturunan dari keluarga terpandang.[5]

Dalam tiap-tiap negara, terdapat tiga unsur yang menjadikan suatu negara tersebut memiliki variasi lapisan. Diantara manusia dalam ruang lingkup negara ada yang kaya sekali dan juga ada yang hidup dalam garis kemiskinan, serta ada kelompok yang berada diantara keduanya. Hal ini realita yang kerap terjadi sejak dari zaman dahulu hingga sampai sekarang, yang kerap terdapat berbagai lapisan di dalam tatanan bermasyarakat dari golongan atas hingga golongan terbawah.

Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa sistem berlapis-lapis tersebut merupakan suatu ciri tetap dan umum dalam suatu kelompok bermasyarakat yang hidup teratur. Seseorang yang memiliki barang-barang yang berharga dalam jumlah yang banyak, maka akan dianggap masyarakat sebagai orang yang berkedudukan dalam lapisan atas. Sedangkan orang yang memiliki sedikit harta atau barang yang berhaga atau bahkan tidak memiliki sama sekali harta disebut sebagai golongan menengah dan golongan bawah.

Biasanya golongan yang berada pada lapisan atas tidak hanya memiliki satu bentuk saja dari apa yang dihargai masyarakat, akan tetapi kedudukan tinggi tersebut bersifat kumulatif, yang artinya orang-orang tersebut memiliki banyak uang dan akan mudah sekali bagi mereka untuk mendapatkan tanah, kekuasaan atau bahkan kehormatan, sedangkan mereka yang memiliki kekuasaan besar dan juga kekayaan akan mudah mendapat semua keinginannya, yang juga terkadang dapat mempermainkan dunia pendidikan dengan mengamalkan suatu praktek yang pada belakangan terakhir kita kenal dengan nama “ijazah palsu”, demi untuk mendapatkan kekuasaan.

Stratifikasi sosial ini selalu saja ada dalam setiap masyarakat. Baik dalam ruang lingkup besar seperti negara, atau juga dalam ruang lingkup kecil seperti pedesaan dan lingkungan, atau juga ruang lingkup terbesar seperti dunia yang juga berisikan bermacam bentuk golongan manusia yang duduk di dalamnya, ada yang kaya dan juga ada yang miskin.

Dalam lapisan sosial ini, selalu saja ada ketimpangan yang kerap terjadi. Bahkan fenomena ini telah sejak lama terjadi. Kita lihat saja pada zaman dinasti Abbasiyah, yang dipenuhi dengan berbagai golongan lapisan masyarakat, dari yang penguasa, pengusaha bahkan orang-orang lapisan bawah. Sangat jarang kita temui orang lapisan atas dapat bergaul dengan orang lapisan bawah, namun hal ini bukan berarti tidak ada. Salah satu contoh adalah Ali bin Makmun, anak seorang khalifah Abbasiyah yang di dalam kehidupannya, rela menghabiskan masa kehidupannya dalam lingkungan orang-orang miskin, disebabkan beliau terinsfirasi oleh seorang pemuda miskin yang hidup dengan gelempingan ibadah dan juga qanaah.[6]

Karakteristik stratifikasi sosial meliputi perbedaan dalam kemampuan dan kesanggupan. Seorang pejabat istana misalnya, pasti memiliki rumah megah karena ia mampu untuk membelinya. Berbeda halnya dengan pegawai rendahan istana yang hanya mungkin dapat membeli gubuk dan sebuah sepeda untuk mengantarkannya ke tempat kerjanya.

Seorang dosen misalnya, biasanya memiliki kehidupan yang lebih baik dibanding dengan guru biasa yang terkadang kerap mengojek dan mencari tambahan di luar jam pelajaran, untuk menambah dan mensejahterakan kehidupan keluarganya. Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya, seorang yang berkedudukan lebih tinggi biasanya semakin banyak hak dan juga fasilitas yang dimilikinya.
C. Unsur-unsur Stratifikasi Sosial
Ada dua unsur sistem pelapisan sosial dalam masyarakat menurut teori sosiologi yaitu;
1. Kedudukan (Status).
2. Peran (Role)

Kedudukan dan peran disamping unsur pokok dalam sistem lapisan di dalam masyarakat, juga memiliki makna yang sangat penting bagi sistem sosial masyarakat. Status menunjukkan tempat atau kedudukan seseorang di dalam suatu masyarakat, sedangkan peranan menunjukkan aspek dinamis dari status, merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari seorang individu tertentu yang menduduki status tertentu.

Kedudukan status seringkali dibedakan dengan kedudukan sosial (social status). Kedudukan adalah sebagai tempat atau posisi seseorang dalam kelompok sosial, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut, atautempat suatu kelompok sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.

Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, hak dan kewajibannya. Untuk mengukur status seseorang, dapat dilihat dari jabatan atau pekerjaannya, pendidikan, luasnya ilmu pengetahuan, kekayaan, keturunan dan sebagainya.

Dalam, masyarakat kedudukan dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Ascribed status
Maksud status ini adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak bangsawan adalah bangsawan pula. Pada umumnya kedudukan ini dijumpai pada masyarakat feodal.

2. Achieved Status
Status ini dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran, akan tetapi bersifat terbuka bagi siapa saja hal mana tergantung kemampuannya masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya.[7]

Sedangkan peranan(role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan kewajiban sesuai dengan kedudukan, maka ia menjalankan sebuah peranan. Pembedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling terkait.

Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam Pergaulan kemasyarakatan. Posisi ini merupakan suatu unsur statis yang menunjukkan tempat seorang individu di dalam suatu komunitas masyarakat. Seseorang senantiasa berhubungan dengan pihak lain. Biasanya setiap pihak mempunyai perangkat peranan tertentu. Seorang dokter misalnya berinteraksi dengan pihak-pihak tertentu di dalam suatu sub-sistem sosial rumah sakit.

Mengenai terjadinya stratifikasi sosial dalam suatu masyarakat dapat dibedakan dengan dua macam. Pertama, sistem pelapisan yang terjadi dengan sendirinya, tanpa adanya kesengajaan. Misalnya lapisan yang didasarkan oleh usia, jenis kelamin, kepandaian, dan mungkin jug pada batas-batas tertentu berdasarkan harta. Kedua, sistem pelapisan yang terjadi dengan adanya suatu unsur kesengajaan, yang biasanya terkait dengan pembagian kekuasaan dan juga wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, patai politik, dan sebagainya.[8]

Sedangkan sifat sistem pelapisan masyarakat ada dua sifat, yaitu bersifat tertutup dan juga yang bersifat terbuka. Suatu sistem pelapisan masyarakat dinamakan tertutup, mana kala setiap anggota masyarakat tetap berada dalam status yang sama dengan orang tuanya. Bentuk yang seperti ini dapat dilihat di negara Amerika misalnya, dimana terdapat pemisahan antara golongan kulit putih dan kulit hitam yang dikenal dengan nama segregation.

D. Perubahan Sosial
1. Pengertian Perubahan Sosial
Menurut Selo Sumarjan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola prilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[9]

Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan, karena tidak ada masyarakat yang bersifat mandek (stagant). Perubahan tersebut ada yang sedikit dan ada juga yang banyak, ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Pengaruh perubahan hanya dapat diketahui oleh seseorang yang sempat mengadakan penelitian susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu tertentu, yang kemudian dibandingkan pada suatu waktu lain.

Perubahan-perubahan di dalam masyarakat adalah perubahan-perubahan norma-norma sosial, nilai-nilai sosial, interaksi sosial, pola-pola prilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan masyarakat, susunan kekuasaan dan wewenang. [10] Setelah terjadi perubahan unsur-unsur sosial, ada sebagian angggota masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan antara unsur-unsur sosial yang ada dalam kehidupan sosialnya, sehingga tidak akan terwujud pola kehidupan masyarakat yang serasi. Apabila di dalam masyarakat proses integrasi sosial tidak bekerja dengan baik, dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi dan disintegrasi sosial.

Disorganisasi sosial akan mendahului disintegrasi sosial. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan paham mengenai tujuan sosial, sistem norma yang tidak ketat, adanya prilaku menyimpang, dan pengendalian sosial kurang berfungsi, serta sistem tindakan sosial yang kurang berfungsi.[11]

Perubahan dalam norma sosial telah banyak diteliti para pengkaji memiliki hubungan dengan perubahan sosial. Apabil norma adalah suatu dasar dari dari keteraturan kehidupan sosial, maka perubahan sosial terjadi dalam struktur masyarakat, terjadi sebagai akibat dari perubahan dalam norma-norma sosial. Banyaknya kecendurngan-kecendrungan yang buruk masa kini, seperti pemogokan buruh industri, tindakan-tindakan kriminal, kebebasan sex adalah hasil dari kebobrokan moral, dan hanya dapat diatasi dengan regenerasi moral.[12]
2. Beberapa bentuk perubahan sosial
Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, diantaranya;
  1. perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat. Perubahan-perubahan yang memerlukan waktu yang lama, dimana terdapat suatu rentetan perubahan-perubahan kecily saling mengikuti lambat dinamakan evolusi. Pada evolusi perubahan terjadi dengan sendirinya, tanpa rencana atau kehendakn tertentu. Perubah tersebut terjadi karena adanya usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keperluan-keperluan, keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi baru, yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Rentetan perubahan tersbut tidak perlu sejalan dengan rentetan peristowa sejarah masyarakat bersangkutan.
  2. perubahan yang dikehendaki dan perubahan yang direncanakan serta perubahan-perubahan yang tidak dikehdaki dan perubahan yang tidak direncanakan.
Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan-perubahan yang direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang menginginkan perubahan dalam masyarakat. Perubahan sosial yang tidak dikehendaki dan direncanakan adalah perubahan tanpa ada kehendak serta berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan masyarakat.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan Sosial
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya perubahan dalam suatu komunitas masyarakat bersumber pada masyarakat itu sendiri dan ada juga yang bersumber dari luar. Sebab-sebab yang bersumber dari masyarakat itu sendiri misalnya;
  • Bertambah atau berkurangnya penduduk. Misalnya perubahan pesat yang terjadi di pulau Jawa, menyebabkan terjadinya perubahan dalam sturktur masyarakat.
  • Adanya penemuan-penemuan baru. Misalnya penemuan dalam bidang iptek, yang membawa pengaruh dalam metode peperangan, yang kemudian pada akhirnya menambah perbedaan antara negara-negara besar dan maju dengan negara-negara kecil dan yang sedang berkembang.

E. Konflik Sosial
Konflik atau pertentangan di dalam suatu asyarakat juga mungkin menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial dalam suatu komunitas masyarakat. Pertentangan-pertentangan ini mungkin terjadi antar individu ataupun antar suatu kelompok dalam suatu masyarakat.

Masyarakat tradisional Indonesia, pada umumnya bersifat kolektif. Segala kepentingan didasarkan pada kepentingan masyarakat. Kepentingan-kepentingan individu walupun diakui mempunyai fungsi sosial. Tidak jarang timbul pertentangan antara kepentingan-kepentingan individu dengan kelompok tersebut, dalam dalam hal-hal tertentu dapat menimbulkan perubahan-perubahan. Misalnya di kalangan suku batak yang sistem kekeluargaannya adalah patrinial murni.

Petentangan antar kelompok mungkin saja terjadi antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan tersebut kerap terjadi apalagi pada masyarakat yang sedang berada pada tahap berkembang dari tradisonal ke tahap modren. Generasi muda yang keperibadainnay belum terbentuk, lebih mudah untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang dalam beberapa bidang memiliki taraf yang lebih tinggi. Keadaan tersebut dapat menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih bebas antara pria dan wanita, kedudukan wanita yang sederajat dengan kaum lelaki di dalam masyarak dan juga lain sebagainya.[13]

Sebenarnya pertentangan ini bukanlah suatu hal yang harus ditakuti, karena terkadang pertentangan ini dapat membantu menghilangkan unsur-unsur yang memisahkandalam suatu antar hubungan sosial dan untuk membangun kesatuan kembali. Selain pertentangan itu dapat menyelesaikan ketegangan antar pihak-pihak yang bertentangan, ia juga berfungsi menstabilkan dan menjadi satu komponen yang menyatukan antara hubungan sosial.[14]

 BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pemaparan singkat menganai masyarakat dan struktur sosial, dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakatb merupakan suatu sistem sosial. Di dalam masyarakat terbentuk suatu susunan struktur sosial yang ditandai adanya pengelompokan sosial yang terdiri dari kelompok inti, sekunder serta kelompok forman dan informal. Didalam klasifikasi kelompok-kelompok sosial, pembedaan yang luas dan fundamental adalah pembedaan antara kelompok-kelompok kecil dimana hubungan antar anggotanya sangat rapat, disisi laindengan kelompok-kelompok yang lebih besar.

Adanya lapisan sosial dalam masyarakat dilandaskan beberapa faktor seperti, faktor ekonomis, politik, pangkat, jabatan serta status peran dalam masyarakat. Sedangkan adanya pertentangan sosial baik yang sifatnya antar individu maupun kelompok dengan masyarakat sekitar memiliki dampak positif, disamping juga ada dampak negatif yang ditimbulkannya.

Dengan demikian struktur sosial yang ada dalam sebuah tatanan bermasyarakat terdiri dari pengelompokan sosial, lapisan sosial, perubahan sosial serta pertentangan sosial. Pemahaman mengenai hal ini dapat membantu dalam memahami sebuah tatanan masyarakat, juga dalam usaha menyelesaikan problematika yang muncul dalam masyarakat itu.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abdul Syani. Sosiologi: Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung Jakarta, 1987. 
  • Aid Abdullah al Qarniy, al Misk wal ‘Anbar, Terj Abd Rahman dan Mhd Zuhirsyan, Kuala Lumpur, Jasmin Enterprise, 2006.
  • David Berry, The Principles of Sosiologi, Trjm Paulus Wirutomo, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995, Ed. I, Cet ke-3.
  • J. Dwi Narwoko. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Pranada Media Kencana, 2004, Ed I.
  • Josep. S. roucek. Sosiologi An Introdution. Tejm Sahat Simamora Jakarta: Bina Aksara, 1984.
  • Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 1982.
  • Dra Siti Waridah dkk, Sosiologi, Jakarta, Bumi Aksara, 2003, h. 109.
  • Soekandar Wiriaatmadja. Pokok-pokok Sosiologi. (Jakarta: Yasaguna, 1991),
  • Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi. (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1964, Ed. I).

