jum'at ,18 april 2014
KEBIJAKAN ISLAMISASI MALAYSIA DI BAWAH PEMERINTAHAN MAHATHIR (1981-1999)
Rahmad Rivaldi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah faktor penting dalam keseluruhan isi dan proses politik di Malaysia. Arti penting Islam dimungkinkan sekurang-kurangnya karena dua hal. Pertama, Islam adalah agama resmi Malaysia sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Federal Pasal 3 (1): “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.[1] Yang menarik, kendatipun Islam dinyatakan sebagai agama resmi negara, para pendiri Malaysia menolak jika dikatakan Malaysia
sebagai Negara Islam. Menurut mereka, dicantumkannya Islam sebagai
agama resmi tidak akan mempengaruhi kedudukan Federasi sebagai negara
sekular.[2]
Tunku Abdul Rahman, PM Malaysia pertama, dalam berbagai kesempatan
secara terbuka mengungkapkan kekurangpercayaannya mengenai kemampuan
Islam dalam memecahkan masalah-masalah kenegaraan. Dalam suatu
kesempatan, Tunku menandaskan bahwa negeri ini bukanlah Negara Islam
seperti umumnya dipahami. “Kita hanya mengakui bahwa Islam menjadi agama resmi negara”.[3]
Dijadikannya Islam sebagai agama resmi Federasi terutama adalah untuk
tujuan-tujuan seremonial, umpamanya untuk memungkinkan orang membaca doa
menurut Islam dalam upacara-upacara resmi kenegaraan, seperti penobatan
Yang di-Pertuan Agong, Hari Kemerdekaan, dan peristiwa-peristiwa
serupa.[4]
Kedua,
Islam di Malaysia menjadi satu-satunya sistem simbolik yang paling
dominan dan belum ada sistem simbolik lain yang memiliki tingkat
legitimasi politis setaraf dengan sistem simbolik Islam.[5]
Tidak heran, karena itu, jika hampir seluruh kekuatan politik Melayu
seperti PAS dan UMNO terus bersaing untuk menampilkan diri sebagai yang
paling saleh (holier-than-thou battle) guna mempertahankan legitimasi politisnya di mata kaum Melayu.[6]
Kedudukan
istimewa Islam dalam struktur politik Melayu tidak bisa dilepaskan dari
corak kolonialisme Inggris di Malaysia. Tidak seperti Belanda di Indonesia
yang melumpuhkan Islam sehingga umat Islam kelak tidak memiliki para
pegawai terlatih di bidang agama di masjid-masjid dan
pengadilan-pengadilan Islam,[7] kebijakan Inggris di Malaysia
memperkuat hubungan antara Melayu dan Islam. Inggris bukan hanya
memberi hak prerogatif Sultan dalam urusan adat dan agama, tetapi juga
menyiapkan instrumen birokratik dan hukum untuk pemberlakuannya secara
sistematis dan menyeluruh.[8]
Kaum aristokrat Melayu diberi ruang gerak oleh Inggris, sesuatu yang
tidak diperoleh aristokrat bumiputera di Indonesia. Hal ini membantu
menjelaskan mengapa para bangsawan Melayu lebih leluasa untuk
menegosiasikan pencantuman Islam sebagai agama resmi negara Malaysia, suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh para tokoh agama di Indonesia.