politik malaysia

jum'at ,18 april 2014


KEBIJAKAN ISLAMISASI MALAYSIA DI BAWAH PEMERINTAHAN MAHATHIR (1981-1999)
Rahmad Rivaldi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah faktor penting dalam keseluruhan isi dan proses politik di Malaysia. Arti penting Islam dimungkinkan sekurang-kurangnya karena dua hal. Pertama, Islam adalah agama resmi Malaysia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal Pasal 3 (1): “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.[1] Yang menarik, kendatipun Islam dinyatakan sebagai agama resmi negara, para pendiri Malaysia menolak jika dikatakan Malaysia sebagai Negara Islam. Menurut mereka, dicantumkannya Islam sebagai agama resmi tidak akan mempengaruhi kedudukan Federasi sebagai negara sekular.[2] Tunku Abdul Rahman, PM Malaysia pertama, dalam berbagai kesempatan secara terbuka mengungkapkan kekurangpercayaannya mengenai kemampuan Islam dalam memecahkan masalah-masalah kenegaraan. Dalam suatu kesempatan, Tunku menandaskan bahwa negeri ini bukanlah Negara Islam seperti umumnya dipahami. “Kita hanya mengakui bahwa Islam menjadi agama resmi negara”.[3] Dijadikannya Islam sebagai agama resmi Federasi terutama adalah untuk tujuan-tujuan seremonial, umpamanya untuk memungkinkan orang membaca doa menurut Islam dalam upacara-upacara resmi kenegaraan, seperti penobatan Yang di-Pertuan Agong, Hari Kemerdekaan, dan peristiwa-peristiwa serupa.[4]
Kedua, Islam di Malaysia menjadi satu-satunya sistem simbolik yang paling dominan dan belum ada sistem simbolik lain yang memiliki tingkat legitimasi politis setaraf dengan sistem simbolik Islam.[5] Tidak heran, karena itu, jika hampir seluruh kekuatan politik Melayu seperti PAS dan UMNO terus bersaing untuk menampilkan diri sebagai yang paling saleh (holier-than-thou battle) guna mempertahankan legitimasi politisnya di mata kaum Melayu.[6]
Kedudukan istimewa Islam dalam struktur politik Melayu tidak bisa dilepaskan dari corak kolonialisme Inggris di Malaysia. Tidak seperti Belanda di Indonesia yang melumpuhkan Islam sehingga umat Islam kelak tidak memiliki para pegawai terlatih di bidang agama di masjid-masjid dan pengadilan-pengadilan Islam,[7] kebijakan Inggris di Malaysia memperkuat hubungan antara Melayu dan Islam. Inggris bukan hanya memberi hak prerogatif Sultan dalam urusan adat dan agama, tetapi juga menyiapkan instrumen birokratik dan hukum untuk pemberlakuannya secara sistematis dan menyeluruh.[8] Kaum aristokrat Melayu diberi ruang gerak oleh Inggris, sesuatu yang tidak diperoleh aristokrat bumiputera di Indonesia. Hal ini membantu menjelaskan mengapa para bangsawan Melayu lebih leluasa untuk menegosiasikan pencantuman Islam sebagai agama resmi negara Malaysia, suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh para tokoh agama di Indonesia.
Ketika Islam masuk dalam konstitusi sebagai agama resmi negara, praktis tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis sekular seperti di Indonesia. Di Indonesia, pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945 dianggap akan menggoyahkan persatuan nasional yang hendak digalang di antara seluruh komponen bangsa, karena itu dihapuskan. Pembatalan Piagam Jakarta masih terus menyisakan ketidakpuasan di sebagian kelompok masyarakat Islam hingga sekarang.[9] Di Malaysia, Islam tampil sebagai kekuatan simbolik dominan yang tak tertandingi oleh sistem simbolik lain. Namun justru karena itu Islam di Malaysia, menurut seorang penulis, kurang dinamis dibanding Islam Indonesia.[10] Artikulasi politik Islam di Malaysia tidak bisa melampaui batas-batas formalisme dan karena itu menjadi lebih terbuka terhadap serangan gerakan fundamentalis. Dalam konteks politis dan sosial seperti inilah program “Islamisasi” pemerintah Malaysia dilancarkan Mahathir. Komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan nilai-nilai Islam di Malaysia secara terbuka disampaikan Mahathir dalam Perhimpungan Agung UMNO ke-38 pada September 1982.[11] Dua tahun kemudian, Mahathir secara resmi mengumumkan niatnya untuk “mengislamkan jentera kerajaan”.[12]
B. Perumusan Masalah
Ketika Mahathir naik ke panggung utama politik Malaysia, Islam tengah menjadi sorotan luas dan menjadi tenaga pendorong gelombang pasang revivalisme Islam pada dekade 1970-an. Demam Islam (frenzy of Islam) melanda hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk elit-elit UMNO yang sekular, menyusul peristiwa-peristiwa penting seperti Perang Arab-Israel pada 1973, Invasi Uni Soviet ke Afghanistan dan Revolusi Islam Iran pada 1979. Atmosfer kebangkitan Islam ini berpaut dengan hasil tak terduga dari Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy) yang menghasilkan kelas Melayu terpelajar yang melalui mereka-lah Islam sebagai alternatif dibicarakan secara luas. Dalam situasi yang diliputi oleh “demam Islam” semacam ini berbagai kebijakan Islam Mahathir digelar. Penelitian ini akan menjawab dua hal: [1] Bagaimana dan dalam bentuk apa program Islamisasi Malaysia dilancarkan Mahathir?; [2] Faktor-faktor apa yang menjadi motif dasar kebijakan Islamisasi tersebut? Penelitian ini akan memusatkan telaah pada periode antara 1981, saat Mahathir naik di pucuk pimpinan partai dan pemerintahan, hingga 1999 saat pertaruhan politik melalui pemilu digelar menyusul kemelut politik dan ekonomi yang terjadi pada 1998.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: [1] Menemukan gambaran mengenai bentuk-bentuk kebijakan Islamisasi yang diambil pemerintahan Mahathir; [2] Mengetahui motif-motif yang melatarbelakangi kebijakan Islamisasi tersebut. Dengan menjawab dua persoalan pokok di atas, penelitian ini pada akhirnya diharapkan akan mampu mengungkap dan memperjelas bagaimana sesungguhnya status Islam yang dilekatkan kepada negara Malaysia. Apakah program-program Islam yang digalakkan Mahathir membuat Malaysia menjadi negara Islam, suatu maksud yang justru ditolak para pendiri awal negara Malaysia?
D. Kerangka Teori
Isu mengenai Negara Islam dan Islam politik selalu terkait dengan perdebatan teoritik yang tidak pernah berkesudahan mengenai hubungan Islam dan politik serta agama dan negara. Sepanjang sejarah politik Islam, isu mengenai relasi agama-negara telah menyita begitu banyak perhatian, tetapi tidak pernah berujung pada satu kesimpulan tunggal. Hal ini bermuara paling tidak pada dua hal: [1] Apakah Islam sungguh-sungguh memiliki konsep tentang negara?; dan [2] Bagaimana bentuk negara menurut Islam? Dari sekian preseden sejarah, manakah yang bisa disebut paling mewakili “negara Islam”: khilâfah universal model dinasti Umayyah/Abbasiyah? Imperium Turki Utsmani? Saudi Arabia? Iran? Republik Islam Pakistan? atau Malaysia yang, di bawah tekanan PAS, diumumkan Mahathir sebagai Negara Islam serta UMNO sebagai partai Islam terbesar di Malaysia?[13] Keragaman bentuk formasi politik dalam sejarah kekuasaan Islam melahirkan pertanyaan fundamental: Apakah Islam memang benar-benar memiliki konsep tentang negara? Kalau ada suatu konsep mengenai negara Islam, mengapa terdapat aneka bentuk ekspresi dan manifestasi?
Dalam menjawab persoalan penting ini, dalam khazanah pemikiran politik Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma dalam melihat relasi agama-negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.[14] Bagi paradigma integralistik, agama (Islam) dan negara adalah sesuatu yang manunggal dan tidak bisa dipisahkan. Islam dimengerti sebagai sebuah totalitas: agama sekaligus negara (al-Islâm dîn wa dawlah).[15] Negara dan kekuasaan politik menyatu dalam rukun Islam, karena itu menegakkan khilâfah atau imâmah adalah wajib syar’i. Kedaulatan dalam kekuasaan politik Islam berada di tangan Allah yang menyatakan kekuasaannya melalui hukum-hukum/syari’at Islam. Bentuk negara/pemerintahan Islam adalah teokrasi, sebuah kekuasaan politik dengan mandat keagamaan. Pandangan ini dianut oleh kaum fundamentalis, baik dari jalur sunni maupun syi’i. Dari jalur sunni, pandangan ini bisa dilihat dari pemikiran Abu al-A’lâ al-Mawdûdi, dan dari jalur syi’i bisa disimak dari pemikiran Ayâtullah Khomeini.[16]
Kelompok fundamentalis dari dua jalur ini sama-sama berpandangan bahwa khilâfah/imâmah adalah formasi politik yang didasarkan pada kanon ilahi yang dipimpin oleh seorang imâm/khalîfah yang bertindak sekaligus sebagai penguasa politik dan agama. Perbedaannya terletak dalam mekanisme pengangkatan khalifah. Dalam konsep syi’i, imâm adalah seseorang yang memperoleh mandat kepemimpinan politik dan agama melalui jalur keturunan Nabi. Hanya merekalah yang paling berhak menggantikan nabi (khalîfah al-rasûl) dalam memegang kepemimpinan politik dan agama, karena sebagai pengganti Nabi, para imam ini memilik sifat ‘ismah (terhindar dari kesalahan). Dalam perspektif syi’ah, negara yang didasarkan pada legitimasi kegamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan ‘kedaulatan Tuhan’ bersifat teokratis.[17]
Sementara dalam konsep sunni, seorang khalifah dipilih melalui mekanisme syûro dan bay’ah oleh ahl al-hall wa ‘aqd yang mewakili aspirasi kaum Muslimin. Imam bisa dipilih dari siapa saja yang dianggap cakap dan mampu. Karena itu, al-Mawdûdi menolak penggunaan istilah teokrasi bagi sistem yang ditawarkannya, melainkan teodemokrasi.[18] Teodemokrasi mengisyaratkan sebuah pemerintah yang dituntun oleh konstitusi Islam yang dijalankan oleh seorang pemimpin yang dipilih secara demokratis oleh rakyat. Dalam pemerintahan Islam, menurut Mawdudi, “the entire Muslim population runs the state in accordance with the Book of God and the practice of His Prophet”.[19]
Berbeda dengan paradigma integralistik, paradigma simbiotik memandang agama dan negara secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan bersifat komplementer. Agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat tumbuh dalam bimbingan etika dan moral.[20] Pandangan simbiotik agama-negara dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mâwardi, seorang teoretikus politik sunni Abad Pertengahan. Al-Mâwardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imâmah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (hirâsat al-dîn wa siyâsat al-dunyâ).[21] Memelihara agama dan mengatur dunia merupakan dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Sarjana lain, al-Ghazâli, menyatakan adanya paralelisme antara misi nabi-nabi dan raja-raja. Keduanya diutus Tuhan dengan satu tujuan, yaitu menegakkan kemaslahatan umat manusia. Dalam magnum opus-nya, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, al-Ghazâli menyatakan: “al-dîn wa al-mulk taw’amâni falâ yastaghnî ahaduhumâ ‘an al-âkhar” (agama dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan).[22] Dalam skema pemikiran al-Ghazâli, Islam tidak harus menyatu secara kelembagaan dengan negara, tetapi agama dan negara merupakan dua saudara kembar yang lahir dari satu ibu.[23]
Jika paradigma integralistik berada di kutub ektrem radikal, paradigma ketiga, yaitu paradigma sekularistik, berada di titik ekstrem liberal. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik agama-negara. Bagi paradigma sekularistik, agama dan negara adalah dua wilayah yang terpisah. Agama merupakan sistem keyakinan yang bersumber dari wahyu sementara negara adalah sistem sosial yang bersumber dari akal dan pertimbangan rasional. Di barisan aliran ini, Ali Abdur Râziq berdiri di garis depan. Menurut Râziq, Islam tidak memberi petunjuk apapun tentang bentuk negara yang harus didirikan umat Islam, termasuk khilâfah. Baik Qur’an maupun Hadits tidak pernah menyebut khilâfah dalam pengertian sebagai sistem politik seperti ada dalam sejarah politik Islam. Manurut Râziq, khilâfah tidak mempunyai dasar, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.[24] Lebih jauh, Râziq mengatakan bahwa Muhammad adalah semata-mata seorang rasul pemimpin agama, bukan pemimpin politik. Risalah yang dibawakannya adalah risalah kenabian, bukan risalah kekuasaan. Komunitas yang dibangun Nabi tidak lebih merupakan komunitas keagamaan dan bukan komunitas politik seperti diduga banyak orang. Dengan pandangan ini, Raziq sesungguhnya tidak bermaksud membuang arti penting kekuasaan politik. Kekuasaan politik penting bagi Islam, tetapi tidak berarti bahwa Islam menentukan bentuk spesifik negara atau pemerintahan. Bentuk-bentuk kekuasaan tidak pernah ditentukan oleh Islam, tetapi oleh rasio yang berkembang dalam sejarah dan disesuaikan dengan tuntutan ruang dan waktu.[25]
Tiga paradigma hubungan agama dan negara ini penting untuk melihat pandangan para elit Melayu UMNO dalam mengembangkan perspektif mengenai hubungan agama dan politik. Para pemimpin UMNO, seperti Mahathir, berpegang pada pendapat bahwa agama dan politik tidak boleh dicampuradukkan.[26] Berbeda dengan PAS, Islam, menurut Mahathir, tidak menetapkan bentuk-bentuk pengaturan politik spesifik yang harus diikuti.[27] Kendatipun demikian, Islam bukannya tak punya urusan dengan kegiatan politik kenegaraan. Islam concern terhadap dunia politik kenegaraan dalam prinsip umumnya, yaitu untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan manusia. Dalam konsep Islam Hadhari yang ditawarkan UMNO baru-baru ini, Islam dan negara dilihat sebagai dua perkara yang berbeda. Negara dalam pengertian modern adalah sebuah institusi yang dihasilkan dari berbagai unsur, yaitu rakyat, pemerintah, wilayah dan pengakuan. Oleh karena itu, hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Islam Hadhari menolak konsep Negara Teokrasi, dalam mana Islam sering menjadi alat untuk mengesahkan negara.[28] Menjadi jelas bahwa dari ketiga paradigma di atas, elit-elit Melayu UMNO, seperti Mahathir, memahami hubungan agama dan negara dalam kerangka simbiotik. Pandangan simbiotik ini sangat berpengaruh dalam menentukan proses dan dinamika politik di Malaysia, termasuk dalam keberhadapannya dengan PAS.
Studi-studi tentang dinamika Islam dan politik di Malaysia telah ditulis oleh beberapa sarjana. Satu karya yang layak disebut adalah buku Hussin Mutalib, Islam and Ethnicity in Malay Politics (1990). Mutalib menganalisis bagaimana dua kekuatan utama yang mendefinisikan identitas Melayu—Islam dan nasionalisme etnis Melayu—bekerja membentuk sistem dan konfigurasi politik di Malaysia sejak pembentukannya pada 1963 hingga 1987. Dalam pengamatan Mutalib, kaum Melayu tampak berada dalam tarikan dua gravitasi yang acap kali berlawanan, meskipun keduanya terbukti tidak dapat dipisahkan, yaitu Islam dan nasionalisme. Kedua kekuatan itu berurat-berakar dalam psike Melayu dan menciptakan semacam ketegangan dialektis. Di satu pihak, bangsa Melayu adalah sebuah masyarakat etnis yang terpisah, tetapi di pihak lain mereka adalah anggota dari sebuah masyarakat universal, yaitu masyarakat Islam (ummat) yang melintasi batas etnis-nasional.
Akibat dari dialektika ini adalah terbentuknya sikap mendua, jika bukan ambivalen, terhadap dua unsur pembentuk identitas Melayu yang saling tergantung namun kadang saling bertentangan tersebut.[29] Ada saat-saat di mana kaum Melayu tampak cenderung lebih dekat kepada Islam, namun ada saat-saat lain di mana tarikan etnis menjadi terlalu kuat untuk ditahan. Demikian pula, ada saat di mana dua kekuatan itu bekerja sebagai instrumen perekat persatuan Melayu, namun di saat lain keduanya menjadi kekuatan pemecah belah. Menurut Mutalib, pada titik di mana dua kekuatan itu bergulat mempengaruhi pilihan sikap orang Melayu, telah terbukti bahwa kekuatan etnislah yang lebih berpengaruh.[30] Bahkan, ketika terjadi kecenderungan “Islamisasi” pemerintahan sejak 1980-an, tarikan etnis tetap mendominasi kerangka pikir elit yang menduduki posisi tinggi di pemerintahan, meskipun pemerintah sendiri secara resmi menunjukkan dukungannya terhadap Islam.[31] Menurut Mutalib, jika sejarah UMNO (dan warga Melayu pada umumnya) digunakan sebagai ukuran untuk meneropong aksi partai itu ke depan, maka dapat diduga bahwa dialektika Melayu-Islam sekali lagi akan lebih condong kepada etnis Melayu, kapanpun UMNO dan warga Melayu merasa terancam oleh tuntutan dan tekanan dari warga non-Melayu.[32]
Kesimpulan Mutalib mengafirmasi apa yang telah ditandaskan hasil penelitian sebelumnya oleh Judith Nagata dalam The Reflowering of Malaysian Islam. Menurut Nagata, kebangkitan Islam di Malaysia dewasa ini tidak pernah mengakibatkan pengikisan sepenuhnya kemelayuan yang murni (pristine Malayness).[33] Bahkan, menurut Nagata, maraknya gerakan dakwah yang berkembang sejak dekade 70-an adalah manifestasi dari bersatunya warga Melayu untuk melindungi kepentingan mereka dalam menghadapi warga non-Melayu.[34] Tesis utama yang dikembangkan Nagata adalah bahwa Kebangkitan Islam atau gerakan dakwah di Malaysia mengkristal dari kebutuhan politik orang-orang Melayu untuk menyatakan kembali identitas dan supremasi politik mereka. Nagata memandang Islam sebagai alat bagi konsolidasi supremasi politik kaum Melayu. Dengan kata lain, seperti dilansir Muzaffar, apa yang sesungguhnya terjadi adalah membangun sarang etnis di sekitar dirinya tetapi merasionalisasikan dan mengesahkannya atas nama Islam. Jadi, “etnic cocoon…protected by a veneer of religion”, kepompong etnis dilindungi oleh pernis agama.[35]
Gelombang pasang Islam tidak identik dengan meningkatnya etos Islam sebagai agama yang benar-benar vital dan hidup, tetapi lebih sebagai instrumen dan alat kekuatan etnis Melayu dalam politik identitas di Malaysia. Mungkin dapat dikatakan bahwa fenomena kebangkitan Islam sejak 1970-an ternyata lebih merupakan kebangkitan sentimen keagamaan daripada sentimen keislaman. Menurut Mutalib, menjadi jelas bahwa pengertian Islam dalam konsep Melayu terbukti sudah sangat ternodai dengan unsur ‘Melayu’. Islam yang dianut oleh mayoritas warga Melayu pada umumnya adalah penganutan Islam yang tanpa dibarengi dengan penghayatan atas prinsip dan dimensi-dimensi universal kemanusiaan dan falsafi dari agama itu.[36]
Mengenai kebangkitan Islam di Malaysia yang dimotori oleh gerakan dakwah mahasiswa, layak disebut kontribusi Zainah Anwar dalam bukunya Islamic Revivalism in Malaysia (1987). Menurut penelitian Zainah, gerakan dakwah tidaklah monolitik. Gerakan ini memantulkan tingkat iman, komitmen, dan gaya hidup yang berjenjang-jenjang yang telah membawa pada persaingan dan perpecahan di antara kelompok organisasi dakwah. Gelombang kebangkitan Islam pertama yang dipelopori Anwar Ibrahim dan ABIM mengambil nada moderat. Islam yang disiarkan ABIM mengakui dan menerima kelemahan-kelemahan manusiawi di tingkat komitmen terhadap agama yang berbeda-beda. ABIM tidak pernah secara garang mengumandangkan pembentukan negara Islam. Ia yakin: Islamkan dulu ummat melalui jalan yang bertahap, moderat, dan progresif.[37]
Gelombang dakwah kedua pada akhir tahun 1970-an mengambil belokan yang lebih radikal. Gelombang ini dipicu oleh kembalinya ratusan mahasiswa Malaysia dari Inggris yang telah dipengaruhi corak Islam yang lebih fundamentalistik dari Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Jamaati-i- Islami (Pakistan). Apa yang tadinya merupakan kekuasaan PKPIM dan ABIM yang moderat, kini disaingi oleh kepercayaan lain yang lebih militan dari orang-orang yang baru pulang ini. Mereka kini menjadi dosen-dosen muda di berbagai universitas di seluruh negeri, termasuk Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Universiti Teknologi Malaysia. Sebagian mereka mengajar sains di sekolah-sekolah menengah setempat yang didirikan pemerintah khusus untuk para siswa terbaik Melayu. Sebagian yang lain menjadi profesional dan administrator di berbagai departemen pemerintah. Sambil bekerja melayani kontrak pemerintah, mereka juga mulai menyebarkan ajaran Islam, sebuah pendekatan fundamentalistik dan hitam putih terhadap perjuangan Islam. Mereka seterusnya melahirkan generasi yang lebih militan dari pengikut dakwah di kalangan siswa sekolah menengah dan universitas sehingga akhirnya memudarkan pengaruh ABIM yang moderat.[38]
Di antara beberapa karya di atas, penelitian ini akan memusatkan fokus telaah pada kebijakan-kebijakan Islamisasi pemerintahan dalam periode kekuasaan Mahathir (1981-1999) berikut konteks politis dan sosial yang melingkupinnya.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah riset kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.[39] Penelitian kualitatif mengutamakan penghayatan (verstehen) subjek peneliti atas objek penelitiannya. Kekuatan penghayatan ini akan menentukan hasil dari suatu analisis terhadap ‘dunia sosial’. Menurut Giddens, analisis verstehen dipandang sebagai metode yang paling tepat diaplikasikan dalam ilmu-ilmu humaniora (human sciences) yang dilawankan dengan semacam metode observasi eksternal yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences).[40] Penelitian kualitatif beranjak dari paradigma ilmu bahwa satu-satunya kenyataan adalah kenyataan yang dikonstruksikan oleh individu yang terlibat dalam penelitian.[41] Dalam kaitan ini, apa yang terungkap sebagai kenyataan-kenyataan mengenai Islamisasi politik Malaysia tidak lain adalah kenyataan yang dikonstruksi dan dipahami penulis dengan segenap asumsi, keyakinan dan penafsiran-penafsiran pribadi penulis yang bersifat subjektif. Penelitian ini bersifat eksploratif inferensial yakni bertujuan untuk menggali dan menemukan kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik secara sistematis dari tema-tema khusus.
Penelitian ini adalah riset pustaka yang akan mengolah data yang himpun dari buku-buku, tulisan-tulisan (jurnal dan artikel) dan pemberitaan-pemberitaan media yang berkaitan langsung dengan topik penelitian ini. Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan analitis tematik. Kendatipun analisis atas peristiwa-peristiwa dan isu-isu dalam setiap bab mengikuti suatu kerangka kronologis, perhatian yang lebih luas ditempatkan pada pengembangan tema-tema pokok yang berhubungan dengan alur sentral penelitian ini, yaitu Islam dalam kebijakan pemerintahan Mahathir. Untuk tujuan ini, akan ditempuh langkah-langkah metodis sebagai berikut. Pertama, menginventarisasi dan menyeleksi berbagai program dan kebijakan pemerintahan Mahathir yang berkaitan dengan Islam. Kedua, mengevaluasi dan memberikan analisis kritis terhadap program dan kebijakan tersebut dari perspektif teoritis yang digunakan dalam penelitian ini. Ketiga, melacak motif-motif dasar yang melatarbelakangi munculnya kebijakan tersebut. Dan keempat, menarik benang merah dan kesimpulan umum mengenai substansi kebijakan Islamisasi Malaysia di bawah pemerintahan Mahathir yang berlangsung sepanjang 1981-1999.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini diorganisasikan menurut alur penguraian sistematis dan kronologis dalam lima bab sebagai berikut:
Bab I adalah bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II membahas konteks politis dan sosial Islam Malaysia yang mencakup ulasan mengenai struktur sosial masyarakat Malaysia, kedudukan Islam dalam konstitusi Malaysia, dan ulasan mengenai kebijakan Islam dalam pemerintahan sebelum Mahathir
Bab III mengupas kebijakan pemerintah terhadap Islam dalam periode kekuasaan Mahathir 1981-1999.
Bab IV menguraikan dinamika politik Malaysia berkaitan dengan politik Yahudi Mahathir dan drama politik Anwar Ibrahim yang menandai salah satu tonggak terpenting dalam sejarah politik di Malaysia.
Bab V adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.1