Ketika
Islam masuk dalam konstitusi sebagai agama resmi negara, praktis tidak
ada perlawanan dari kelompok-kelompok nasionalis sekular seperti di
Indonesia. Di Indonesia, pencantuman syariat Islam dalam UUD 1945
dianggap akan menggoyahkan persatuan nasional yang hendak digalang di
antara seluruh komponen bangsa, karena itu dihapuskan. Pembatalan Piagam
Jakarta masih terus menyisakan ketidakpuasan di sebagian kelompok
masyarakat Islam hingga sekarang.[9]
Di Malaysia, Islam tampil sebagai kekuatan simbolik dominan yang tak
tertandingi oleh sistem simbolik lain. Namun justru karena itu Islam di
Malaysia, menurut seorang penulis, kurang dinamis dibanding Islam
Indonesia.[10]
Artikulasi politik Islam di Malaysia tidak bisa melampaui batas-batas
formalisme dan karena itu menjadi lebih terbuka terhadap serangan
gerakan fundamentalis. Dalam konteks politis dan sosial seperti inilah
program “Islamisasi” pemerintah Malaysia dilancarkan Mahathir. Komitmen
pemerintah terhadap pelaksanaan nilai-nilai Islam di Malaysia secara
terbuka disampaikan Mahathir dalam Perhimpungan Agung UMNO ke-38 pada
September 1982.[11] Dua tahun kemudian, Mahathir secara resmi mengumumkan niatnya untuk “mengislamkan jentera kerajaan”.[12]
B. Perumusan Masalah
Ketika
Mahathir naik ke panggung utama politik Malaysia, Islam tengah menjadi
sorotan luas dan menjadi tenaga pendorong gelombang pasang revivalisme
Islam pada dekade 1970-an. Demam Islam (frenzy of Islam) melanda hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk elit-elit UMNO yang sekular, menyusul peristiwa-peristiwa penting seperti
Perang Arab-Israel pada 1973, Invasi Uni Soviet ke Afghanistan dan
Revolusi Islam Iran pada 1979. Atmosfer kebangkitan Islam ini berpaut
dengan hasil tak terduga dari Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy)
yang menghasilkan kelas Melayu terpelajar yang melalui mereka-lah Islam
sebagai alternatif dibicarakan secara luas. Dalam situasi yang diliputi
oleh “demam Islam” semacam ini berbagai kebijakan Islam Mahathir
digelar. Penelitian ini akan menjawab dua hal: [1] Bagaimana dan dalam
bentuk apa program Islamisasi Malaysia
dilancarkan Mahathir?; [2] Faktor-faktor apa yang menjadi motif dasar
kebijakan Islamisasi tersebut? Penelitian ini akan memusatkan telaah
pada periode antara 1981, saat Mahathir naik di pucuk pimpinan partai
dan pemerintahan, hingga 1999 saat pertaruhan politik melalui pemilu
digelar menyusul kemelut politik dan ekonomi yang terjadi pada 1998.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk: [1] Menemukan gambaran mengenai bentuk-bentuk
kebijakan Islamisasi yang diambil pemerintahan Mahathir; [2] Mengetahui
motif-motif yang melatarbelakangi kebijakan Islamisasi tersebut. Dengan
menjawab dua persoalan pokok di atas, penelitian ini pada akhirnya
diharapkan akan mampu mengungkap dan memperjelas bagaimana sesungguhnya
status Islam yang dilekatkan kepada negara Malaysia.
Apakah program-program Islam yang digalakkan Mahathir membuat Malaysia
menjadi negara Islam, suatu maksud yang justru ditolak para pendiri awal
negara Malaysia?
D. Kerangka Teori
Isu
mengenai Negara Islam dan Islam politik selalu terkait dengan
perdebatan teoritik yang tidak pernah berkesudahan mengenai hubungan
Islam dan politik serta agama dan negara. Sepanjang sejarah politik
Islam, isu mengenai relasi agama-negara telah menyita begitu banyak
perhatian, tetapi tidak pernah berujung pada satu kesimpulan tunggal.
Hal ini bermuara paling tidak pada dua hal: [1] Apakah Islam
sungguh-sungguh memiliki konsep tentang negara?; dan [2] Bagaimana
bentuk negara menurut Islam? Dari sekian preseden sejarah, manakah yang
bisa disebut paling mewakili “negara Islam”: khilâfah universal model
dinasti Umayyah/Abbasiyah? Imperium Turki Utsmani? Saudi Arabia? Iran? Republik Islam Pakistan? atau Malaysia yang, di bawah tekanan PAS, diumumkan Mahathir sebagai Negara Islam serta UMNO sebagai partai Islam terbesar di Malaysia?[13]
Keragaman bentuk formasi politik dalam sejarah kekuasaan Islam
melahirkan pertanyaan fundamental: Apakah Islam memang benar-benar
memiliki konsep tentang negara? Kalau ada suatu konsep mengenai negara
Islam, mengapa terdapat aneka bentuk ekspresi dan manifestasi?
Dalam
menjawab persoalan penting ini, dalam khazanah pemikiran politik Islam
sekurang-kurangnya terdapat tiga paradigma dalam melihat relasi
agama-negara, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan
paradigma sekularistik.[14]
Bagi paradigma integralistik, agama (Islam) dan negara adalah sesuatu
yang manunggal dan tidak bisa dipisahkan. Islam dimengerti sebagai
sebuah totalitas: agama sekaligus negara (al-Islâm dîn wa dawlah).[15] Negara dan kekuasaan politik menyatu dalam rukun Islam, karena itu menegakkan khilâfah atau imâmah adalah wajib syar’i.