BAB II
KONTEKS POLITIS DAN SOSIAL ISLAM MALAYSIA
A. Struktur Sosial Masyarakat Malaysia
Malaysia adalah negara dengan struktur masyarakat plural.[42] Penduduk Malaysia meliputi beragam warna kulit dan suku bangsa. Tiga etnis terbesar adalah Melayu, Cina dan India. Di samping itu, terdapat banyak orang Pakistan, Sri Lanka dan Bangladesh, serta beberapa penduduk pribumi yang banyak berdiam di Sabah dan Serawak. Pemilahan etnis ini seringkali berjajar dengan pembelahan ekonomi,[43] sehingga konflik yang bermotif ekonomi seringkali ditafsirkan sebagai konflik etnis daripada kelas.[44] Kesenjangan ekonomi yang didukung oleh perbedaan latar belakang etnis dan kultural potensial menjelma menjadi konflik rasial seperti pernah meletus pada 13 Mei 1969. Untuk mengatasi problem kemajemukan, pemerintah berupaya mengadopsi beberapa prinsip demokrasi konsosiasional, khususnya pada periode 1955-1969.[45] Namun, fakta pluralitas tetap menjadi problem yang sensitif, sehingga meloncat pada kesimpulan bahwa Malaysia merupakan masyarakat plural yang harmonis dan sejahtera adalah ilusi.[46]
Dalam struktur masyarakat Malaysia, Islam telah menjadi bagian yang menyatu dalam identitas nasional, sejarah, dan kebudayaan Melayu. Akibat kolonialisme Inggris, struktur demografis Melayu mengalami perubahan dengan masuknya gelombang pendatang dari Cina dan India. Hal ini menandai faset sejarah Malaysia sebagai negeri multirasial, multietnis, dan multiagama. Ketika meraih kemerdekaan pada 1957, penduduk Malaysia berjumlah 6.278.763. Dari jumlah itu, Melayu kurang lebih 50 persen, Cina 37 persen, India sekitar 12 persen, dan suku lain 0,2 persen.[47] Pada sensus tahun 1970, perbandingan komposisi yang muncul adalah: 53: 35: 11.[48] Pada akhir 1998, dari 21 juta penduduk Malaysia, 51 persen di antaranya adalah Melayu, 27 persen Cina, 8 persen India dan 12 persen suku lain. Dalam statistik terakhir, warga Melayu kurang lebih 60 persen, Cina 25 persen, dan India sekitar 7 hingga 10 persen dari total populasi Malaysia.[49]
Pada awal-awal kemerdekaan, Melayu sebagian besar merupakan masyarakat pedalaman yang bekerja sebagai petani atau nelayan. Di kutub lain, meski banyak juga yang bekerja di sektor pertanian, mayoritas etnis Cina dan India bekerja di bidang ekonomi modern yang mencerminkan suatu pembagian kelas. Orang-orang India banyak bekerja di perkebunan dan pemerintahan, sementara Cina di pertambangan, industri dan perdagangan.[50] Cina khususnya menguasai perdagangan skala kecil dan menengah. Sementara Melayu dominan di birokrasi dan pertanian, non-Melayu menguasai bidang perdagangan, profesi, dan perburuhan.
Kemajemukan etnis dan pemilahan komunal telah membentuk watak politik Malaysia yang bercorak perkauman.[51] Seorang penulis mengatakan bahwa hampir semua analisis politik di Malaysia berawal dan berakhir dari persoalan komunalisme.[52] Seluruh isu-isu politik selalu dikaitkan dengan pertimbangan-pertimbangan komunal, seperti kebijakan ekonomi, pembangunan regional, bahasa, pendidikan, imigrasi, rekrutmen pegawai negeri dan angkatan bersenjata, dan juga banyak hal lain.[53] Politik dan partai-partai politik di Malaysia terutama diorganisir searah dengan garis-garis etnis. Konflik kepentingan yang bernuansa rasial dicoba mediasi oleh para elit politiknya dengan membentuk pakta elit yang dinyatakan dalam pemerintahan koalisi. Dengan cara ini, konflik komunal relatif bisa diredam, kecuali pada peristiwa tragis Mei 1969.
B. Islam dalam Konstitusi Malaysia
Konstitusi Malaysia diambil dari Undang-undang Federasi Malaya yang disahkan pada Hari Kemerdekaan 31 Agustus 1957. Konstitusi Federal adalah produk dari kerja komisi konstitusi yang diketuai oleh Lord Reid, seorang anggota Lord of Appeal Inggris. Komisi Reid dibentuk sebagai hasil Perjanjian London (1956) antara pemerintah Inggris, konferensi Raja-raja Melayu, dan wakil-wakil dari partai politik utama Malaya. Setelah melalui perundingan yang melibatkan tiga partai politik utama, yaitu UMNO, MCA dan MIC, usulan-usulan Reid diterima oleh Dewan Legislatif Federal (Federal Legislative Council) dan diundangkan sebagai konstitusi baru negara. Ketika negara Malaysia dibentuk pada 16 September 1963, Konstitusi Federal Malaysia tetap dipertahankan tetapi dengan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat menampung masuknya Sabah dan Serawak.
Dalam konstitusi Malaysia diatur dengan jelas mengenai agama Islam dan kedudukan istimewa kaum Melayu. Pada Pasal 3 dikatakan: “Agama Islam adalah agama persekutuan, tetapi agama lain boleh diamalkan dengan aman dan damai di setiap bagian negera-negara Federasi” (Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practiced in peace and harmony in any part of Federation).[54] Menurut konstitusi, Islam adalah agama negara atau agama resmi Federasi Malaysia.[55] Meskipun demikian, konstitusi menjamin agama lain untuk dapat diamalkan dengan aman dan damai di seluruh wilayah dan kawasan Malaysia. Pasal 11 ayat (1) mengukuhkan kebebasan beragama: “Setiap orang berhak memeluk dan mengamalkan agamanya serta tunduk pada ayat (4) dalam upaya menyebarkannya” (Every person has the right to profess and practise his religion and, subject to Clause (4) to propagate it).[56] Konstitusi Malaysia menegaskan bahwa setiap orang bebas menganut dan mengamalkan agamanya masing-masing, tetapi dalam pengembangannya harus tunduk pada ketentuan undang-undang dasar. Pemerintah negara-negara bagian berhak mengawasi atau melarang propaganda suatu agama atau kepercayaan lain terhadap pemeluk agama Islam. Dengan kata lain, negara melindungi orang-orang Islam dari propaganda agama atau kepercayaan lain di luar Islam. Pemerintah berhak melarang usaha-usaha yang dapat merusak agama Islam atau memurtadkan orang Islam.
Untuk itu, konstitusi Pasal 3 (2) menyebutkan bahwa Raja dari suatu Negara bagian adalah Ketua Agama Islam di negara bagian setempat. Negara bagian yang tidak punya Raja seperti Pulau Pinang dan Melaka, kedudukan Ketua Agama Islam dipegang oleh Yang di Pertuan Agong. Raja-raja di negara bagian memiliki hak-hak khusus dan kedaulatan dalam hal yang berhubungan dengan Agama Islam. Setiap hal mengenai agama Islam yang telah diputus oleh Majelis Raja-raja berlaku untuk seluruh Malaysia. Ketentuan pasal ini memberikan kedudukan yang sangat penting kepada Yang di Pertuan Agong dan Raja-raja Melayu. Di samping sebagai Kepala Negara, Yang di Pertua Agong dan Raja-raja Melayu adalah penjaga Islam dan kepentingan orang-orang Melayu.
Ketentuan yang mengistimewakan Islam terdapat juga pada Pasal 12 (2). Di situ dikatakan bahwa tiap-tiap perkumpulan keagamaan berhak mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan untuk anak-anak serta untuk menyelenggarakan pendidikan agama bagi perkumpulan itu sendiri. Tetapi, adalah sah jika pemerintah Malaysia dan negara bagian memberikan bantuan keuangan yang khusus untuk keperluan pendidikan agama Islam.[57]
Jika dianalisis secara utuh, pengistimewaan agama Islam sesungguhnya berjajar dengan pengkhususan perlakuan terhadap Melayu. Pasal 160 menyatakan: “Melayu adalah seseorang yang menganut agama Islam, lazim bertutur dalam bahasa Melayu, dan menganut adat istiadat dan kebiasaan Melayu (Malay means person who professes the religion of Islam, habitually speaks the Malay language, conforms to Malay custom).[58] Dari perspektif konstitusi, Melayu identik dengan Islam. Pemihakan terhadap Melayu dianggap sama dengan pemihakan terhadap Islam. Pasal 89 konstitusi menegaskan bahwa tanah-tanah yang disediakan untuk orang Melayu sejak sebelum Merdeka sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka tanah-tanah tersebut harus tetap disediakan untuk orang-orang Melayu.[59] Tanah-tanah untuk orang Melayu tidak boleh dipindahtangankan kepada orang-orang non-Melayu. Dengan ketentuan tersebut, secara teoritis luas tanah orang Melayu tidak akan berkurang dan tanah-tanah tersebut tidak akan jatuh kepada orang-orang luar Melayu.
Pasal 153 (1) menyebutkan: “Adalah menjadi tanggung jawab Yang di Pertuan Agong memelihara kedudukan istimewa orang Melayu dan pribumi Sabah dan Serawak serta kepentingan-kepentingan sah kelompok lain dengan mengikuti ketentuan ini”.[60] Keistimewaan orang Melayu meliputi berbagai hal, seperti posisi dalam pelayanan umum, beasiswa bantuan dan keistimewaan dalam pendidikan, pelatihan-pelatihan, kemudahan dalam izin-izin perdagangan dan bisnis serta lisensi-lisensi lain. Sesuai dengan konstitusi, Yang di Pertuan Agong bertanggung jawab untuk memelihara, menjamin dan mempertahankan hak-hak istimewa orang-orang Melayu dalam pelbagai bidang.[61]
Kendatipun konstitusi secara eksplisit menyebut Islam sebagai agama negara, tetapi sulit dibayangkan bahwa negara Islam atau pelaksanaan hukum hudud di Malaysia dapat diterapkan dengan dasar konstitusi yang ada sekarang.[62] Sebab, seperti dijelaskan Perikatan, maksud dijadikannya Islam sebagai agama resmi Federasi terutama adalah untuk maksud dan tujuan seremonial, seperti dimungkinkannya pembacaan doa-doa menurut cara Islam pada acara-acara resmi negara, seperti pelantikan Yang di-Pertuan Agong, perayaan Hari Kemerdekaan dan semacamnya.[63] Meskipun Islam dijadikan agama negara, hal itu tidak sedikitpun mempengaruhi kedudukan Federasi sebagai negara sekular.[64] Lebih jauh, penetapan Islam sebagai agama negara bukanlah untuk mendaulatkan Islam, apalagi menegakkan hukum Islam, melainkan semata-mata untuk mengekalkan ciri penting dalam Persekutuan 1895. Ciri tersebut adalah bahwa kedaulatan Raja-raja Melayu diakui, tetapi Raja harus mendengarkan nasihat Inggris dalam hal-hal kecuali menyangkut adat dan agama Islam. Oleh karena itu, pencantuman Islam sebagai agama Federasi semata-mata untuk memelihara hak Raja-raja Melayu, dan bukan untuk mendirikan Negara Islam.[65] Seorang penulis menyimpulkan, kendatipun Islam adalah agama resmi Malaysia,Malaysia is not an Islamic state”.[66]
C. Islam dalam Kebijakan Pemerintahan Sebelum Mahathir
Malaysia sebelum 1980-an, dalam keseluruhan isi dan tujuannya, adalah negara sekular seperti halnya negara-negara Muslim lain pada masa itu. Sejak 1981, ketika Mahathir tampil di pucuk pimpinan pemerintahan, terjadi perubahan yang memberikan tempat lebih besar kepada Islam. Kendatipun Islam tetap dipakai sebagai alat legitimasi oleh Mahathir dan UMNO, Mahathir secara pribadi terlihat betul-betul ingin menerapkan nilai dan prinsip-prinsip universal Islam dalam tata pemerintahan Malaysia.[67]
UMNO sejak awal telah menjadi arena pertarungan antara mereka yang berorientasi Islam dan sekular. Komitmen para pemimpin teras UMNO sendiri kepada Islam sejak semula bersifat terbatas. Ini dibuktikan dengan penolakannya yang menyeluruh terhadap apa yang diusulkan oleh Kesatuan Melayu Singapura (Singapore Malay Union) bahwa UMNO seharusnya berjuang untuk berdirinya sebuah negara Islam.[68] Para tokoh yang berorientasi Islam seperti Ahmad Fuad dan Syed Amin Hadi serta Abdullah Pa’him dan Syed Nasir Ismail dari Biro Ulama UMNO akhirnya memutuskan untuk memisah dan mendirikan partai tersendiri dengan nama Hizbul Muslimin (HAMIM). HAMIM dibentuk pada 14 Maret 1948 dengan mengusung tiga tujuan utama: meraih kemerdekaan dari tangan penjajah, membangun masyarakat berdasarkan Islam, dan membentuk Melayu sebagai negara Islam (Darul Islam).[69] Pendirian partai ini mengambil ilham dari gerakan Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan Masyumi di Indonesia. Usia partai ini pendek ketika dibubarkan oleh pemerintah kolonial dan para tokohnya ditangkap menyusul diumumkannya Pernyataan Darurat pada 18 Juni 1948.[70] Corak aspirasi dan artikulasi politik Hizbul Muslimin kelak menjelma kembali dalam PAS (Parti Islam Se-Malaysia).[71] PAS didirikan pada 1951 oleh kaum ulama yang keluar dari UMNO dengan alasan “kebijakan kompromisnya terhadap orang-orang non-Melayu dan juga karena hal yang mereka anggap sebagai sikap ambivalen terhadap Islam”.[72]
Meskipun komitmen UMNO terhadap Islam sejak semula bersifat terbatas, namun demi mengamankan legitimasinya di mata kaum Muslim Melayu, atau karena menyadari sifat integral Islam dalam identitas Melayu, UMNO memasukkan Islam sebagai salah satu tujuan utamanya.[73] Ketika UMNO memenangkan kemerdekaan untuk Malaya pada 31 Agustus 1957, Islam sesungguhnya tidak diberi peran utama dalam pemerintahan negara. Ini bisa diukur dari seberapa jauh prinsip-prinsip Islam termuat dalam Konstitusi. Konstitusi Merdeka, karena mengakomodasi aspirasi Inggris mengenai pluralisme kewargaan, tidak bisa menampung secara kesuluruhan prinsip-prinsip Islam. Ada empat argumen yang diketengahkan Mutalib untuk menopang hipotesis ini.[74] Pertama, tidak ada satu pun orang Muslim Malaya dalam keanggotaan Komisi Konstitusional yang dibentuk di London di bawah kepemimpinan Lord Reid. Komisi pada awalnya juga tidak merekomendasikan Islam sebagai agama Federasi; ketentuan ini baru disisipkan belakangan sebagai respon atas tanggapan Komite Kerja yang menuntut dimasukkannya klausul (Pasal 3 ayat 1), “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.
Kedua, walaupun 130 delegasi berasal dari kelompok-kelompok dan individu-individu, versi final konstitusi pada kenyataannya ditentukan oleh tiga kelompok di dalam Komite Kerja, khususnya Perikatan, yang terdiri dari anggota-anggota komponen pemerintahan di bawah kepemimpinan UMNO. Kelompok-kelompok ini tidak dikenal karena kecenderungan Islamnya; betapapun juga, hanya UMNO satu-satunya partai Muslim yang bahkan kemudian ia menjadi lebih berorientasi nasionalis-etnis ketimbang Islam. Orientasi nasionalis-sekular ini semakin nyata, sehingga meskipun Islam dijadikan agama negara, itu tidak berarti bahwa negara tidak bersifat sekular.[75]
Ketiga, walaupun pada prinsipnya urusan-urusan Islam berada di bawah jurisdiksi Sultan di masing-masing negara yang bersangkutan, Konstitusi memberikan kekuasaan kepada parlemen Federal untuk mengesampingkan hukum-hukum Islam yang diputuskan oleh negara-negara bagian.[76] Hukum Islam bahkan tidak secara jelas dimasukkan dalam definisi hukum menurut pasal 160 Konstitusi tersebut.[77] Keempat, ketentuan-ketentuan yang memberikan privelese kepada kaum Melayu (dan bumiputera lain setelah 1963) bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang dalam bidang hukum dan keadilan, mengecam setiap gagasan tentang diskriminasi maupun perlakuan khusus. Islam mendorong keadilan dan persamaan di muka hukum tanpa memandang asal-usul ras, keturunan maupun kedudukan.
Kendatipun selepas kemerdekaan UMNO tampak mengakomodasi prinsip dan simbol-simbol Islam (seperti dengan membangun Masjid Nasional yang pertama pada 1961 dan menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an), secara umum kebijakan pemerintah menyangkut Islam hanya bersifat nominal dan simbolis, terutama untuk menampakkan sikap pro Islam dalam politik guna membendung pengaruh PAS yang secara eksplisit menjadikan Islam sebagai poros perjuangannya.[78] Sikap umum di kalangan para pemimpin UMNO tetaplah sekular dan komunalistik. Tunku Abdul Rahman sendiri dalam berbagai kesempatan secara terbuka mengungkapkan kekurangpercayaannya mengenai kemampuan Islam dalam memecahkan masalah-masalah kenegaraan. Ia juga berkali-kali mengungkapkan bahwa Malaysia bukanlah Negara Islam, karena pencapaian masyarakat seperti ini hanya akan berakibat tersisihnya semua warga bukan Melayu dari bumi Malaysia.[79]
Sebuah babak baru dalam kebijakan Islam di Malaysia terjadi menyusul meletusnya kerusuhan komunal pada 13 Mei 1969. Kerusuhan yang menurut angka resmi pemerintah menelan korban 196 orang mati, 6.000 orang kehilangan rumah, dan 1.109 luka-luka telah menjadi tonggak restrukturisasi politik di Malaysia.[80] Sebagai buah dari kerusuhan 1969, sistem politik Malaysia dirombak ke arah yang lebih otoritarian dengan diumumkannya keadaan darurat, ditangguhkannya parlemen dan dialihkannya kekuasaan ke NOC (National Operation Council). Peristiwa “Kamis kelabu” 1969 telah mendorong perubahan sikap para pemimpin UMNO dari format tawar-menawar konsosiasional moderat kepada sesuatu yang lebih bersifat kontrol hegemonik represif.[81]
Selepas kerusuhan, pemerintah menggalakkan restrukturisasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Dalam bidang politik, seraya menegakkan tertib politik dengan kontrol represif, pemerintah menggalang persatuan dengan membentuk koalisi Barisan Nasional yang menampung semua elemen politik ke dalam pemerintahan. Selain itu, pemerintah membentuk Departemen Persatuan Nasional pada Juli 1969 yang salah satu agenda mendesaknya adalah merekomendasikan sebuah ideologi nasional baru yang disebut dengan Rukunegara (Prinsip-prinsip Kebangsaan) yang diumumkan secara resmi pada Agustus 1970 bersamaan dengan peringatan kemerdekaan ke-13. Rukunegara terdiri dari lima prinsip dasar, yaitu kepercayaan kepada Tuhan, kesetiaan kepada Raja dan Negara, keluhuran Perlembagaan, kedaulatan Undang-Undang, dan kesopanan dan kesusilaan.[82]
Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah meluncurkan Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy) yang dinyatakan bertujuan ganda. Pertama, “mengurangi dan pada akhirnya menghapuskan kemiskinan dengan meningkatkan derajat pendapatan dan memperbanyak peluang kerja bagi seluruh warga Malaysia tanpa memandang asal-usul ras”; Kedua, “mempercepat proses restrukturisasi masyarakat Malaysia untuk membenahi ketimpangan ekonomi dalam rangka mengurangi dan seterusnya menghapuskan identifikasi ras dengan fungsi-fungsi ekonomi”.[83] Target NEP ada dua. Pertama, peluang kerja di seluruh sektor ekonomi dan di semua tingkat pekerjaan harus mencerminkan komposisi rasial pada 1990. Kedua, restrukturisasi kekayaan produktif sehingga pada 1990, kaum Melayu dan pribumi lain memiliki dan menjalankan paling tidak 30 persen dari semua total aset”.[84]
Pelaksanaan NEP mencakup langkah-langkah diskriminatif yang menguntungkan Melayu. Pemerintah memperluas badan-badan yang sudah ada dan membuat badan-badan baru untuk membantu kaum Melayu dalam kegiatan usaha. Salah satu sasaran NEP adalah menciptakan kelas pengusaha Melayu. Para pengusaha Melayu diberi lisensi, kredit, dan kontrak-kontrak dari pemerintah. Sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan keterlibatan Melayu di sektor ekonomi modern, pemerintah memaksa perusahaan-perusahaan Cina dan asing yang telah mapan untuk merestrukturisasi diri sedemikian rupa sehingga paling tidak 30 persen sahamnya dimiliki kaum Melayu, baik melalui agen-agen pemerintah yang bertindak atas nama Melayu maupun oleh pengusaha Melayu perorangan. Perusahaan yang gagal merestrukturisasi diri akan menemui kesulitan dalam pembaharuan izin usaha atau untuk memperoleh kontrak-kontrak dari pemerintah. [85]
Keinginan mengangkat posisi Melayu juga digalakkan di sektor pendidikan. Pada 1972, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan nasional tertinggi sepanjang sejarah. Orang Melayu yang masuk ke pendidikan tinggi meningkat sebesar 65 persen pada 1975 yang berlangsung sejak 1970, sementara bukan Melayu turun 35 persen dari 50 persen selama periode yang sama. Pada 1975, dari total jumlah 14.254 yang masuk ke lima universitas di Malaysia, proporsi etnisnya adalah: Melayu 57.2 persen, Cina 36.6 persen, India 5.2 persen dan lain-lain 1 persen.[86] Pemerintah juga mengirim anak-anak Melayu untuk belajar di berbagai universitas di dunia. Di dalam negeri, sekolah-sekolah yang berbahasa pengantar Inggris perlahan dikonversi ke medium bahasa Melayu, yang dimulai di sekolah dasar pada 1970 dan sekolah menengah pada 1982. Pada 1970, Universiti Kebangsaan Malaysia didirikan dengan bahasa Melayu sebagai satu-satunya bahasa pengantar.
Dukungan pemerintah terhadap pendidikan melahirkan dampak yang tidak terduga, yaitu meningkatnya kesadaran Islam di kalangan para pelajar Melayu di kampus-kampus, di dalam maupun luar negeri. Pengekangan pemerintah terhadap kegiatan politik di kampus menjelang kerusuhan 1969 tidak memperhitungkan faktor Islam sebagai soal sensitif. Melalui Islam, para mahasiswa Melayu mengekspresikan keresahan-keresahan mereka mengenai berbagai hal berkenaan dengan nasib Melayu-Muslim. Di kampus-kampus, Islam menjadi satu-satunya cara melalui mana kaum muda Melayu yang kecewa menyalurkan diri.[87] Adalah dari kampus-kampus Inggris para mahasiswa mulai mengecam kebijakan-kebijakan pemerintah dan menuduh UMNO sebagai sekular, partai nasionalis Melayu, dan karenanya tidak Islami.[88] Kerusuhan 1969 melebarkan mata kelas Melayu terdidik untuk melihat Islam sebagai alternatif pemecahan.
Kebijakan Ekonomi Baru menghasilkan akibat tak disengaja (unintended consequence) berupa tumbuhnya lapisan kelas menengah terdidik yang memiliki kesadaran dan komitmen besar kepada Islam. Para mahasiswa itu membahas isu-isu mengenai Islam dan peristiwa-peristiwa dalam dunia Muslim melalui berbagai cara, seperti membaca literatur-literatur Islam dalam bahasa Inggris mengenai para pemimpin utama gerakan Islam seperti Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan Mutahhari; bertemu dengan para sarjana Muslim internasional dan ulama setempat; menghadiri seminar dan tempat-tempat pelatihan Islam; dan bahkan berpatisipasi dalam demonstrasi yang diduga dilakukan oleh masyarakat Afghanistan, Iran, Lebanon, dsb.[89]
Salah satu eksemplar gerakan ini dapat dilihat dari pembentukan PKPIM (Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Islam Malaysia) pada 1961. Setelah meletus kerusuhan, para pemimpinnya memutuskan membentuk wadah yang lebih luas, yang bisa menampung para aktivis, baik yang masih berstatus sebagai mahasiswa maupun yang sudah lulus sebagai sarjana. Pada 1969, dibentuklah ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) yang pendiriannya diilhami oleh organisasi mahasiswa Muslim yag berpengaruh di Indonesia, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). ABIM yang memiliki motto: “berjuang menuju terbentuknya masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, dan khususnya menampilkan Islam sebagai al-din”,[90] baru resmi diakui pemerintah pada 1971. Sewaktu krisis minyak dan perang Arab-Israel meletus pada 1973, yang ditandai oleh meningkatnya solidaritas blok negara-negara Islam, keberadaan ABIM semakin diterima oleh masyarakat Malaysia. Pada sekitar masa itu, pernyataannya untuk menegakkan dan memperjuangkan terlaksananya tujuan-tujuan Islam, dan juga untuk mewujudkan keadilan bagi setiap orang, mulai memperoleh perhatian yang luar biasa, baik dari pemerintah maupun masyarakat, sehingga reputasi gerakan ini semakin melambung baik di dalam negeri maupun di kalangan organisasi-organisasi Islam internasional.[91]
Tampilnya ABIM menjadikan pencarian identitas Melayu sedang mengambil penekanan yang lebih besar kepada Islam. Pada saat Islam tengah gencar dipromosikan oleh organisasi non-pemerintah, pemerintah (khususnya UMNO), juga giat menggalakkan program pembangunan yang bernuansa Islam, seperti membangun masjid-masjid, menyelenggarakan musabaqah tilawatil Qur’an tingkat internasional, menyiarkan adzan melalui radio dan televisi, dan menjelaskan profil umum yang diangkat oleh para pemimpin Islam dalam berbagai festival-festival kegiatan Islam. Untuk menunjukkan bahwa pemerintah bersungguh-sungguh mendukung Islam, pemerintah mendirikan Pusat Penyelidikan Islam Malaysia (Islamic Research Centre of Malaysia) dan membuka Pusat Dakwah Islamiah berturut-turut pada 1971 dan 1974.[92]
Gencarnya program Islamisasi pemerintah bisa dipahami melalui dua sudut pandang. Pertama, hal itu bisa dimengerti sebagai bagian dari promosi segi lain identitas Melayu, sebab keislaman dan kemelayuan sebagai identitas telah berasosiasi begitu rapat. Pada warga Melayu, menguatnya kesadaran Islam selalu diikuti dengan menguatnya sentimen perkauman, yang secara normatif sebenarnya tidak kompatibel bagi tumbuhnya Islam sebagai agama rahmatan lil-‘âlamîn (mercy to mankind).[93] Menguatnya Islam tidak selalu paralel dengan meningkatnya nilai-nilai universal Islam yang non-parokial dan anti-rasial, tetapi justru meningkatnya solidaritas komunal Melayu. Kebangkitan kesadaran Islam merupakan bagian dari penguatan umum kesadaran komunal. Kendatipun banyak juga orang India dan Cina yang Muslim, Islam telah menjadi rallying cry bagi orang-orang Melayu.[94] Dampak buruk dari hal ini adalah lemahnya persaudaraan agama (ukhuwah Islamiyyah): kaum Melayu enggan menerima warga Cina meski telah masuk Islam, suatu kenyataan yang diakui Tunku Abdul Rahman.[95] Asumsi ini perkuat dengan kenyataan bahwa promosi atas Islam disertai dengan menguatnya upaya-upaya pemerintah menggalakkan kebudayaan Melayu, dengan alokasi anggaran yang tidak kalah besar.
Kedua, Islamisasi pemerintah bisa dibaca sebagai upaya untuk mengecoh kelompok-kelompok oposisi yang menjadikan Islam sebagai basis perjuangannya. UMNO dan pemerintah tidak memiliki alternatif lain kecuali menggunakan alat yang sama yang digunakan kelompok-kelompok oposisi untuk mematahkan mereka. PM Tun Hussein Onn menyatakan bahwa Islamisasi UMNO memang sangat terpacu oleh ancaman-ancaman yang dilancarkan PAS kepada pemerintah: “You may wonder why we spend so much on Islam... [if we dont] Parti Islam will get at us” (Anda mungkin bertanya-tanya mengapa kami begitu banyak mengeluarkan uang untuk Islam...karena jika tidak, PAS akan mendapatkan kami. Partai itu akan menuduh kami tidak agamis dan akibatnya rakyat akan kehilangan kepercayaan.[96] Semakin berhasil mobilisasi warga akan Islam, semakin perlu bagi rezim yang berkuasa untuk kelihatan lebih Islami, yang berarti kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus semakin bernuansa Islam. Dalam suasana yang diliputi oleh kegairahan atas Islam, UMNO bisa kehilangan legitimasi moralnya untuk memerintah jika terlihat bahwa ia kurang Islami.[97]
Kendatipun Islamisasi gencar digalakkan, beberapa pemimpin UMNO tetap memandang bahwa Islam tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat berbilang kaum dan bahwa di negara-negara Arab sendiri undang-undang syariah tidak dipraktekkan.[98] Kebijakan Islamisasi semacam inilah yang dikritik PAS sebagai sekadar bersifat ‘kosmetik’, sepotong-sepotong, tidak saling terkait, dan tidak benar-benar ditujukan untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahan.[99] Menurut mereka, Islamisasi yang diperlihatkan UMNO dan pemerintah hanyalah bersifat simbolis, nominal dan politis.
Demikianlah, kebijakan Islamisasi Malaysia, kendatipun dinilai bersifat simbolis dan politis, mulai menonjol pada masa kepemimpinan Tun Abdul Razak, dalam mana Mahathir terlibat di dalamnya sebagai Menteri Pengajaran dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Jelas Mahathir mempunyai peran penting dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan Islam, baik pada masa pemerintahan Tun Abdul Razak (1971-1976) maupun Tun Hussein Onn (1976-1981). Kecenderungan Mahathir kepada Islam semakin menguat ketika dia mengambil alih pemerintahan dari Tun Hussein Onn yang mundur karena kesehatannya yang memburuk.


BAB III
ISLAM DALAM KEBIJAKAN POLITIK MAHATHIR, 1981-1999
A. Program-program Islamisasi Mahathir
Kepemimpinan Mahathir mununjukkan minat yang lebih besar dan substantif mengusung Islam dalam berbagai program dan kebijakan pemerintah. Di bawah Mahathir, dukungan pemerintah terhadap Islam di Malaysia berlangsung lebih dari sekadar dukungan simbolis seperti pembangunan masjid-masjid, penyelanggaraan kompetisi hafalan al-Qur’an, dan perayaan upacara-upacara keislaman. Secara keseluruhan, perlindungan umum yang dilakukan pemerintah Mahathir terhadap Islam menunjukkan bahwa Mahathir telah menjadi seorang pendukung Islam yang berani, dan juga seorang politisi yang sangat cerdik.[100]
Di bawah pemerintahan Mahathir, meski secara tradisional terlihat simbolis, perlakuan pemerintah terhadap agama memperoleh dimensi yang lebih substantif. Ini dapat dilihat dari perhatian pemerintah yang besar terhadap penelitian, perencanaan, dan pengadaan secara sistematis program-program yang ditujukan untuk membekali rakyat Muslim dalam menghadapi kehidupan modern yang lebih kompleks. Sejak memangku jabatan puncak sebagai Perdana Menteri dan Presiden UMNO pada 1981, Mahathir terus berupaya menyakinkan rakyat melalui kebijakan-kebijakannya bahwa pemerintah dan UMNO bersungguh-sungguh mendukung prinsip-prinsip Islam. Selama 20 tahun Mahathir terus berusaha untuk menyakinkan citra Islami pemerintah, berupaya memadukan Islam dan kemelayuan, dan mengasosiasikan Islam dengan pembangunan ekonomi.[101]
Dalam kebijakan luar negeri, dengan naiknya Mahathir sebagai Perdana Menteri, seluruh spektrum keterlibatan Malaysia dalam masalah-masalah internasional mulai ditata kembali dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada dunia Muslim.[102] Pemerintah memperkuat hubungan dengan negeri-negeri Muslim untuk membiarkan rakyat tahu bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah telah diakui oleh bangsa-bangsa Islam lain.[103] Dalam kerangka politik internasional, telah banyak daya usaha yang dicurahkan pemerintah untuk menata hubungan Malaysia dengan dunia Islam. Untuk tujuan itu, Mahathir aktif memainkan penyelesaian perang Iran-Iraq, dukungan terus menerus terhadap perjuangan Palestina, menyetujui perayaan “Pekan Palestina” dan membentuk Tabung Rakyat Palestina.[104]
Sejak 1981, pemerintah aktif menyeponsori berbagai konferensi internasional, seminar dan eksposisi tahunan, yang mengupas isu dan problem-problem di dunia Islam. Tema-tema yang dikaji menggarisbawahi agenda-agenda pemerintah. Dalam dekade pertama Administrasi Mahathir, Kuala Lumpur menjadi tuan rumah bagi banyak konferensi Islam internasional yang dilangsungkan hampir setiap tahun, yang mengupas mengenai isu-isu seperti pendekatan Islam terhadap Pembangunan Teknologi (1983), Peradaban Islam (1984), Pemikiran Islam (1984), Simposium Islam Internasional (1986), Manajemen Islam Kawasan Asia-Pasifik (1987), Ekonomi Islam (1987), Media Islam dan Dunia Modern (1987) dan Islam dan Filsafat Islam (1989).[105]
Keterlibatan Mahathir dalam program-program keislaman sesungguhnya telah dimulai pada saat dia kembali ke panggung utama politik Malaysia. Ketika ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan pada 1974, Mahathir segera merombak sistem pengajaran Islam yang dinilai kurang relevan dan kontekstual. Mahathir membentuk Dewan Penasehat untuk Pendidikan Islam yang bertujuan agar Islam diajarkan dalam cara yang relevan dengan kebutuhan modernisasi warga Muslim Malaysia. Tindakan yang menjadi simbol paling nyata pemihakan atas Islam adalah dibentuknya Pusat Islam Nasional pada 1974, sebuah pusat yang berfungsi untuk mengkoordinasi seluruh kegiatan Islam di Malaysia. Pada tahun yang sama, Mahathir menyeru kepada para intelektual Muslim untuk membantu mengislamisasi pengajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah-sekolah. Kementrian Mahathir juga memberlakukan sistem standarisasi buku teks Islam terhadap keseluruhan tingkat pendidikan, sampai tingkat pendidikan tinggi. Pada tahun berikutnya, Kementrian Pendidikan menyetujui pengalokasian anggaran senilai M$ 22 juta untuk memperbaiki pelaksanaan pelatihan guru Islam dan untuk membentuk Yayasan Dakwah Islamiah. Pada 1977, terutama sebagai tanggapan atas PAS, pemerintah menginstruksikan seluruh pegawai perempuannya untuk berpakaian sopan.[106]
Sepanjang 1978, Unit Dakwah Islamiah, divisi dari Unit Propaganda Islam Radio dan Televisi Malaysia, memproduksi 125 program-program keislaman per bulan, menyiarkan azan lima kali sehari, siaran tafsir al-Qur’an, siaran langsung khutbah jum’at dan perayaan hari-hari besar Islam, termasuk juga berbagai serial diskusi-diskusi keislaman. Proses Islamisasi yang digalakkan pemerintah Federal segera diikuti dengan penuh semangat oleh pemerintah negara-negara bagian. Mereka saling berkompetisi menerapkan Islam untuk menunjukkan diri siapa yang lebih Islami.
Rencana Malaysia Ketiga dan Keempat untuk periode pemerintahan 1976-1981 dan 1981-1986 semakin meneguhkan kesungguhan pemerintah dalam menyongsong kebangkitan kembali Islam. Dalam penerapan Rencana Malaysia Kelima (1986-1990), pemerintah menegaskan tidak akan mengabaikan nilai-nilai Islam.[107] Klausul ‘Islam tetap menjadi sumber kekuatan bagi bangsa Malaysia’ dalam Rencana Ketiga diwujudkan secara nyata dalam peningkatan anggaran pemerintah dan dukungan moral pemerintah dalam bidang pengajaran Islam di sekolah-sekolah, dan juga dalam pembangunan masjid-masjid serta berbagai institusi Islam.[108] Dalam bidang pendidikan, pemerintah pada 1980 mendirikan Maktab Perguruan Islam (Islamic Teachers’s College) yang menelan biaya M$ 22 juta, dari tempat mana murid-murid yang berbakat akan dikirim ke Mesir, Pakistan, dan Indonesia untuk melanjutkan studi.[109] Setahun sebelumnya, pemerintah melalui Kabinet Panitia Pengkajian Kurikulum Sekolah yang diketuai Mahathir memutuskan untuk menjadikan pengetahuan agama Islam sebagai bahan ujian pada tingkat sijil pelajaran Malaysia dan studi-studi tentang agama dan moral (seperti peradaban Islam) ditetapkan sebagai pelajaran wajib bagi semua murid.[110] Dalam berbagai kesempatan, Mahathir mengungkapkan pernyataan yang selalu diulang-ulang sepanjang tahun 1980 bahwa pembangunan ekonomi tidak bisa dilaksanakan dengan mengorbankan kemajuan spiritual.[111]
Setelah menjabat sebagai PM, Mahathir semakin leluasa mempromosikan Islam. Untuk memperjelas wajah Islamisasi pendidikan, Mahathir pada 1982 menerima rekomendasi untuk mendirikan Universitas Islam Antarbangsa. Universitas ini dibangun guna menghasilkan para profesional Muslim yang berkualitas di seluruh bidang pengetahuan. Bukan hanya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, Islamisasi juga dilakukan di sektor ekonomi. Pada 1981, Mahathir menyeponsori upaya pengkajian terhadap berbagai segi mengenai sistem ekonomi Islam untuk memastikan bahwa proyek-proyek pembangunan pemerintah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.[112] Setahun sebelumnya, Menteri Keuangan telah mulai membaharui sistem ekonomi untuk disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, yang mencakup prinsip ‘tidak ada bunga’ di dalam setiap transaksi keuangan.[113] Gambaran mengenai penegakan cita-cita ekonomi Islam dituangkan dalam pendirian Bank Islam pada 1982. Bank Islam yang beroperasi tanpa memberlakukan bunga digambarkan oleh Menteri Keuangan sebagai ‘langkah pertama’ usaha pemerintah untuk menumbuhkan secara berangsur-angsur nilai-nilai Islam dalam sistem ekonomi dan keuangan negara menggantikan sistem konvensional yang ada.[114]
Dalam Perhimpungan Agung UMNO ke-38 pada September 1982, Mahathir kembali menegaskan komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan nilai-nilai Islam di Malaysia.[115] Mahathir menyatakan bahwa masalah besar yang kita hadapi adalah berjuang mengubah sikap kaum Melayu agar sesuai dengan tuntutan-tuntutan Islam di abad modern. Tugas UMNO adalah meningkatkan amaliah Islam dan memastikan bahwa komunitas Melayu benar-benar mengikuti ajaran Islam.[116] Pada 1984, Mahathir secara resmi mengumumkan niatnya untuk “mengislamkan jentera kerajaan”.[117]
Program Islamisasi pemerintah telah memikat banyak orang, salah satunya Anwar Ibrahim, Presiden ABIM. Anwar yang pernah berkampanye untuk PAS pada pemilu 1978 berhasil dibujuk untuk bergabung dengan UMNO dan pemerintahan serta menjadi kandidat UMNO dalam pemilu 1982. Konon, ada tiga syarat yang diminta Mahathir kepada Anwar untuk dapat bergabung dengan UMNO: (1) ABIM mencabut seluruh asosiasinya dengan PAS, termasuk menggunakan tiket PAS untuk bertanding dalam pemilu; (2) membuang pandangan bahwa NEP tidak Islami dan mendukung promosi hak-hak Bumiputera; dan (3) tidak mengecam kebijakan pendidikan Melayu.[118]
Masuknya Anwar telah mendorong Mahathir semakin berani melancarkan berbagai kebijakan yang menunjukkan dukungannya terhadap Islam. Masuknya Anwar juga telah menjadikan Islam sebagai faktor yang semakin terpandang dalam identitas politik UMNO dan kaum Melayu. Anwar tentu memiliki pengaruh penting dalam kebijakan-kebijakan Islamisasi pemerintah. Konon, pendirian Bank Islam dan Universitas Islam Antarbangsa menyimpan peran nyata Anwar Ibrahim. Seperti dicatat Nagata, pada kurun 1983-1984, Anwar telah menjadi pembuka jalan bagi terciptanya kebijakan-kebijakan Islam dalam pemerintahan.[119] Beberapa kebijakan Islam, bahkan bukan Mahathir sendiri, melainkan Anwar-lah yang diharuskan menyampaikannya. Beberapa kebijakan itu mencakup pembangunan tempat permanen untuk Kamp Pemuda Islam Internasional pada Sepetember 1982,[120] relokasi klub-klub truf jauh dari pusat kota, keputusan untuk menolak pembukaan rumah judi baru, pendirian Pegadaian Islam, Asuransi Islam (Syarikat Takaful), dan melarang warga Muslim menjadi pelanggan Casino Genting Highlands, satu-satunya kasino di negara itu.[121] Sejak 1982, Mahathir bersama Anwar mendorong proses Islamisasi internal UMNO yang diwujudkan dengan banyaknya seminar dan pelatihan-pelatihan keislaman yang diselenggarakan di seluruh jenjang pengakderan partai.
Untuk memperkuat pembenaran terhadap berbagai inisiatif gerakan keislamannya, pemerintah Mahathir semakin banyak merujukkan semua gerakannya dengan sejarah Islam dan peran Islam dalam peradaban manusia masa silam. Dalam kerangka itu, pada tahun 1982, pemerintah menetapkan studi tentang budaya dan peradaban Islam sebagai pelajaran wajib di sekolah dan universitas.[122]
Sampai sejauh itu perlu ditegaskan bahwa Islamisasi pemerintahan yang dilakukan Mahathir tidak berkorelasi dengan terhapusnya nasionalisme dari wajah politik Malaysia. Proses Islamisasi yang dilakukan Mahathir berjalan dalam satu tarikan nafas dengan proses pembangunan nasionalisme Melayu. Islam, dalam pandangan Mahathir, adalah agama yang telah menyatu dalam kebudayaan Melayu, sehingga kebudayaan nasional harus berteraskan kebudayaan Melayu.[123] Pernyataan ini menggenapkan asumsi bahwa penonjolan Islam tidak berarti pengikisan nasionalisme Melayu, tetapi penguatan kedua-duanya atau yang pertama menjadi sampul dari yang terakhir. Berbagai kebijakan Islam yang dilakukan Mahathir karena itu tidak berorientasi kepada Islamisasi negara dan formalisasi hukum-hukum Islam.
Mahathir, dalam suatu wawancara yang dilansir Harian Utusan Melayu memperjelas maksud berbagai program kebijakan Islam yang ditempuhnya. Mahathir mengartikan Islamisasi sebagai menanamkan nilai-nilai Islam di dalam pemerintahan. Penekanan nilai semacam ini tidak sama artinya dengan menerapkan hukum Islam dalam negara. Sebab, hukum Islam hanya diperuntukkan bagi warga Muslim dan berlaku sebagai hukum pribadi mereka. Menurut Mahathir, hukum sipil sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, tetap bisa digunakan. Hukum Islam hanya bisa diterapkan jika seluruh rakyat menyetujuinya. Hukum Islam tidak bisa diterapkan secara paksa, sebab di dalam Islam, tidak dikenal pemaksaan.[124] Masyarakat multirasial Malaysia harus dibebaskan dari penerapan hukum-hukum Islam yang dipaksakan seperti itu.[125] Mahathir memang berhati-hati menyatakan pemerintahannya bekerja berdasarkan hukum-hukum Islam. Mahathir, dalam berbagai kesempatan, lebih sering mengungkapkan bahwa pemerintahannya bekerja di bawah kaidah dan nilai-nilai Islam.
B. Islam ‘Benar’—Islam ‘Salah’: Dilema Islamisasi Mahathir
Kebijakan Islamisasi yang gencar digalakkan Mahathir sesungguhnya tidak lahir semata-mata dari dorongan intrinsik pemerintah untuk mempromosikan Islam, tetapi juga karena tekanan-tekanan politik eksternal, yaitu serbuan gelombang revivalisme Islam dan meningkatnya tantangan PAS, kekuatan oposisi utama yang mengibarkan bendera Islam. Sebagai respon atas dua tantangan itu, pada 1980-an UMNO dan pemerintah mempromosikan wacana ‘Islam yang benar’ (right Islam) untuk dikontraskan dengan praktek Islam yang salah (wrong Islam). Retorika tentang right Islam dikaitkan dengan gagasan bahwa Islam adalah agama progresif yang sejalan dengan upaya-upaya pemerintah untuk menggalakkan pembangunan dan modernisasi. Visi tentang right Islam diringkas sebagai “a balanced, moderate and modernising force” yang tidak menghalangi investasi asing; yang menerima bentuk-bentuk tertentu Barat sekular; dan yang menaruh perhatian kepada realitas politik dunia Islam kekinian dan dunia luar.[126]
Pemerintah menuduh gerakan Islam yang menentang visi Islam pemerintah sebagai penyeleweng, ekstremis, dan radikal. Label-label tersebut dikenakan kepada mereka yang dianggap mengganggu kesatuan persepsi mengenai Islam yang hendak digalang pemerintah, yaitu Islam yang kompatibel terhadap agenda pembangunan dan modernisasi Malaysia. Program-program Islamisasi pemerintah yang mulai gencar digalakkan pada akhir 1970-an tidak bisa dilepaskan dari motif-motif yang bersifat politik. Mutalib menengarai dua motif utama kebijakan Islamisasi pemerintah. Pertama, keinginan untuk mengecoh PAS dan melihat seberapa jauh daya tarik PAS bagi bangsa Melayu; dan kedua, keinginan untuk mengatur kegiatan-kegiatan Islam di Malaysia agar tidak memperburuk stabilitas antaretnis.[127] Motif pertama terungkap dari pernyataan terbuka pemerintah bahwa alasan pokok bagi program Islamiahnya adalah untuk memukul PAS.[128] Dalam atmosfer di mana kebangkitan Islam tengah dibicarakan secara luas, termasuk di lingkungan elit-elit Melayu UMNO, adalah bunuh diri politik jika pemerintah bersikap antagonistik terhadap Islam.[129] Oleh karena arus kebangkitan Islam tidak dapat dibendung, maka alternatif terbaik menghadapi tantangan kebangkitan Islam adalah dengan melaksanakan banyak program Islamisasi. Dengan kata lain: “to challenge Islam with more Islam”.[130]
Motif kedua terkait dengan kesadaran pemerintah mengenai potensi politik Islam yang harus diatur dan dikendalikan agar tidak mengganggu stabilitas hubungan perkauman. Dalam rangka itu, pemerintah yang ditulangpunggungi UMNO menggelar dua jenis strategi; akomodasi—untuk tidak mengatakan kooptasi—dan represi. Strategi pertama ditandai dengan rekrutmen tokoh-tokoh organisasi Islam terkemuka ke kubu pemerintahan. Rekrutmen Anwar Ibrahim ke dalam UMNO pada 1982 adalah contoh gemilang keberhasilan UMNO memobilisasi citra sebagai partai yang memperjuangkan Islam. Kedudukan Anwar dalam UMNO dilihat sebagai manifestasi kesungguhan partai itu untuk menerapkan Islam dalam negara.[131]
Ketika strategi akomodasi tidak menuai hasil, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah yang sifatnya menghukum guna mengekang meningkatnya aktivitas dari kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai ‘penyeleweng’, ‘radikal’, dan ‘ekstremis’. Hal ini mencakup pemberlakuan Akta Hasutan (1970), Akta Keamanan Internal (revisi 1972), dan Akta Kemasyarakatan (1981). Semua itu digunakan pemerintah untuk mengancam, mengendalikan dan bahkan menjalankan penentangan secara diam-diam terhadap PAS dan warga Muslim lain yang berbeda pendapat dengan pemerintah.[132] Pemerintah, melalui Akta Salah Ugama 1982, berupaya membatasi penyebaran doktrin-doktrin yang dianggap menyimpang. Melalui Akta tersebut, pemerintah melarang setiap warga Muslim berbicara tentang ajaran-ajaran Islam yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Akta tersebut juga melarang dibangunnya masjid atau surau tanpa persetujuan pemerintah.[133]
Pemerintah menjadikan Akta Keamanan Internal (ISA) sebagai senjata utama untuk menangkap mereka yang dituduh mengancam stabilitas dan keamanan bangsa. Pemerintah meningkatkan pemantauan atas gerakan-gerakan yang dianggap berpotensi mengacaukan stabilitas rezim. Pada 1981, pemerintah menengarai terdapat kurang lebih 40 gerakan dakwah di Malaysia. Salah satu dari gerakan ini, yaitu Ahmadiyah yang berpusat di Pakistan, dilarang pemerintah dan sejak 1982 status kemelayuan para anggotanya dilucuti. Beberapa sekte tarekat, seperti Qadiani dan Muhammadiyah Tariqah, juga dilarang.[134] Pada 1985, Divisi Urusan Agama di kantor Perdana Menteri (yang disebut dengan Pusat Islam) mengumumkan rencana pemerintah untuk memperluas Unit Akidah dan Ajaran Sesat di bawah Pusat Penyelidikan Islam untuk menyaring masuknya ajaran-ajaran ekstrem-militan di Malaysia. Pada 1996, otoritas yang sama mengidentifikasi keberadaan 47 kelompok penyimpang, 14 di antaranya digambarkan sebagai aktif dan melibatkan 1.000 orang pengikut.[135]
Beberapa saat selepas meletus insiden Mamali 1985 yang menewaskan Ibrahim Libya, pemerintah menerbitkan kertas putih yang mengungkap mengenai ancaman ekstremisme agama di Malaysia. Menurut kertas putih itu, ada upaya-upaya oleh kelompok ekstremis untuk mendirikan negara Islam dengan kekerasan. Kelompok inilah yang menghasut kaum Melayu Muslim untuk membenci pemerintah dan berupaya menggulingkan pemerintahan multirasial dan menggantikannya dengan negara teokratis.[136]
Langkah represif pemerintah lain adalah pembubaran Darul Arqam pada 1994. Setahun kemudian, beberapa pemimpin dan pengikutnya ditangkap. Selepas itu, pemerintah mengumumkan akan menganggarkan RM 40 juta untuk membina dua buah Pusat Pemulihan Islam di bawah Rancangan Malaysia Ketujuh. Hal ini menyusul dugaan pemerintah, seperti dinyatakan Menteri Hal-Ehwal Islam di Jabatan Perdana Menteri, bahwa bilangan orang murtad dan penyeleweng agama bertambah dalam tahun-tahun terakhir.[137] Setahun sebelumnya, pemerintah menolak pemberlakukan hukum hudud di negara bagian Kelantan yang diperintah PAS. Dalam kaitan itu, Mahathir menyatakan bahwa undang-undang Malaysia sudah sesuai dengan Islam, dan dia menegaskan kembali nilai-nilai pluralisme dan toleransi, serta memberikan peringatan terhadap bahaya ekstremisme agama.[138]