Kedaulatan dalam kekuasaan politik Islam berada di tangan Allah yang
menyatakan kekuasaannya melalui hukum-hukum/syari’at Islam. Bentuk
negara/pemerintahan Islam adalah teokrasi, sebuah kekuasaan politik
dengan mandat keagamaan. Pandangan ini dianut oleh kaum fundamentalis,
baik dari jalur sunni maupun syi’i. Dari jalur sunni, pandangan ini bisa
dilihat dari pemikiran Abu al-A’lâ al-Mawdûdi, dan dari jalur syi’i
bisa disimak dari pemikiran Ayâtullah Khomeini.[16]
Kelompok fundamentalis dari dua jalur ini sama-sama berpandangan bahwa khilâfah/imâmah adalah formasi politik yang didasarkan pada kanon ilahi yang dipimpin oleh seorang imâm/khalîfah yang
bertindak sekaligus sebagai penguasa politik dan agama. Perbedaannya
terletak dalam mekanisme pengangkatan khalifah. Dalam konsep syi’i, imâm
adalah seseorang yang memperoleh mandat kepemimpinan politik dan agama
melalui jalur keturunan Nabi. Hanya merekalah yang paling berhak
menggantikan nabi (khalîfah al-rasûl) dalam memegang kepemimpinan politik dan agama, karena sebagai pengganti Nabi, para imam ini memilik sifat ‘ismah (terhindar
dari kesalahan). Dalam perspektif syi’ah, negara yang didasarkan pada
legitimasi kegamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan ‘kedaulatan
Tuhan’ bersifat teokratis.[17]
Sementara dalam konsep sunni, seorang khalifah dipilih melalui mekanisme syûro dan bay’ah oleh ahl al-hall wa ‘aqd
yang mewakili aspirasi kaum Muslimin. Imam bisa dipilih dari siapa saja
yang dianggap cakap dan mampu. Karena itu, al-Mawdûdi menolak
penggunaan istilah teokrasi bagi sistem yang ditawarkannya, melainkan
teodemokrasi.[18]
Teodemokrasi mengisyaratkan sebuah pemerintah yang dituntun oleh
konstitusi Islam yang dijalankan oleh seorang pemimpin yang dipilih
secara demokratis oleh rakyat. Dalam pemerintahan Islam, menurut
Mawdudi, “the entire Muslim population runs the state in accordance with the Book of God and the practice of His Prophet”.[19]
Berbeda
dengan paradigma integralistik, paradigma simbiotik memandang agama dan
negara secara simbiotik, yakni berhubungan secara timbal balik dan
bersifat komplementer. Agama memerlukan negara, karena dengan negara
agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena
dengan agama negara dapat tumbuh dalam bimbingan etika dan moral.[20]
Pandangan simbiotik agama-negara dapat ditemukan dalam pemikiran
al-Mâwardi, seorang teoretikus politik sunni Abad Pertengahan.
Al-Mâwardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imâmah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (hirâsat al-dîn wa siyâsat al-dunyâ).[21]
Memelihara agama dan mengatur dunia merupakan dua aktivitas yang
berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua
dimensi dari misi kenabian. Sarjana lain, al-Ghazâli, menyatakan adanya
paralelisme antara misi nabi-nabi dan raja-raja. Keduanya diutus Tuhan
dengan satu tujuan, yaitu menegakkan kemaslahatan umat manusia. Dalam magnum opus-nya, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, al-Ghazâli menyatakan: “al-dîn wa al-mulk taw’amâni falâ yastaghnî ahaduhumâ ‘an al-âkhar” (agama dan kekuasaan ibarat dua saudara kembar yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan).[22]
Dalam skema pemikiran al-Ghazâli, Islam tidak harus menyatu secara
kelembagaan dengan negara, tetapi agama dan negara merupakan dua saudara
kembar yang lahir dari satu ibu.[23]
Jika
paradigma integralistik berada di kutub ektrem radikal, paradigma
ketiga, yaitu paradigma sekularistik, berada di titik ekstrem liberal.
Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik
agama-negara. Bagi paradigma sekularistik, agama dan negara adalah dua
wilayah yang terpisah. Agama merupakan sistem keyakinan yang bersumber
dari wahyu sementara negara adalah sistem sosial yang bersumber dari
akal dan pertimbangan rasional. Di barisan aliran ini, Ali Abdur Râziq
berdiri di garis depan. Menurut Râziq, Islam tidak memberi petunjuk
apapun tentang bentuk negara yang harus didirikan umat Islam, termasuk khilâfah. Baik Qur’an maupun Hadits tidak pernah menyebut khilâfah dalam pengertian sebagai sistem politik seperti ada dalam sejarah politik Islam. Manurut Râziq, khilâfah tidak mempunyai dasar, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits.[24]
Lebih jauh, Râziq mengatakan bahwa Muhammad adalah semata-mata seorang
rasul pemimpin agama, bukan pemimpin politik. Risalah yang dibawakannya
adalah risalah kenabian, bukan risalah kekuasaan. Komunitas yang
dibangun Nabi tidak lebih merupakan komunitas keagamaan dan bukan
komunitas politik seperti diduga banyak orang. Dengan pandangan ini,
Raziq sesungguhnya tidak bermaksud membuang arti penting kekuasaan
politik. Kekuasaan politik penting bagi Islam, tetapi tidak berarti
bahwa Islam menentukan bentuk spesifik negara atau pemerintahan.
Bentuk-bentuk kekuasaan tidak pernah ditentukan oleh Islam, tetapi oleh
rasio yang berkembang dalam sejarah dan disesuaikan dengan tuntutan
ruang dan waktu.[25]
Tiga
paradigma hubungan agama dan negara ini penting untuk melihat pandangan
para elit Melayu UMNO dalam mengembangkan perspektif mengenai hubungan
agama dan politik. Para pemimpin UMNO, seperti Mahathir, berpegang pada
pendapat bahwa agama dan politik tidak boleh dicampuradukkan.[26] Berbeda dengan PAS, Islam, menurut Mahathir, tidak menetapkan bentuk-bentuk pengaturan politik spesifik yang harus diikuti.[27] Kendatipun demikian, Islam bukannya tak punya urusan dengan kegiatan politik kenegaraan. Islam concern
terhadap dunia politik kenegaraan dalam prinsip umumnya, yaitu untuk
menegakkan keadilan dan kesejahteraan manusia. Dalam konsep Islam
Hadhari yang ditawarkan UMNO baru-baru ini, Islam dan negara dilihat
sebagai dua perkara yang berbeda. Negara dalam pengertian modern adalah
sebuah institusi yang dihasilkan dari berbagai unsur, yaitu rakyat,
pemerintah, wilayah dan pengakuan. Oleh karena itu, hubungan agama dan
negara adalah hubungan yang saling melengkapi. Islam Hadhari menolak
konsep Negara Teokrasi, dalam mana Islam sering menjadi alat untuk
mengesahkan negara.[28]
Menjadi jelas bahwa dari ketiga paradigma di atas, elit-elit Melayu
UMNO, seperti Mahathir, memahami hubungan agama dan negara dalam
kerangka simbiotik. Pandangan simbiotik ini sangat berpengaruh dalam
menentukan proses dan dinamika politik di Malaysia, termasuk dalam
keberhadapannya dengan PAS.
Studi-studi
tentang dinamika Islam dan politik di Malaysia telah ditulis oleh
beberapa sarjana. Satu karya yang layak disebut adalah buku Hussin
Mutalib, Islam and Ethnicity in Malay Politics (1990). Mutalib
menganalisis bagaimana dua kekuatan utama yang mendefinisikan identitas
Melayu—Islam dan nasionalisme etnis Melayu—bekerja membentuk sistem dan
konfigurasi politik di Malaysia
sejak pembentukannya pada 1963 hingga 1987. Dalam pengamatan Mutalib,
kaum Melayu tampak berada dalam tarikan dua gravitasi yang acap kali
berlawanan, meskipun keduanya terbukti tidak dapat dipisahkan, yaitu
Islam dan nasionalisme. Kedua kekuatan itu berurat-berakar dalam psike
Melayu dan menciptakan semacam ketegangan dialektis. Di satu pihak,
bangsa Melayu adalah sebuah masyarakat etnis yang terpisah, tetapi di
pihak lain mereka adalah anggota dari sebuah masyarakat universal, yaitu
masyarakat Islam (ummat) yang melintasi batas etnis-nasional.
Akibat
dari dialektika ini adalah terbentuknya sikap mendua, jika bukan
ambivalen, terhadap dua unsur pembentuk identitas Melayu yang saling
tergantung namun kadang saling bertentangan tersebut.[29] Ada
saat-saat di mana kaum Melayu tampak cenderung lebih dekat kepada
Islam, namun ada saat-saat lain di mana tarikan etnis menjadi terlalu
kuat untuk ditahan. Demikian pula, ada saat di mana dua kekuatan itu
bekerja sebagai instrumen perekat persatuan Melayu, namun di saat lain
keduanya menjadi kekuatan pemecah belah. Menurut Mutalib, pada titik di
mana dua kekuatan itu bergulat mempengaruhi pilihan sikap orang Melayu,
telah terbukti bahwa kekuatan etnislah yang lebih berpengaruh.[30]
Bahkan, ketika terjadi kecenderungan “Islamisasi” pemerintahan sejak
1980-an, tarikan etnis tetap mendominasi kerangka pikir elit yang
menduduki posisi tinggi di pemerintahan, meskipun pemerintah sendiri
secara resmi menunjukkan dukungannya terhadap Islam.[31]
Menurut Mutalib, jika sejarah UMNO (dan warga Melayu pada umumnya)
digunakan sebagai ukuran untuk meneropong aksi partai itu ke depan, maka
dapat diduga bahwa dialektika Melayu-Islam sekali lagi akan lebih
condong kepada etnis Melayu, kapanpun UMNO dan warga Melayu merasa
terancam oleh tuntutan dan tekanan dari warga non-Melayu.[32]
Kesimpulan Mutalib mengafirmasi apa yang telah ditandaskan hasil penelitian sebelumnya oleh Judith Nagata dalam The Reflowering of Malaysian Islam.