Pada Juli 1995, Timbalan Menteri Penerangan mengumumkan bahwa “ISA akan digunakan untuk menahan siapa saja yang mempromosikan fanatisme di kalangan orang Islam”.[139] Menyusul peringatan ini, beberapa pemimpin PAS, termasuk Menteri Besar Kelantan Nik Abdul Aziz Nik Mat, dituduh menyebarkan paham fanatik di kalangan pengikutnya. Sejak Pemilu 1999, ketika PAS muncul sebagai ancaman kuat bagi pemerintahan koalisi, terdapat pernyataan yang mengancam akan mengkriminalisasikan ‘ekstremisme agama’ PAS dengan menggunakan Seksyen 298 Kanun Keseksaan. Rais Yatim, Menteri Undang-undang di Jabatan Perdana Menteri dilaporkan sedang menimbang untuk menggunakan Kanun Keseksaan kepada siapa saja yang mengancam keamanan negara, yang mengajarkan kesetiaan yang membabi buta dan kebencian terhadap pemimpin pemerintahan.[140] Pada Juni 2001, Menteri Hal-Ehwal Islam, Abdul Hamid Zainal Abidin menjelaskan tentang kehadiran sekurang-kurangnya 17 kumpulan ajaran Islam sesat. Banyak di antara mereka menentang pemerintah dan merupakan ancaman terhadap keamanan negara.[141]
Pemerintah juga menghukum kegiatan publikasi yang dianggap merugikan kepentingan nasional. Jurnal dan terbitan yang kritis terhadap pemerintah, seperti Risalah (terbitan ABIM) dan Nadi Insan, dilarang terbit pada 1983.[142] Pada 1999, ketua pengarah JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam) di bawah jabatan Perdana Menteri melaporkan bahwa Kementrian Dalam Negeri telah mengharamkan 195 buku dan risalah dalam bahasa Malaysia dan 80 buah dalam bahasa Inggris yang kandungannya bertentangan dengan ajaran Islam. Menurutnya, JAKIM telah mengungkap 94 jenis ajaran menyimpang yang disebarluaskan di seluruh negeri sejak awal publikasinya pada 1974.[143]
Dalam beberapa hal, tuduhan tentang radikalisme agama dan militansi Islam terkait dengan keragaman madzhab intra-agama. Islam yang dianut sebagian besar Muslim Melayu adalah Islam sunni dengan madzhab Syafi’i, sementara beberapa gerakan radikal ditengarai beraliran atau sekurang-kurangnya dipengaruhi ajaran-ajaran Islam syi’ah. Selepas revolusi Islam Iran, pemerintah Malaysia mencurigai gerakan-gerakan yang berupaya mengekspor revolusi yang sama di Malaysia. Sejak saat itu, sekurang-kurangnya setahun sekali terdapat pengumuman yang menyatakan bahwa kerajaan sedang memantau dampak-dampak ajaran syi’ah yang menyimpang di negara Malaysia. Meskipun sepenuhnya mengakui keislaman syi’ah, pemerintah melancarkan aksi menentang penyebaran kepercayaan semacam itu yang dinilai “tak sesuai” dengan konteks Malaysia.[144] Dalam suatu kunjungannya ke Paris, Anwar Ibrahim mengatakan bahwa Malaysia tidak akan pernah menggunakan Iran sebagai studi kasus implementasi program-program Islamisasi pemerintahan.[145]
Untuk membendung dampak revolusioner dari ajaran-ajaran militan syi’ah, Direktur Pusat Islam mengumumkan niat pemerintah untuk merancang mosi di parlemen guna mengamandemen Pasal (3) 1 Konstitusi Federal agar secara secara resmi mengakui Ahlus Sunnah Waljama’ah sebagai paham resmi Islam Malaysia dan melarang penyebaran aliran-aliran Islam lain.[146]
Beberapa contoh kasus di atas menegaskan dilema Islamisasi pemerintahan Mahathir. Kekhawatiran terhadap potensi eksplosif politik Islam di satu sisi, dan dukungan resmi terhadap pengembangan Islam di sisi lain, merefleksikan dinamika dan ketegangan hubungan agama dan negara. Strategi pragmatis UMNO yang mengusung identitas ganda (Islam nasionalis) telah menempatkan partai ini pada posisi yang secara politis lebih diuntungkan daripada PAS. PAS yang sejak 1978 mengusung tema-tema universalisme Islam dan mengabaikan nasionalisme Melayu telah menjadi sasaran kecaman kaum Melayu. Penekanan PAS pada universalisme Islam justru mendapat hukuman dari warga Melayu dengan kekalahan telaknya pada Pemilu 1986. Dari 84 kursi parlemen yang diperebutkan, PAS hanya meraih 1 kursi, sementara sisa kursi lainnya diborong UMNO. Janji-janji PAS dalam kampanye untuk menghapuskan hak-hak istimewa bumiputera telah menuai kritik. Bahkan Anwar sendiri menuduh PAS sebagai partai yang tidak lagi bisa dipercaya karena ternyata disiapkan untuk mengkhianati warga Melayu dengan berniat membuang privelese dan hak-hak khusus mereka.[147]
Islamisasi oleh Mahathir dilakukan tidak lepas dari motif-motif yang bersifat politik. Tidak bisa diingkari bahwa Mahathir, terlepas dari simbol-simbol Islam yang diusungnya, sering digambarkan sebagai seorang pemimpin modernis dengan pandangan-pandangan sekular.[148] Mahathir adalah tokoh yang mampu secara cerdik menyatukan masa lampau dan masa kini, mengakomodasi dan mengkooptasi Islam sebagai gerakan politik, dan juga piawai memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional. Di bawah Mahathir, program Islamisasi pemerintah berkisar dari menggunakan simbol-simbol dan retorika Islam hingga mendirikan lembaga-lembaga Islam. (Lihat tabel).
Para pemimpin UMNO menggali Islam yang sesuai dengan kebutuhan modernisasi dan pembangunan Malaysia. Para politisi UMNO menyamakan “nilai-nilai Islam” dengan kerja keras, disiplin dan kemajuan, serta mengaitkan program-program NEP dengan Islam. UMNO telah mendesakkan perlunya mengembangkan masyarakat Muslim yang lebih modern dan kompetitif jika Islam ingin maju pesat di tengah dunia modern. Menurut UMNO, jika Islam ingin dipertahankan dan dikembangkan, kaum Muslim harus mampu bersaing dengan orang-orang Cina dan India.[149]
Sementara mempromosikan Islam, para tokoh UMNO di sisi lain mengecam model Islam konservatif yang menghambat pembangunan di Malaysia. Menurut Mahathir, kecenderungan Islam radikal yang menengok ke belakang dan obskurantis yang berkembang pada 1970-an tidaklah mewakili semangat dan nilai baru untuk memajukan bangsa Melayu.[150] Islam yang dibutuhkan Melayu adalah agama yang dapat mendorong pemeluknya mencapai keseimbangan dunia dan akhirat.[151] Mahathir yakin bahwa Islam adalah “agama yang pragmatis dan fleksibel” yang dapat menjadi dasar bagi setiap tindakan kita.[152]
Tabel 3.1
Kebijakan Islamisasi Pemerintahan Mahathir, 1978-1988
NO
Tahun
Kebijakan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
1978
1979
1979
1979
1980
1980
1981-82
1981
1982
1982
1983
1983
1983
1984
1984
1988
1988
1988
Deklarasi pemerintah merevisi sistem hukum nasional agar lebih selaras dengan Hukum Islam.
Deklarasi pemerintah untuk mendirikan Pusat Penelitian Islam Asia Tenggara, senilai M$ 26 juta.
Pengetahuan agama Islam ditetapkan sebagai materi ujian di tingkat Sijil Pelajaran Malaysia.
Penetapan secara resmi Bulan Dakwah Nasional.
Deklarasi politik untuk menyusun kembali model sistem ekonomi Malaysia menjadi model Islam.
Pembangunan untuk pertama kali Sekolah Guru Islam yang menghabiskan biaya M$ 22 juta.
Pendirian Bank Islam, Pegadaian Islam, Asuransi Islam, Yayasan Ekonomi Islam, dan pembentukan Kelompok Sumber daya Islam serta Kelompok Khusus Penegakan Islam.
Kenaikan yang mencolok jumlah program-program keislaman di dalam siaran radion dan televisi.
Pengadaan tempat yang permanen untuk Kamp Training Islam Internasional.
Anwar Ibrahim bergabung dengan UMNO dan pemerintah.
Penyeponsoran pemerintah terhadap Rumah Sakit Pusat Islam.
Penentangan terhadap para Sultan Kerajaan Malaysia.
Pendirian Universitas Islam Internasional.
Peningkatan kinerja ‘Pusat Islam’ yang merupakan pusat saraf dan birokrasi Islam.
Deklarasi resmi tentang ‘Islamisasi Tubuh Pemerintahan’.
Deklarasi bahwa ‘hanya Islam yang mendapat jatah waktu siaran radion dan TV Malaysia.
Status hakim dan pengadilan Islam disetarakan dengan rekanannya di pengadilan sipil.
Permulaan pelaksanaan program untuk membangun ‘Desa-desa Islam’ di kota-kota di sepanjang Malaysia.
Sumber: Hussin Mutalib (1996: 194)
Mahathir menegaskan: “Kalau kita pragmatis dalam cara kita bertindak, ini satu cara yang sesuai dengan kehendak Islam”.[153] Menurutnya, tidak ada tempat bagi teori dan praktek ekstremis di dalam Islam.[154] Islam menuntut pemeluknya untuk mandiri, independen, dan progresif.[155] Menurut Mahathir, nilai-nilai Islam banyak yang relevan untuk menunjang obsesi menjadikan Malaysia sebagai negara maju, seperti kepercayaan, disiplin, loyalitas, ketekunan dan keuletan, ikatan yang rapat antara sesama Muslim, keberanian yang muncul dari kejujuran, toleransi dan sifat menenggang, keadilan, tobat dan rasa syukur, dan nilai-nilai bijak lainnya.[156]
Pada peringkat internasional, Mahathir tampil menjadi pembela Islam yang lugas dan pengecam Barat yang keras. Di komunitas internasional, Mahathir mengutuk tatanan dunia yang dikuasai secara tidak adil oleh definisi Barat tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara menegaskan bahwa “demokrasi, dan hanya demokrasi yang sah dan dapat diterima sekarang”, Mahathir juga dengan cepat mengajukan pertanyaan: “Tetapi apakah hanya ada satu bentuk demokrasi atau hanya ada satu orang ahli yang dapat menafsirkannya?”.[157]
Sementara menegaskan keinginannya, bahkan kebutuhannya akan demokrasi, Mahathir menolak penerimaan buta terhadap konsep atau definisi “universal” mengenai demokrasi atau hak asasi yang sesungguhnya merupakan produk Tata Dunia Lama yang didominasi oleh kekuatan-kekuatan besar. Bagi Mahathir, demokrasi sejati harus disesuaikan dengan budaya dan nilai masing-masing negara. Jika demokrasi berarti hak untuk membawa senjata, mempertontonkan homoseksualitas, mengabaikan lembaga perkawinan, mengganggu atau merusak kesejahteraan komunitas atas nama hak asasi individu, menghancurkan suatu keyakinan, menciptakan pranata-pranata dengan hak istimewa yang keramat sekalipun mereka terus menerus dalam kebohongan dan memberi usulan-usulan yang dapat meruntuhkan tatanan masyarakat, ekonomi dan hubungan internasional, tidak bolehkan para pemula demokrasi menolak itu semua? Pada intinya, Mahathir mengutuk apa yang dianggapnya sebagai kemunafikan Barat yang tidak ragu-ragu mengesampingkan, demi kepentingan sendiri, prinsip-prinsip utama hak asasi, demokrasi dan keadilan yang dikhotbahkan ke mana-mana.
Bagi Mahathir, sistem etika dan keadilan Barat yang bertumpu pada asas “yang besar adalah yang benar” itulah yang menyebabkan terjadinya penindasan negara-negara Muslim secara internasional: “Kini, negara-negara dan ras-ras tertentu, seperti Serbia dan Yahudi, berani dan dapat menindas dan meneror.. karena negara-negara Islam semunya lemah”.[158] Dalam kerangkanya untuk menciptakan perimbangan kekuatan politik, Mahathir menyerukan kerja sama Selatan-Selatan yang bertumpu pada apa yang disebutnya sebagai “Asian Values”.[159] Mahathir memuji masyarakat-masyarakat Asia, seperti Jepang, Korea, dan orang-orang Cina di Singapura, Taiwan, dan Hongkong yang telah memadukan nilai-nilai mereka ke dalam etika kerja dan profesi.
Mahathir berkeyakinan bahwa Malaysia, dengan warisan Islam dan kemakmuran ekonominya, memiliki kesempatan untuk menawarkan suatu model pembangunan terpadu yang khas Muslim. Mahathir memang menggalakkan modernisasi dan industrialisasi, tetapi bukan model sekular Barat. Penolakan Mahathir atas sekularisme Barat dan tafsirnya atas Islam yang lebih holistik, telah melegakan sebagian kaum Muslim, tetapi menimbulkan rasa was-was di kalangan non-Muslim (Cina, India, Hindu, dan Kristen). Meskipun pemerintah terus menekankan pluralisme dan tidak memaksakan suatu sistem tunggal, kelompok-kelompok minoritas tetap khawatir mengenai implikasi kebijakan pemerintah menggalakkan program Islamisasi.
Dengan kebijakan-kebijakannya yang memihak Islam, Mahathir secara cerdik melucuti klaim Islamis partai oposis PAS, namun pada saat yang sama melawan citra konservatif dan anti-modern Islam dengan menggalakkan pembangunan dan menampilkan potret Islam yang lebih moderat dan modern. Pemerintah Mahathir mendefinisikan Islam, terutama Islam di Asia Tenggara, sebagai peradaban progresif yang menekankan keberhasilan materi dalam kehidupan di dunia dan kebahagiaan spritual di akhirat kelak. Islam digambarkan sebagai sebuah keyakinan dan cara hidup yang dapat menunjang modernisasi dan pembangunan; sebuah sistem nilai yang mendorong dan mendukung pengembangan akal, sains, dan teknologi; dan sebuah etika kerja yang kuat serta sebuah toleransi dan keselarasan ras maupun agama.[160]
Sebagian orang memandang bahwa Islamisasi yang dilakukan pemerintahan Mahathir hanya kosmetik, yang sesungguhnya didorong oleh pertimbangan politis dan pragmatis ketimbang keinginan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan Islam sebagai din al-fitrah, pandangan hidup yang sempurna di atas pandangan hidup atau ideologi lain.[161] Dalam banyak kasus, Islamisasi menjadi tidak lebih dari sekadar pernyataan kembali aspek-aspek simbolik dan ritualistik yang tentunya periferal dan tidak relevan bagi kebutuhan dunia modern. Islamisasi telah justru menjadi sumber ketegangan, kekacauan, dan kebingungan dalam komunitas Muslim, suatu keadaan yang lebih berakibat merusak ketimbang membantu usaha-usaha untuk menghadirkan gambaran positif mengenai Islam. Menurut seorang penulis, persepsi umum mengenai Malaysia sebagai bangsa Muslim yang patut dicontoh oleh bangsa-bangsa Muslim lain, apapun alasan pujian itu, merupakan akibat dari salah baca yang serius terhadap situasi yang sebenarnya.[162]
Penilaian-penilaian semacam ini menambah dilema Islamisasi Mahathir. Dilema lain terungkap dalam konflik internal UMNO yang menghasilkan dua faksi, faksi Islam dan nasionalis pada 1987. Dilema politik UMNO terletak pada tuduhan faksi nasionalis bahwa kubu yang dianggap sebagai faksi Islam justru tengah digoncang isu-isu korupsi dan skandal kekuasaan, yang dalam keseluruhan isi dan bentuknya jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kontes untuk memperebutkan jabatan pimpinan partai pada 1987, faksi Islam tergabung dalam Tim A yang diketuai Mahathir Mohamad. Di dalam faksi ini terdapat nama-nama seperti Ghafar Baba, ‘pejabat’ Wakil Perdana Menteri setelah Musa Hitam mengundurkan diri, dan Anwar Ibrahim, Menteri Pendidikan yang juga menjabat sebagai Ketua Pemuda UMNO. Sementara faksi nasionalis terkelompok dalam Tim B yang dipimpin oleh Tengku Razaleigh. Turut bergabung dalam tim ini mantan seteru utamanya dalam perebutan Timbalan Presiden UMNO, Musa Hitam, dan Abdullah Badawi, Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Faksionalisasi ini relevan diungkap sebagian karena statemen Anwar Ibrahim yang menyatakan bahwa perebutan itu mencerminkan pertarungan antara mereka yang lebih menginginkan ‘Islam’ dan mereka yang lebih menghendaki ‘nasionalisme Melayu’.[163] Kelompok Mahathir digambarkan sebagai faksi yang menonjolkan Islam, sementara kubu Razaleigh digambarkan sebagai faksi yang lebih menginginkan nasionalisme Melayu. Kalau dikotomi itu benar, maka Islam tampaknya berhasil mengungguli kubu nasionalis. Mahathir menang dari Razaleigh dengan selisih suara tipis (761 lawan 718), sementara Ghafar Baba mengalahkan Musa Hitam dengan selisih suara yang tidak terlalu banyak (739 lawan 699). Hasil pemilu partai menunjukkan angka kemenangan kubu Mahathir di berbagai pos jabatan seperti Naib Presiden UMNO dan Majelis Tertinggi. Untuk jabatan Naib Presiden, dukungan terbanyak dimenangkan oleh Wan Mokhtar dan Anwar Ibrahim (peringkat 1 dan 3), sementara calon kubu Musa, Abdullah Badawi, menempati urutan kedua. Dari 25 posisi Majelis Tertinggi, 8 di antaranya dimenangkan kubu Razaleigh-Musa, sementara yang lainnya dimenangkan kandidat-kandidat Mahathir.[164]
Tipisnya selisih angka kemenangan ini menunjukkan secara nyata bahwa pergumulan antara aspirasi Islam dan kebangsaan dalam UMNO terjadi dalam konstestasi yang begitu ketat. Kubu Mahathir menang tipis dengan meraih 51 persen, sementara rival politiknya meraih 48.6 persen. Mahathir sendiri pernah mengatakan bahwa kepemimpinan partai baru efektif kalau didukung sekurang-kurangnya oleh 55 persen suara.[165] Kemenangan tipis ini membuat Mahathir bersikap polemis dan defensif dengan menandaskan bahwa ia tetap akan menjabat Presiden dan Perdana Menteri meski hanya unggul satu suara.[166]
Sejauh itu haruslah ditegaskan bahwa faksionalisasi Islam-nasionalisme hanya berada pada tataran simbolik, dalam pengertian sebagai merek dagang masing-masing kubu. Sebab, mulai paruh kedua tahun 1985, pemerintahan Mahathir tengah digoncang oleh berbagai isu dan pengungkapan skandal, seperti skandal BMF, Maminco UMBC-Pernas yang melibatkan Daim Zainuddin, orang dekat Mahathir, dan berbagai rumor tak sedap seputar proyek-proyek ‘gajah putih’ yang menelan anggaran besar, seperti proyek Jembatan Pulau Pinang, Proton Saga, Daya Bumi, Perwaja, dan Lebuhraya Utara-Selatan. Mekanisme tender yang tidak jelas dalam proyek-proyek tersebut ditengarai sarat dengan praktek kolusi dan nepotisme. Slogan ‘Bersih, Cekap dan Amanah’ (BCA) memang sejalan dengan nilai-nilai Islam, namun jika berbagai tuduhan korupsi dalam pemerintahan Mahathir benar adanya, maka bukan hanya tak sesuai, tetapi ia jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Asumsi inilah yang dipakai oleh kubu Razaleigh-Musa dalam menentang Mahathir dan menghendaki suksesi kepemimpinan.
Kubu Razaleigh-Musa yang dipersepsi sebagai nasionalis berdalih bahwa parameter Islamisasi tidak bisa diukur dari semaraknya institusi-institusi berlabel Islam, seperti Bank Islam, Takaful, Universiti Islam Antarbangsa, dan penerapan ta’zir cambuk bagi penenggak minum-minuman keras. Namun, yang lebih utama adalah penegakan nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kejujuran, keikhlasan, anti penyelewengan dan korupsi, dan anti gila kekuasaan.[167] Kubu Razaleigh-Musa lebih jauh menandaskan bahwa anggota UMNO yang memperjuangkan nasionalisme Melayu tidak berarti membuang Islam, sebab Melayu dan Islam tidak bisa saling dipisahkan.
Pemilu partai akhirnya berbuah perpecahan yang berujung pada dijatuhkannya vonis Mahkamah Tinggi pada 5 Februari 1988 bahwa UMNO adalah partai ilegal, karena dibentuk berdasarkan muktamar (Perhimpunan Agung) yang tidak sah dan karena itu pemilihan di semua peringkat partai dinyatakan haram.[168] Kubu Mahathir akhirnya membentuk UMNO Baru yang didaftarkan pada 13 Februari, yang dalam keseluruhan bentuk dan isinya hampir semuanya mewarisi UMNO Lama. Di pihak lain, kubu Razaleigh membentuk Semangat Melayu 46 (S46). Jika faksionalisasi Islam-nasionalis ini benar, Mahathir secara politis ingin menunjukkan pemihakannya kepada kubu Islam dengan cara menyingkirkan faksi nasionalis sekular dalam partai yang ia pimpin.