Menurut Nagata, kebangkitan Islam di Malaysia dewasa ini tidak pernah
mengakibatkan pengikisan sepenuhnya kemelayuan yang murni (pristine Malayness).[33]
Bahkan, menurut Nagata, maraknya gerakan dakwah yang berkembang sejak
dekade 70-an adalah manifestasi dari bersatunya warga Melayu untuk
melindungi kepentingan mereka dalam menghadapi warga non-Melayu.[34] Tesis utama yang dikembangkan Nagata adalah bahwa Kebangkitan Islam atau gerakan dakwah di Malaysia
mengkristal dari kebutuhan politik orang-orang Melayu untuk menyatakan
kembali identitas dan supremasi politik mereka. Nagata memandang Islam
sebagai alat bagi konsolidasi supremasi politik kaum Melayu. Dengan kata
lain, seperti dilansir Muzaffar, apa yang sesungguhnya terjadi adalah
membangun sarang etnis di sekitar dirinya tetapi merasionalisasikan dan
mengesahkannya atas nama Islam. Jadi, “etnic cocoon…protected by a veneer of religion”, kepompong etnis dilindungi oleh pernis agama.[35]
Gelombang
pasang Islam tidak identik dengan meningkatnya etos Islam sebagai agama
yang benar-benar vital dan hidup, tetapi lebih sebagai instrumen dan
alat kekuatan etnis Melayu dalam politik identitas di Malaysia.
Mungkin dapat dikatakan bahwa fenomena kebangkitan Islam sejak 1970-an
ternyata lebih merupakan kebangkitan sentimen keagamaan daripada
sentimen keislaman. Menurut Mutalib, menjadi jelas bahwa pengertian
Islam dalam konsep Melayu terbukti sudah sangat ternodai dengan unsur
‘Melayu’. Islam yang dianut oleh mayoritas warga Melayu pada umumnya
adalah penganutan Islam yang tanpa dibarengi dengan penghayatan atas
prinsip dan dimensi-dimensi universal kemanusiaan dan falsafi dari agama
itu.[36]
Mengenai
kebangkitan Islam di Malaysia yang dimotori oleh gerakan dakwah
mahasiswa, layak disebut kontribusi Zainah Anwar dalam bukunya Islamic Revivalism in Malaysia (1987). Menurut penelitian Zainah, gerakan dakwah tidaklah monolitik. Gerakan ini memantulkan tingkat iman, komitmen, dan gaya
hidup yang berjenjang-jenjang yang telah membawa pada persaingan dan
perpecahan di antara kelompok organisasi dakwah. Gelombang kebangkitan
Islam pertama yang dipelopori Anwar Ibrahim dan ABIM mengambil nada
moderat. Islam yang disiarkan ABIM mengakui dan menerima
kelemahan-kelemahan manusiawi di tingkat komitmen terhadap agama yang
berbeda-beda. ABIM tidak pernah secara garang mengumandangkan
pembentukan negara Islam. Ia yakin: Islamkan dulu ummat melalui jalan yang bertahap, moderat, dan progresif.[37]
Gelombang
dakwah kedua pada akhir tahun 1970-an mengambil belokan yang lebih
radikal. Gelombang ini dipicu oleh kembalinya ratusan mahasiswa Malaysia dari Inggris yang telah dipengaruhi corak Islam yang lebih fundamentalistik dari Ikhwanul Muslimin (Mesir) dan Jamaati-i- Islami (Pakistan).
Apa yang tadinya merupakan kekuasaan PKPIM dan ABIM yang moderat, kini
disaingi oleh kepercayaan lain yang lebih militan dari orang-orang yang
baru pulang ini. Mereka kini menjadi dosen-dosen muda di berbagai
universitas di seluruh negeri, termasuk Universiti Malaya, Universiti
Kebangsaan Malaysia, dan Universiti Teknologi Malaysia. Sebagian mereka
mengajar sains di sekolah-sekolah menengah setempat yang didirikan
pemerintah khusus untuk para siswa terbaik Melayu. Sebagian yang lain
menjadi profesional dan administrator di berbagai departemen pemerintah.
Sambil bekerja melayani kontrak pemerintah, mereka juga mulai
menyebarkan ajaran Islam, sebuah pendekatan fundamentalistik dan hitam
putih terhadap perjuangan Islam. Mereka seterusnya melahirkan generasi
yang lebih militan dari pengikut dakwah di kalangan siswa sekolah
menengah dan universitas sehingga akhirnya memudarkan pengaruh ABIM yang
moderat.[38]
Di
antara beberapa karya di atas, penelitian ini akan memusatkan fokus
telaah pada kebijakan-kebijakan Islamisasi pemerintahan dalam periode
kekuasaan Mahathir (1981-1999) berikut konteks politis dan sosial yang
melingkupinnya.
E. Metode Penelitian
Penelitian
ini adalah riset kualitatif yang berusaha memahami dan menafsirkan
makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi
tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.[39] Penelitian kualitatif mengutamakan penghayatan (verstehen)
subjek peneliti atas objek penelitiannya. Kekuatan penghayatan ini akan
menentukan hasil dari suatu analisis terhadap ‘dunia sosial’. Menurut
Giddens, analisis verstehen dipandang sebagai metode yang paling tepat diaplikasikan dalam ilmu-ilmu humaniora (human sciences) yang dilawankan dengan semacam metode observasi eksternal yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam (natural sciences).[40]
Penelitian kualitatif beranjak dari paradigma ilmu bahwa satu-satunya
kenyataan adalah kenyataan yang dikonstruksikan oleh individu yang
terlibat dalam penelitian.[41] Dalam
kaitan ini, apa yang terungkap sebagai kenyataan-kenyataan mengenai
Islamisasi politik Malaysia tidak lain adalah kenyataan yang
dikonstruksi dan dipahami penulis dengan segenap asumsi, keyakinan dan
penafsiran-penafsiran pribadi penulis yang bersifat subjektif.
Penelitian ini bersifat eksploratif inferensial yakni bertujuan untuk
menggali dan menemukan kesimpulan-kesimpulan umum yang ditarik secara
sistematis dari tema-tema khusus.
Penelitian
ini adalah riset pustaka yang akan mengolah data yang himpun dari
buku-buku, tulisan-tulisan (jurnal dan artikel) dan
pemberitaan-pemberitaan media yang berkaitan langsung dengan topik
penelitian ini. Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan analitis tematik. Kendatipun analisis atas
peristiwa-peristiwa dan isu-isu dalam setiap bab mengikuti suatu
kerangka kronologis, perhatian yang lebih luas ditempatkan pada
pengembangan tema-tema pokok yang berhubungan dengan alur sentral
penelitian ini, yaitu Islam dalam kebijakan pemerintahan Mahathir. Untuk
tujuan ini, akan ditempuh langkah-langkah metodis sebagai berikut.
Pertama, menginventarisasi dan menyeleksi berbagai program dan kebijakan
pemerintahan Mahathir yang berkaitan dengan Islam. Kedua,
mengevaluasi dan memberikan analisis kritis terhadap program dan
kebijakan tersebut dari perspektif teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini. Ketiga, melacak motif-motif dasar yang melatarbelakangi
munculnya kebijakan tersebut. Dan keempat, menarik benang merah dan
kesimpulan umum mengenai substansi kebijakan Islamisasi Malaysia di bawah pemerintahan Mahathir yang berlangsung sepanjang 1981-1999.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini diorganisasikan menurut alur penguraian sistematis dan kronologis dalam lima bab sebagai berikut:
Bab
I adalah bab pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab
II membahas konteks politis dan sosial Islam Malaysia yang mencakup
ulasan mengenai struktur sosial masyarakat Malaysia, kedudukan Islam
dalam konstitusi Malaysia, dan ulasan mengenai kebijakan Islam dalam
pemerintahan sebelum Mahathir
Bab III mengupas kebijakan pemerintah terhadap Islam dalam periode kekuasaan Mahathir 1981-1999.
Bab
IV menguraikan dinamika politik Malaysia berkaitan dengan politik
Yahudi Mahathir dan drama politik Anwar Ibrahim yang menandai salah satu
tonggak terpenting dalam sejarah politik di Malaysia.
Bab V adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran.1
BAB II
KONTEKS POLITIS DAN SOSIAL ISLAM MALAYSIA
A. Struktur Sosial Masyarakat Malaysia
Malaysia adalah negara dengan struktur masyarakat plural.[42] Penduduk Malaysia meliputi beragam warna kulit dan suku bangsa. Tiga etnis terbesar adalah Melayu, Cina dan India.