BAB IV
MAHATHIR, YAHUDI, DAN DRAMA POLTIIK ANWAR IBRAHIM
Mahathir adalah pribadi yang terkenal dengan karakter lugas, blak-blakan, dan kontroversial. Salah satu kontroversi yang melekat padanya adalah kegemarannya menyerang Barat dengan kritik-kritik keras, terutama terhadap Israel dan Yahudi. Mahathir menjadi pembela Islam yang lugas dan penyerang Barat yang keras, sesuatu yang membuatnya sekaligus dibenci dan dikagumi. Pernyataan-pernyataan keras Mahathir terhadap Barat dan Israel tidak berdiri sendiri, melainkan satu paket dengan obsesinya mempertahankan tempat Malaysia di dunia Islam. Itu tidak lain karena pernyataan-pernyataannya seringkali diucapkan di forum-forum Islam, baik yang berlingkup nasional maupun internasional. Pernyataan keras Mahathir terhadap Yahudi membuatnya dituduh sebagai anti-semit yang mengembangkan kebencian terhadap Yahudi. Ulasan berikut akan menyoroti politik Yahudi Mahathir yang kerap memicu polemik internasional.
A. Mahathir, Krisis Ekonomi, dan Yahudi
Ketika krisis menghantam Asia, gelembung ekonomi Malaysia meletus secara dramatis. Ringgit jatuh 45 persen dari nilai tukar sebelumnya terhadap dollar AS, stok pasar merosot 60 persen, dan pertumbuhan ekonomi pada 1998 mencapai -7.5 persen.[169] Setelah hampir satu dekade mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 8 persen, keajaiban ekonomi Malaysia pupus, bersama negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Menyusul devaluasi baht Thai pada 2 Juli 1997, ringgit Malaysia, peso Filipina, dan rupiah Indonesia bersama won Korea terjun bebas. Pada akhir 1997, ringgit Malaysia terdepresiasi hampir 50 persen menjadi sekitar RM 4.80 per US dollar dari RM. 2.5 per US dollar pada awal 1997. Pada saat yang sama, indeks harga saham gabungan di Kuala Lumpur Stock Exchange (KLSE) jatuh di atas 500 poin dari 1.272 poin pada 25 Februari 1997, turun 60 persen dari nilai rata-rata saham di papan utama KLSE hanya dalam waktu sepuluh bulan. Hal ini masih dibarengi oleh jatuhnya secara tajam harga real estate pada pertengahan 1997. Jatuhnya ringgit, pasar saham, dan real estate telah mewariskan kepada orang Malaysia, khususnya di lapisan kelas menengah baru, suatu kebingungan, kejutan, dan frustrasi.
Ketika krisis menghantam, respon spontan Mahathir adalah menyerang para spekulan asing. Di tengah popularitasnya yang terus merosot, Mahathir melemparkan tuduhan bahwa goncangan finansial di Asia adalah akibat konspirasi Yahudi.[170] Pada 10 Oktober 1997, pada pawai 10.000 penduduk kampung Muslim di Kuala Terengganu, Mahathir secara lantang menyerang spekulan uang Yahudi, George Soros, sebagai agen yang merekayasa terjadinya krisis moneter. Mahathir dikutip menyatakan:
“Kita dapat menuduh bahwa mereka, orang-orang Yahudi, memiliki agenda, tetapi kita tidak mau menuduh… kebetulan kita Muslim dan orang Yahudi tidak suka melihat kemajuan orang Islam… Yahudi telah merampas hak orang-orang Palestina, segala-galanya, tetapi mereka tidak bisa melakukan itu, karenanya mereka menghancurkan ringgit”.[171]
Sembari mengutuk Soros, Mahathir melakukan intervensi dengan mengucurkan RM 60 milyar untuk menyelamatkan nilai ringgit.[172]
Sehari kemudian Mahathir mengklarifikasi bahwa dia hanya bilang kebetulan Soros orang Yahudi dan Malaysia negeri berpenduduk mayoritas Muslim. Banyak yang percaya bahwa statemen anti-semitik Mahathir adalah bagian dari upaya terencana untuk mengalihkan krisis kepada isu rasial. Seperti dinyatakan Musa, teknik rasial semacam ini bukan barang baru dalam politik Malaysia. Mahathir sekali lagi mengulang strategi pengkambing-hitaman seperti yang dilakukannya pada krisis UMNO 1987. Jika dulu Cina yang menjadi target, kini Yahudi yang menjadi kambing hitam.[173]
Statemen anti-semitik Mahathir mendapat reaksi keras internasional. Reaksi keras ini, seperti yang diharapkan, justru dimanfaatkan Mahathir untuk menggangsir dukungan dari dalam. Ada dua isu intervensi asing yang dipakai Mahathir untuk menggalang dukungan domestik. Pertama, ancaman dari US Department State untuk mendesakkan langkah-langkah penghukuman atas Malaysia karena aktivitas perusahaan minyak nasionalnya, Petronas, yang terlibat dalam investasi industri gas di Iran. Kedua, draf resolusi yang dikeluarkan oleh tiga puluh empat anggota kongres AS yang dipimpin Robert Wexler yang menyeru kepada Mahathir untuk minta maaf atau mundur dari PM karena ucapan rasialisnya yang bernada anti-semitik.[174]
Isu intervensi justru telah membangkitkan sentimen nasionalisme domestik. Seluruh elemen masyarakat, termasuk partai oposisi dan editorial surat kabar, mengecam campur tangan asing terhadap urusan dalam negeri Malaysia dan mengungkapkan dukungan penuh kepada Mahathir. Pawai publik, plakard, dan stiker-stiker mobil semua menyatakan dukungan kepada pemerintah. Anwar juga mengumumkan akan menggerakkan mosi percaya (motion of confidence) parlemen bersama 9 Menteri Besar dan 4 Menteri Ketua untuk mendukung kepemimpinan Mahathir.[175] Para pemimpin negara bagian menyatakan dukungan mutlak terhadap “all actions that had been or would be taken by Dr Mahathir in handling the country’s economic problems”.[176]
Sentimen nasionalistik yang bangkit pada pertengahan Oktober menjadi peluang bagi Mahathir untuk mengambil alih kembali kendali kepercayaan publik yang sempat hilang pada periode-periode awal krisis. Sehari setelah mosi percaya parlemen dikeluarkan, Mahathir membentuk National Economic Action Council (NEAC), badan yang mirip National Operations Council yang dibentuk selepas krisis komunal 1969. Mahathir menunjuk Daim Zainuddin, orang kepercayaannya, sebagai direktur eksekutif NEAC dan menyatakan bahwa Daim-lah yang akan menjalankan kekuasaan penuh menyangkut arah kebijakan lembaga itu.[177]
Pernyataan anti-semitik lain dilontarkan Mahathir beberapa saat menjelang suksesi. Dalam pidato yang disampaikan dalam acara pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-10 Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Putrajaya, Malaysia, 16 Oktober 2003, Mahathir mengulangi kegemaran lamanya menyerang Yahudi. Dengan pernyataan itu Mahathir sebenarnya hendak mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin Muslim yang lugas dan untuk mempertahankan tempat Malaysia di dunia Islam. Kendatipun pernyataan itu disampaikan dalam konteks menggugah umat Islam agar bangkit mengejar ketertinggalam mereka di berbagai bidang, tak ayal pernyataan itu dianggap anti-semitik. Mahathir mengatakan:
“Kita sesungguhnya sangat kuat. Umat Islam yang berjumlah 1,3 miliar orang (seharusnya) tidak bisa dengan mudah dikalahkan. Orang Eropa membunuh 6 dari 12 juta orang Yahudi. Akan tetapi kini orang Yahudi secara tak langsung menguasai dunia. Mereka bisa membuat orang lain berperang dan mati untuk mereka…Apakah benar kita tak perlu dan tak dapat melakukan apa-apa bagi diri kita sendiri? Apakah benar 1,3 miliar orang (Islam) tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari penghinaan dan penindasan yang dilakukan oleh musuh yang jumlahnya jauh lebih kecil? Apakah mereka (umat Islam) hanya dapat membalas secara membabi buta dengan kemarahan. Apakah tak ada jalan lain kecuali meminta anak-anak muda kita untuk meledakkan dirinya sendiri dan membunuh orang lain, tindakan yang hanya mengundang dilancarkannya pembantaian lebih banyak lagi atas rakyat kita? Tak mungkin tak ada jalan. Kaum Muslim yang berjumlah 1,3 miliar tak dapat dikalahkan oleh beberapa juta orang Yahudi. Seharusnya ada jalan (bagi kita)”.[178]
Pernyataan ini mengundang kecaman dari negara-negara Barat. Pernyataan Mahathir dinilai bernada menghasut dan anti-Yahudi dan karena itu menghambat upaya untuk memperdalam harmoni antaretnis dan agama. Mahathir dikecam karena dianggap memprovokasi umat Islam untuk memerangi kaum Yahudi dan akibatnya akan mengundang aksi-aksi terorisme. Lewat pemungutan suara di Kongres AS dengan hasil 411 mendukung, 0 menentang dan 1 abstain, dikeluarkan resolusi oleh Kongres AS yang intinya mengecam pernyataan Mahathir yang dianggap provokatif dan tercela.[179]
Berbeda dengan reaksi keras negara-negara Barat, para pemimpin negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam menyatakan dukungannya terhadap Mahathir. Mahathir sekali lagi mengukuhkan kepemimpinannya di panggung dunia Islam. Sebelum turun dari kekuasaannya, Mahathir ingin tetap dikenang sebagai pemimpin Islam dan membuat Malaysia diperhitungkan sebagai contoh negeri Muslim yang membangun. Kendatipun banyak dikecam karena pernyataannya, Mahathir tak bergeming dan menyatakan bahwa reaksi dunia justru menunjukkan bahwa Yahudi memang menguasai dunia. Sampai hari terakhir sebelum meletakkan jabatan, Mahathir masih mengulang-ulang kontroversi ucapannya mengenai Yahudi dan efektivitas demokrasi. Dengan pernyataan-pernyataannya yang keras terhadap Israel, Mahathir sesungguhnya tengah berupaya mengukuhkan tempat Malaysia di dunia Islam. Seperti umum diketahui, isu Yahudi dan Israel adalah isu sensitif yang memiliki “daya panggil” luar biasa di lingkungan negeri berpenduduk Muslim.
B. Krisis Ekonomi dan Drama Politik Anwar Ibrahim
Anwar Ibrahim adalah tokoh yang dipromosikan Mahathir Mohamad. Keterlibatannya di pentas politik nasional adalah karena ajakan Mahathir. Anwar sebelumnya merupakan tokoh organisasi Islam ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Terpikat dengan kesungguhan Mahathir mendukung Islam, Anwar setuju bergabung dengan UMNO dan pemerintah pada 1982. Dari segi chemistry politik keagamaan, ideologi keislaman Anwar sesungguhnya lebih dekat dengan PAS yang memang pernah dikampanyekannya dalam pemilu 1978.[180] Oleh karena itu, ketika Anwar dipecat dari partai dan dibuang dari pemerintahan, seorang analis mengatakan itu hanyalah soal waktu. Tujuh tahun sebelum pemecatan Anwar, ia telah meramalkan bahwa Anwar tidak mungkin bertahan lama dalam UMNO, karena idealisme Anwar dan UMNO jauh berbeda. Anwar mempunyai cita-cita Islam yang berpegang pada Qur’an dan Hadits, sedangkan UMNO adalah sebuah organisasi Melayu yang berlandaskan pada paham nasionalisme Barat sekular.[181] Pemecatan Anwar menandai perlucutan simbol ketokohan Islam dalam kepemimpinan UMNO dan pemerintahan.
Dalam penggambaran media-media asing, perbedaan dalam kebijakan ekonomi antara Mahathir dan Anwar Ibrahim, khususnya sejak pertengahan 1997, adalah sumber keretakan yang berujung pada pemecatan Anwar pada September 1998. Menurut Funston, pandangan Mahathir dan Anwar dalam aspek-aspek domestik dan internasional krisis sesungguhnya tidak seberapa berbeda seperti umumnya dipahami. Menurutnya, jika ada kebijakan-kebijakan Anwar dalam suatu bentuk kebijakan tertentu, hal itu tentu sekurang-kurangnya sudah mendapat persetujuan diam-diam Mahathir.[182] Karena itu, adalah simplifikasi berlebihan melihat bahwa perpecahan keduanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan inheren dalam inti kebijakan atau gaya kepemimpinan.
Beredar banyak spekulasi mengenai sebab musabab keretakan hubungan Mahathir-Anwar. Pada awalnya, Mahathir menyatakan pemecatannya adalah karena perbuatan seksual yang tidak layak, termasuk hubungan dengan pelacur dan sodomi. Anwar ditengarai merupakan ayah seorang anak dari isteri sekretaris pribadinya. Mahathir mengklaim, pemecatan Anwar tidak ada kaitannya dengan perbedaan dalam hal kebijakan ekonomi dan oposisi atas kepemimpinannya.[183]
Di tengah proses pengadilan, tuduhannya bergeser: tidak lagi karena perilaku seksual yang menyimpang, tetapi karena intervensi Anwar dalam proses pengusutan polisi. Ini membangkitkan persepsi publik bahwa sesungguhnya isu moralitas bukanlah alasan sesungguhnya kejatuhan Anwar.[184] Dilaporkan bahwa Mahathir sempat beberapa kali menawari Anwar untuk mundur atau menghadapi serangkaian tuduhan-tuduhan seksual yang akan diungkap ke publik, tetapi Anwar menolaknya. Krisis ekonomi yang menghantam Malaysia, dan perbedaan dalam strategi pemulihan ekonomi, hanyalah salah satu faktor yang menyumbang perpecahan kepemimpinan Mahathir-Anwar.
Anwar adalah anak asuh yang disokong Mahathir secara diam-diam dalam kontes untuk memperebutkan jabatan Timbalan Presiden UMNO melawan Ghafar Baba. Ketika Anwar mengumumkan kesediaannya bertanding melawan Ghafar, Mahathir menyatakan netral. Netralitas Mahathir meratakan jalan kemenangan Anwar. Tradisi no-contest untuk dua posisi tertinggi tidak disinggung-singgung Mahathir. Setelah memenangkan pemilihan, Mahathir diam-diam mewaspadai popularitas Anwar yang terus menanjak.
Persaingan Mahathir-Anwar sesungguhnya telah bermula selepas pemilu 1995. Anwar mulai membangun kekuatan untuk mengimbangi dominasi politik Mahathir. Beberapa manuver politik Mahathir untuk mengukuhkan kekuasaannya mendapat perlawanan dari Anwar dan kubunya. Persaingan ini mulai terlihat dari pernyataan prerogatif Mahathir untuk menyusun pos-pos kabinet. Orang-orang Anwar ditaruh di pos-pos kementrian yang tidak terlalu penting atau di pos yang bisa langsung diawasi Mahathir. Anwar melihat, perombakan kabinet pada 1995 menandai upaya Mahathir untuk menghalangi kesempatan dirinya membangun basis kekuatan di pemerintahan, sekalipun popularitasnya tengah meroket di partai. Mahathir telah belajar dari kasus Musa tentang betapa berbahayanya memberikan begitu banyak pos-pos tertinggi pemerintahan kepada pihak pesaing.
Pemilu partai tingkat bahagian pada 1995 adalah wujud dari pertarungan langsung Mahathir-Anwar. Meskipun didukung Mahathir, orang-orang dekat Mahathir seperti Daim Zainuddin, Sanusi Junid, Ghafar Baba, dan Rahim Tamby Chik menghadapi kesulitan untuk memenangkan jabatan ketua. Bahkan Sanusi Juned kalah di Kedah, kampung halaman Mahathir. Hasil pemilu bahagian mencerminkan bahwa Mahathir mulai kehilangan cengkeraman hegemoninya di partai. Dalam konteks inilah orang melihat Anwar sebagai penantang yang paling mungkin dalam pemilu tiga tahunan yang dijadwalkan digelar pada Oktober 1996.
Oposisi terhadap Mahathir kembali muncul ketika 22 dari 25 anggota Majelis UMNO Kedah menandatangani memorandum yang menyatakan menolak manuver Mahathir mengganti Menteri Besar Kedah ‘orangnya’ Anwar, Osman Aroff, dengan Sanusi Juned, loyalis Mahathir rival politik Anwar. Pada Mei 1996, Osman akhirnya mengundurkan diri karena tekanan Mahathir dan menunjuk Sanusi sebagai penggantinya. Banyak orang melihat bahwa pertarungan Osman Aroff dan Sanusi Junid adalah kepanjangan dari persaingan Mahathir-Anwar.[185] Jelas bahwa popularitas Anwar yang terus menanjak, khususnya setelah pemilu 1995, telah menjadi ancaman politik yang nyata terhadap dominasi kekuasaan Mahathir.
Meskipun persaingan kekuasaan semakin menajam, Anwar pada pertengahan 1997 masih ditunjuk sebagai pejabat PM ketika Mahathir cuti dua bulan keluar negeri. Performa Anwar selama dua bulan membuktikan bahwa dia adalah pemimpin yang mampu dan cakap. Selama menjabat sebagai pejabat PM, Anwar meluncurkan program nasional: ‘the all-out war against corruption’, kampanye yang mencemaskan lawan-lawan politiknya. Anwar dalam rangka itu mengajukan Anti-Corruption Bill 1997.