Di samping itu, terdapat banyak orang Pakistan, Sri Lanka dan
Bangladesh, serta beberapa penduduk pribumi yang banyak berdiam di Sabah
dan Serawak. Pemilahan etnis ini seringkali berjajar dengan pembelahan
ekonomi,[43] sehingga konflik yang bermotif ekonomi seringkali ditafsirkan sebagai konflik etnis daripada kelas.[44]
Kesenjangan ekonomi yang didukung oleh perbedaan latar belakang etnis
dan kultural potensial menjelma menjadi konflik rasial seperti pernah
meletus pada 13 Mei 1969. Untuk mengatasi problem kemajemukan, pemerintah berupaya mengadopsi beberapa prinsip demokrasi konsosiasional, khususnya pada periode 1955-1969.[45] Namun, fakta pluralitas tetap menjadi problem yang sensitif, sehingga meloncat pada kesimpulan bahwa Malaysia merupakan masyarakat plural yang harmonis dan sejahtera adalah ilusi.[46]
Dalam
struktur masyarakat Malaysia, Islam telah menjadi bagian yang menyatu
dalam identitas nasional, sejarah, dan kebudayaan Melayu. Akibat
kolonialisme Inggris, struktur demografis Melayu mengalami perubahan
dengan masuknya gelombang pendatang dari Cina dan India. Hal ini
menandai faset sejarah Malaysia sebagai negeri multirasial, multietnis,
dan multiagama. Ketika meraih kemerdekaan pada 1957, penduduk Malaysia
berjumlah 6.278.763. Dari jumlah itu, Melayu kurang lebih 50 persen,
Cina 37 persen, India sekitar 12 persen, dan suku lain 0,2 persen.[47] Pada sensus tahun 1970, perbandingan komposisi yang muncul adalah: 53: 35: 11.[48]
Pada akhir 1998, dari 21 juta penduduk Malaysia, 51 persen di antaranya
adalah Melayu, 27 persen Cina, 8 persen India dan 12 persen suku lain.
Dalam statistik terakhir, warga Melayu kurang lebih 60 persen, Cina 25
persen, dan India sekitar 7 hingga 10 persen dari total populasi
Malaysia.[49]
Pada
awal-awal kemerdekaan, Melayu sebagian besar merupakan masyarakat
pedalaman yang bekerja sebagai petani atau nelayan. Di kutub lain, meski
banyak juga yang bekerja di sektor pertanian, mayoritas etnis Cina dan
India bekerja di bidang ekonomi modern yang mencerminkan suatu pembagian
kelas. Orang-orang India banyak bekerja di perkebunan dan pemerintahan,
sementara Cina di pertambangan, industri dan perdagangan.[50]
Cina khususnya menguasai perdagangan skala kecil dan menengah.
Sementara Melayu dominan di birokrasi dan pertanian, non-Melayu
menguasai bidang perdagangan, profesi, dan perburuhan.
Kemajemukan etnis dan pemilahan komunal telah membentuk watak politik Malaysia yang bercorak perkauman.[51] Seorang penulis mengatakan bahwa hampir semua analisis politik di Malaysia berawal dan berakhir dari persoalan komunalisme.[52]
Seluruh isu-isu politik selalu dikaitkan dengan
pertimbangan-pertimbangan komunal, seperti kebijakan ekonomi,
pembangunan regional, bahasa, pendidikan, imigrasi, rekrutmen pegawai
negeri dan angkatan bersenjata, dan juga banyak hal lain.[53]
Politik dan partai-partai politik di Malaysia terutama diorganisir
searah dengan garis-garis etnis. Konflik kepentingan yang bernuansa
rasial dicoba mediasi oleh para elit politiknya dengan membentuk pakta
elit yang dinyatakan dalam pemerintahan koalisi. Dengan cara ini,
konflik komunal relatif bisa diredam, kecuali pada peristiwa tragis Mei
1969.
B. Islam dalam Konstitusi Malaysia
Konstitusi Malaysia
diambil dari Undang-undang Federasi Malaya yang disahkan pada Hari
Kemerdekaan 31 Agustus 1957. Konstitusi Federal adalah produk dari kerja
komisi konstitusi yang diketuai oleh Lord Reid, seorang anggota Lord of Appeal Inggris. Komisi Reid dibentuk sebagai hasil Perjanjian London (1956) antara pemerintah Inggris, konferensi Raja-raja Melayu, dan wakil-wakil dari partai politik utama Malaya.