Pada pertengahan 1997, Malaysia dihantam krisis ekonomi. Krisis menjadi entry-point bagi kubu lawan Anwar untuk menghabisi reputasinya. Ketika krisis menghantam, rumor mengenai perilaku seksual Anwar yang beredar di internal UMNO dan semula tidak digubris Mahathir, kini justru diungkap Mahathir di hadapan publik nasional. Buku “50 Dalil: Mengapa Anwar tidak Boleh Jadi PM” beredar luas di publik, bukan hanya di lingkungan UMNO. Leaflet setebal 50 halaman itu berisi tuduhan korupsi, perzinaan, perilaku seks menyimpang, keterlibatan dalam upaya pembunuhan dan bekerja kepada skenario asing. Leaflet ini dipakai Mahathir sebagai alasan untuk menyingkirkan Anwar.
Hubungan Mahathir-Anwar semakin memburuk dengan keengganan Anwar menalangi beberapa perusahaan yang terkait dengan bisnis anak dan kroni Mahathir, seperti KPB Mirzan, anak sulung Mahathir, Bakun Dam Project, dan Renong. Anwar percaya bahwa dirinya hanyalah korban dari konspirasi politik tingkat tinggi yang dirancang untuk menamatkan karir politiknya ke depan, konspirasi yang telah berlangsung selama satu tahun sebelum kejatuhannya. Kolega-kolega Anwar yakin bahwa kroni-kroni Mahathir, khususnya Daim Zainuddin, telah memprakarsai seluruh proses pendestruksian Anwar untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka yang terancam oleh kehadiran Anwar.[186] Mereka inilah yang membisiki Mahathir bahwa Anwar akan menggunakan krisis ekonomi sebagai alat untuk mendesakkan suksesi politik menggantikannya pada pemilu partai 1999.
Dalam pandangan Mahathir, serangkaian perkembangan sejak Juli 1997: perbedaan dalam menyelesaikan krisis ekonomi, kritik media yang meluas terhadap kepemimpinan dirinya, dan keengganan Anwar untuk membail-out bisnis anak dan kroninya merupakan indikasi yang nyata dari suatu gerakan untuk menyingkirkan Mahathir dari panggung kepemimpinan politik nasional.[187] Secara khusus, keengganan Anwar menyelamatkan bisnis KPB anaknya, Mirzan, telah cukup menyakinkan Mahathir bahwa Anwar tidak siap untuk melindungi kepentingan keluarga dan kroninya jika ia kelak lengser dari kursi PM. Kerja sama Anwar dengan IMF memperkuat kecurigaan Mahathir mengenai skenario untuk menyingkirkan dirinya. Jelas bahwa Anwar adalah salah satu figur yang diharapkan Barat untuk dapat mereformasi pasar bebas di Malaysia.[188]
Di tengah kemelut ekonomi, pada Maret 1998, UMNO menggelar pemilu di 165 bahagian. Pemilu ini digelar untuk memilih 11 delegasi dari masing-masing bahagian yang akan memilih anggota Majelis Tertinggi pada Perhimpunan Agung UMNO yang dijadwalkan digelar pada pertengahan 1999. Meskipun pemilu ini besifat lokal, ia dianggap sebagai batu uji untuk menjajaki perimbangan kekuatan Mahathir-Anwar. Dikabarkan bahwa sayap Pemuda dan Wanita UMNO, yang masing-masing diketuai Zahid Hamidi dan Siti Zaharah Sulaiman, adalah sayap solid kubu Anwar.
Untuk menjaga status-quo, Mahathir mengeluarkan anjuran dan bahkan perintah no-contest untuk mencegah kubu Anwar bertanding melawan the incumbent memperebutkan kepemimpinan.[189] Hasil dari pemilu bahagian menunjukkan bertahannya status-quo, khususnya untuk pos-pos ketua bahagian. Hanya ada 24 ketua bahagian baru dari 165 bahagian. Dengan kata lain, lebih dari 80 persen the incumbent bertahan dalam pemilihan. Di Perlis, Perak, Pahang, dan Terengganu, 100 persen dimenangkan kubu status quo. Yang menarik, 60 persen pos ketua pemuda adalah wajah baru, suatu hal yang menunjukkan kekuatan Anwar.[190]
Ketika hubungan Mahathir-Anwar semakin menegang, faktor eksternal lain turut mempengaruhi suhu hubungan, yaitu situasi politik yang eksplosif di Indonesia pada Mei 1998. Hal ini menimbulkan suasana paranoia pada diri Mahathir. Persepsi publik yang memburuk tentang Mahathir turut memperdalam rasa was-was. Suatu survei informal di internet pada pertengahan 1998 menunjukkan bahwa hanya 16.7 persen responden yang percaya Mahathir dapat mengatasi krisis, sementara 64.6 persen percaya Anwar-lah yang terbaik memimpin Malaysia keluar dari krisis.[191] Bagi Mahathir, adopsi retorika reformasi dan kampanye anti-KKN (korupsi, kronisme, dan nepotisme) oleh Anwar dan pendukungnya tidak lain memperjuangkan target yang sama seperti di Indonesia, yaitu mengganti kepala pemerintahan.
Langkah-langkah untuk melucuti kekuatan Anwar segera dilakukan Mahathir. Di samping menunjuk Daim sebagai direktur eksekutif National Economic Action Council (NEAC) yang jelas mengurangi kewenangan Anwar sebagai Menkeu, dua minggu kemudian Mahathir mendesak mundur dua orang dekat Anwar, Johan Jaaffar dan Ahmad Nazri Abdullah, dari jabatannya sebagai kepala editor dua surat kabar Melayu terbesar, Utusan Melayu dan Berita Harian. Hal ini diikuti dengan pengunduran diri direktur umum TV3, jaringan televisi swasta Malaysia terbesar. Tiga posisi ini kemudian diisi oleh figur-figur pro-Mahathir.[192]
Setelah itu, Gubernur dan Deputi Gubernur Bank Negara, Ahmad Mohd Don dan Fong Weng Phak, yang dekat dengan Anwar, dipecat dari masing-masing jabatannya karena berbeda dengan pemerintah dalam manajemen ekonomi.[193] Mundurnya mereka, yang segera diikuti dengan kontrol atas mata uang, menandai kekalahan Anwar. Puncaknya adalah dipecatnya Anwar dari jabatannya, dibuang dari partai, ditahan di bawah ISA, dan diadili pada September 1998. Anwar dipecat sebagai deputi PM dan Menkeu pada 2 September 1998, sehari setelah Mahathir mengeluarkan kebijakan kontroversial mematok nilai mata uang ringgit.
Pemberhentian Anwar didukung oleh seluruh anggota Majelis Tertinggi, Menteri Besar, Menteri Kabinet, Deputi Menteri Sekretaris Parlemen, dan ketua-ketua bahagian UMNO. Mahathir segera menekan kelompok pendukung Anwar. Dilaporkan bahwa rata-rata 4 dari 11 delegasi bahagian UMNO dipecat atau berada dalam tekanan karena mendukung Anwar dan gerakan reformasi. Beberapa hari sebelumnya, serangkaian penahanan atas sekutu-sekutu Anwar dilakukan. Pada 6 September 1998, Sukma Darmawan, saudara angkat Anwar ditahan atas tuduhan terlibat dalam aksi sodomi bersama Anwar. Pada 14 September, Munawar Anis, penulis pidato Anwar ditahan di bawah ISA atas tuduhan yang sama. Pada hari yang sama, sekretaris pribadi Anwar di kementerian keuangan, Mohamad Ahmad, ditahan di bawah seksi 117 Kode Penal. Pada 15 September, bekas sekretaris pribadi Anwar lainnya, Mohamad Azmin Ali, juga ditangkap di bawah seksi 117 Kode Penal. Menyusul penahanan Anwar, pada 20 September 1998, 16 kolega-kolega politik Anwar turut ditahan di bawah ISA. Mereka yang ditahan termasuk para pemimpin ABIM yang memiliki pengaruh di lingkungan gerakan Islam mahasiswa.[194]
Pada Januari 1999, Mahathir menunjuk Abdullah Badawi sebagai Deputi PM merangkap Menteri Dalam Negeri. Daim ditunjuk sebagai Menteri Keuangan. Pada hari yang sama, Mahathir mengumumkan penundaan pemilihan tiga tahunan Majelis Tertinggi, untuk menghindari gangguan kubu Anwar.
Drama pemecatan Anwar telah membangkitkan emosi yang begitu kuat di antara orang Melayu. Emosi ini bahkan merayap melintasi batas-batas sosial, kelas, dan daerah. Perlakuan pemerintahan terhadap Anwar dianggap sangat menghinakan, sesuatu yang membuat wibawa pemerintah merosot drastis. Dalam sejarah politik UMNO, belum pernah terjadi legitimasi partai di mata kaum Melayu betul-betul tergugat seperti sekarang. Isu Anwar dan momentum reformasi telah menjadi katalis bagi pelembagaan politik multietnis menghadapi hegemoni politik koalisi BN.
Ketika Anwar dalam tahanan polisi pada 27 September 1998, beberapa koalisi mutirasial diluncurkan. Pertama, NGO-NGO yang dipimpin Suara Rakyat Malaysia (SUARAM) memprakarsai kerja sama multietnis untuk reformasi politik, ekonomi, dan sosial yang diberi nama Gagasan Demokrasi Rakyat (GAGASAN). Koalisi mencakup PAS, DAP, PRM dan 14 LSM yang kebanyakan bergerak di bidang HAM. GAGASAN dirancang untuk mempersiapkan visi-visi alternatif terhadap kekuasaan BN. Kedua, PAS juga meluncurkan koalisi Majelis Gerakan Keadilan Rakyat Malaysia yang anggota-anggotanya mencakup anggota GAGASAN, PAS, DAP, PRM, dan puluhan LSM, terutama Islam, termasuk ABIM. Sementara GAGASAN fokus pada tujuan jangka panjang, agenda GERAKAN adalah penghapusan ISA. Artikulasi politik lain yang bersifat multikomunal adalah ke-ADIL-an, partai yang dipimpin oleh isteri Anwar Ibrahim, Wan Azizah, yang dideklarasikan pada 4 April 1999.
Karakteristik yang paling menonjol dari politik Malaysia selepas Anwar adalah perubahan sikap kelas menengah Melayu. Seperti dikemukakan beberapa penulis, kelas menengah di negara-negara Asia adalah kelas yang secara struktural bersahabat dan tidak memusuhi otoritarianisme, karena itu kurang terdorong untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi liberal. Menurut Gomez dan Jomo, kelas menengah Malaysia yang muncul pada 1990-an adalah kelas yang sangat materialistik, yang menghindari resiko-resiko reformasi dari bentuk pemerintahan otoritarian.[195] Crouch pada awal 1980-an juga menyatakan bahwa kesejahteraan relatif kelas menengah Malaysia justru menyediakan basis dukungan yang kuat dan justifikasi utama bagi gaya politik otoritarian.[196]
Watak kelas menengah yang digambarkan seperti di atas tadi berubah drastis sejak pemecatan Anwar. Untuk pertama kalinya kelas menengah Melayu terlibat dalam gelombang reformasi, meskipun mereka bukan aktor utamanya. Demikian pula, sejumlah penting kelas menengah non-Melayu terlibat dalam gerakan reformasi. Meskipun jarang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi jalanan, suara-suara mereka menyerukan isu-isu keadilan, HAM, dan demokrasi nyaring terdengar. Inilah satu faktor lagi yang membedakan situasi politik pasca Anwar dan pasca krisis 1987. Jika krisis 1987 diwarnai ketegangan etnis, krisis 1998 yang melambungkan wacana reformasi justru menerjang sekat-sekat etnis dan politik perkauman.
Pemecatan Anwar telah menjadi katalis bagi kebangkitan civil society. Pemecatan Anwar menghasung munculnya politik baru kesadaran multietnis dalam masyarakat sipil Malaysia, khususnya di antara kelas-kelas menengah Malaysia muda. Drama Anwar telah memunculkan moral politik baru, yakni reseptivitas terhadap semacam politik non-rasial.[197]
PAS muncul sebagai partai yang paling menangguk untung dari kemarahan Melayu atas pemerintahan BN. Indikasi dari pasangnya gelombang politik PAS adalah terbitnya majalah dwimingguan Harakah. Dari awal krisis Anwar hingga akhir 1998, oplah Harakah meningkat dari sekitar 60.000 menjadi 300.000 eksemplar. Total penjualan Harakah mencapai RM 700.000 per minggu. Dilihat dari oplah penjualannya, Harakah tidak lagi seperti media alternatif, tetapi media mainstream yang menggeser oplah penjualan New Straits Times dan The Star. Pada awal 1999, Harakah telah menampilkan dirinya bukan saja sebagai corong partai PAS, tetapi suara kelompok-kelompok oposisi bagi reformasi.[198] PAS juga mengklaim menerima aplikasi keanggotaan partai yang meningkat sepuluh kali lipat dalam waktu 6 bulan sejak meletusnya krisis Anwar, dengan 15.000 aplikasi pada Oktober 1998. Seorang pejabat senior PAS mengatakan bahwa anggota PAS meningkat sekurang-kurangnya 8.000 per bulan. Anggota PAS melompat 20 persen dalam sepuluh bulan setelah pemecatan Anwar.[199] Anggota-anggota baru ini kebanyakan muntahan dari UMNO yang meliputi semua segmen; tua, muda, kaya, miskin, terpelajar dan tak terpelajar. Sebelum episode Anwar, PAS biasanya hanya menarik bagi segmen kaum muda Melayu.
Pasangnya popularitas kelompok oposisi dan surutnya legitimasi partai berkuasa membuka peluang untuk mencabut mandat elektoral BN dalam pemilu 1999. Pemilu 1999 menjadi batu uji baik bagi koalisi partai penguasa maupun aliansi partai-partai oposisi untuk bertaruh siapa yang paling didukung rakyat untuk memimpin pemerintahan.
Kendatipun gugatan atas BN memuncak menyusul bergulirnya reformasi, BN meraih kembali mandatnya untuk memerintah dan menyukseskan kemenangan lima kali berturut-turut sejak kepemimpinan Mahathir Mohamad.[200] BN meraih 56.5 persen suara dan menguasai 76.8 kursi parlemen. Di tingkat permukaan, kemenangan BN seolah mengukuhkan tesis bahwa pemilu hanyalah casting suara dari suatu ritual rutin yang digelar setiap empat atau lima tahun sekali guna memberikan sampul legitimasi bagi pemerintahan yang sesungguhnya otoritarian.[201] Namun, pemilu 1999 sesungguhnya tidak lagi bisa dipandang sebagai suatu ritual atau orkestra rutin belaka.
Pemilu 1999 telah menunjukkan perubahan konfigurasi politik yang cukup signifikan. Mayoritas kursi parlemen BN turun drastis dari 166 menjadi 148 dari total 193 kursi yang diperebutkan. Kursi senat BN juga turun dari 350 menjadi 281 dari 394 kursi yang diperebutkan. Yang paling penting, koalisi yang ditulangpunggungi UMNO banyak kehilangan suara justru di kantong-kantong politik Melayu. Hasilnya, BN kehilangan Terengganu dan Kelantan. Suara-suara Melayu rontok di Kedah, Perlis, dan Pahang. Hal ini menunjukkan merosotnya dukungan Melayu terhadap UMNO. Untuk pertamakalinya UMNO memperoleh kurang dari separo (72) dari total kursi parlemen (148) yang dimenangkan BN. Akibatnya, UMNO kehilangan hak atas empat posisi menteri, 6 deputi menteri, 1 menteri besar, dan beberapa kanselir eksekutif negeri, serta sekretaris parlemen.
Pemilu 1999 ditandai naik daunnya PAS. PAS memegang kontrol atas wilayah Kelantan, merebut negara kaya minyak Terangganu, nyaris merampas kota kelahiran PM Mahathir Kedah, dan menguasai Pahang dan Selangor. Perolehan kursi PAS di parlemen meningkat dari 7 menjadi 27 dan kursi senat hingga 98.
Politik di Malaysia dalam dekade 1990-an menunjukkan gejala menarik. Didorong oleh hasrat untuk mengakhiri pemerintahan Barisan Nasional, untuk pertama kalinya PAS berbicara tentang Islam dengan bahasa demokrasi dan hak-hak asasi manusia, menghargai kepastian hukum (rule of law), kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, hak untuk hidup bebas dari rasa takut dan ancaman, melindungi hak semua komunitas, dan lain-lain. Yang mengejutkan, pemimpin PAS mengumumkan kesiapan partai itu untuk membuka keanggotaan kepada non-Muslim dan untuk mencalonkan mereka bertanding dalam pemilu atas tiketnya.[202]
PAS juga menyatakan siap berkoalisi dengan partai Cina DAP (Democratic Action Party) menjelang Pemilu 1999. PAS tempaknya telah melakukan “bedah kosmetik” untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa tidak ada yang perlu dikuatirkan dari pemerintahan yang dikuasai PAS.[203] Bagaimanapun, hasrat untuk berkuasa akhirnya mendorong PAS untuk bergerak ke tengah. Sebaliknya, pemerintah yang berada dalam posisi defensif berupaya meningkatkan mandat keislaman mereka agar sekurang-kurangnya terlihat pro-Islam, jika bukan benar-benar Islam itu sendiri. Pemerintah Malaysia terdorong untuk seiring dengan jalan Islamisasi labih karena keharusan-keharusan pragmatis daripada gagasan-gagasan abstrak.[204] Pendek kata, orientasi kekuasaan telah membuat UMNO bergerak dari tengah ke kanan, sementara PAS dari kanan ke tengah. Observasi Vitikiotis berikut sangat menarik dikutip untuk menutup uraian subbab ini:
“It is not inconceivable that if PAS ever came to power in Malaysia they would behave much like the current ruling Malay elit, deploying moderate Islamic agenda to shore up their legitimacy…UMNO might in turn adopt the Islamic struggle to attack PAS”.[205]
(Tidak mustahil bahwa jika kelak PAS berkuasa di Malaysia, mereka akan berlaku seperti elit Melayu yang berkuasa saat ini, menyebarkan agenda Islam moderat untuk menopang legitimasi mereka… UMNO sebaliknya mengambil perjuangan Islam untuk menyerang PAS).


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di bawah Mahathir, meski secara tradisional terlihat simbolis, perlakuan pemerintah terhadap agama memperoleh dimensi yang lebih substantif. Secara keseluruhan, perlindungan umum yang dilakukan pemerintah terhadap Islam menunjukkan bahwa Mahathir adalah seorang pendukung Islam yang berani, dan juga seorang politisi yang sangat cerdik. Mahathir mampu secara cerdik menyatukan masa lampau dan masa kini, mengakomodasi dan mengkooptasi Islam sebagai gerakan politik, dan juga piawai memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional. Di bawah Mahathir, program Islamisasi pemerintah berkisar dari menggunakan simbol-simbol dan retorika Islam hingga mendirikan lembaga-lembaga Islam.
Kendatipun terlihat sungguh-sungguh mendukung Islam, kebijakan Islamisasi Mahathir dilakukan tidak lepas dari motif-motif politis, di antaranya untuk mengecoh PAS yang menjadikan Islam sebagai basis perjuangannya. Di bawah tekanan gelombang revivalisme Islam yang melanda masyarakat Melayu, hasrat UMNO untuk tetap berkuasa membuatnya tidak memiliki pilihan lain kecuali mengusung Islam jika tidak ingin ditinggalkan pendukungnya. Agenda Islam UMNO telah menempatkan partai ini dalam posisi yang lemah dan rapuh berhadapan dengan PAS. UMNO masuk dalam wacana yang dikembangkan PAS dan mengikuti PAS dalam mendefinisikan apa yang Islami dan tidak Islami dalam hubungannya dengan politik—hal yang menjadikan UMNO masuk dalam permainan kucing-kucingan yang tidak akan pernah dimenangkannya. Pendekatan baru pragmatisme politik Muslim dekade 1990-an telah menampakkan kecenderungan Islamisasi UMNO dan demokratisasi PAS. Orientasi terhadap kekuasaan telah membuat UMNO bergerak dari tengah ke kanan, sementara PAS dari kanan ke tengah.
Sebagian orang memandang kebijakan Islamisasi yang dilakukan Mahathir hanya kosmetik, yang sesungguhnya didorong oleh pertimbangan politis dan pragmatis ketimbang keinginan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan Islam sebagai din al-fitrah. Dalam banyak kasus, Islamisasi menjadi tidak lebih dari sekadar pernyataan kembali aspek-aspek simbolik dan ritualistik yang tentunya periferal dan tidak identik dengan Islam. Sebagaimana dinyatakan seorang analis, persepsi umum mengenai Malaysia sebagai bangsa Muslim yang patut dicontoh oleh bangsa-bangsa Muslim lain, apapun alasan pujian itu, merupakan akibat dari salah baca yang serius terhadap situasi yang sebenarnya.
Terlepas dari berbagai penilaian semacam itu, Mahathir telah berjasa menorehkan warna Islam di Malaysia dan mengukuhkan tempat Malaysia di lingkungan negara-negara Muslim.
B. Saran
Penilitian ini adalah riset pendahuluan yang menguak salah satu segi dari politik Malaysia. Segi-segi lain, seperti adakah hubungan kebijakan Islamisasi Mahathir dengan menguatnya gejala radikalisme Islam di Malaysia, belum tersentuh dalam penelitian ini. Kajian politik perbandingan lintas kawasan semakin mendesak untuk digalakkan, terlebih di negeri-negeri Asia Tenggara. Pengalaman masing-masing negara dalam proses pembangunan bangsa penting diungkap sebagai bahan untuk saling berkaca. Karena itu, materi perbandingan harus diperluas yang mencakup telaah mengenai aspek-aspek ekonomi politik dan sosial budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Abaza, Mona, “Intellectuals, Power and Islam in Malaysia: S.N. al-Attas or the Beacon on the Crest of a Hill”, Archipel 58, Paris (1999).
Abdullah, Firdaus Haji, Radical Malay Politics: Its Origins and Early Development. Petaling Jaya: Pelanduk Publication, 1985.
Abdul Rahman, Tunku, May 13: Before and After. Kuala Lumpur: Utusan Melayu Press, 1969.
ABIM, Kebangkitan Islam di Malaysia: Peranan ABIM. Kuala Lumpur: ABIM Headquarters, tt.
A.B., Shamsul, “Identity Construction, Nation Formation, and Islamic Revivalism in Malaysia”, dalam Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich (eds.), Islam in an Era of Nation-States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai’i Press, 1997.