Setelah melalui perundingan yang melibatkan tiga partai politik utama,
yaitu UMNO, MCA dan MIC, usulan-usulan Reid diterima oleh Dewan
Legislatif Federal (Federal Legislative Council) dan
diundangkan sebagai konstitusi baru negara. Ketika negara Malaysia
dibentuk pada 16 September 1963, Konstitusi Federal Malaysia tetap
dipertahankan tetapi dengan perubahan dan penyesuaian sehingga dapat
menampung masuknya Sabah dan Serawak.
Dalam
konstitusi Malaysia diatur dengan jelas mengenai agama Islam dan
kedudukan istimewa kaum Melayu. Pada Pasal 3 dikatakan: “Agama Islam
adalah agama persekutuan, tetapi agama lain boleh diamalkan dengan aman
dan damai di setiap bagian negera-negara Federasi” (Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practiced in peace and harmony in any part of Federation).[54] Menurut konstitusi, Islam adalah agama negara atau agama resmi Federasi Malaysia.[55] Meskipun demikian, konstitusi menjamin agama lain untuk dapat diamalkan dengan aman dan damai di seluruh wilayah dan kawasan Malaysia.
Pasal 11 ayat (1) mengukuhkan kebebasan beragama: “Setiap orang berhak
memeluk dan mengamalkan agamanya serta tunduk pada ayat (4) dalam upaya
menyebarkannya” (Every person has the right to profess and practise his religion and, subject to Clause (4) to propagate it).[56] Konstitusi Malaysia
menegaskan bahwa setiap orang bebas menganut dan mengamalkan agamanya
masing-masing, tetapi dalam pengembangannya harus tunduk pada ketentuan
undang-undang dasar. Pemerintah negara-negara bagian berhak mengawasi
atau melarang propaganda suatu agama atau kepercayaan lain terhadap
pemeluk agama Islam. Dengan kata lain, negara melindungi orang-orang
Islam dari propaganda agama atau kepercayaan lain di luar Islam.
Pemerintah berhak melarang usaha-usaha yang dapat merusak agama Islam
atau memurtadkan orang Islam.
Untuk
itu, konstitusi Pasal 3 (2) menyebutkan bahwa Raja dari suatu Negara
bagian adalah Ketua Agama Islam di negara bagian setempat. Negara bagian
yang tidak punya Raja seperti Pulau Pinang dan Melaka, kedudukan Ketua
Agama Islam dipegang oleh Yang di Pertuan Agong. Raja-raja di negara
bagian memiliki hak-hak khusus dan kedaulatan dalam hal yang berhubungan
dengan Agama Islam. Setiap hal mengenai agama Islam yang telah diputus
oleh Majelis Raja-raja berlaku untuk seluruh Malaysia. Ketentuan pasal ini memberikan kedudukan yang sangat penting kepada Yang di Pertuan Agong dan Raja-raja Melayu. Di
samping sebagai Kepala Negara, Yang di Pertua Agong dan Raja-raja
Melayu adalah penjaga Islam dan kepentingan orang-orang Melayu.
Ketentuan
yang mengistimewakan Islam terdapat juga pada Pasal 12 (2). Di situ
dikatakan bahwa tiap-tiap perkumpulan keagamaan berhak mendirikan dan
menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan untuk anak-anak serta untuk
menyelenggarakan pendidikan agama bagi perkumpulan itu sendiri. Tetapi,
adalah sah jika pemerintah Malaysia dan negara bagian memberikan bantuan keuangan yang khusus untuk keperluan pendidikan agama Islam.[57]
Jika
dianalisis secara utuh, pengistimewaan agama Islam sesungguhnya
berjajar dengan pengkhususan perlakuan terhadap Melayu. Pasal 160
menyatakan: “Melayu adalah seseorang yang menganut agama Islam, lazim
bertutur dalam bahasa Melayu, dan menganut adat istiadat dan kebiasaan
Melayu (Malay means person who professes the religion of Islam, habitually speaks the Malay language, conforms to Malay custom).[58]
Dari perspektif konstitusi, Melayu identik dengan Islam. Pemihakan
terhadap Melayu dianggap sama dengan pemihakan terhadap Islam. Pasal 89
konstitusi menegaskan bahwa tanah-tanah yang disediakan untuk orang
Melayu sejak sebelum Merdeka sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
maka tanah-tanah tersebut harus tetap disediakan untuk orang-orang
Melayu.[59]
Tanah-tanah untuk orang Melayu tidak boleh dipindahtangankan kepada
orang-orang non-Melayu. Dengan ketentuan tersebut, secara teoritis luas
tanah orang Melayu tidak akan berkurang dan tanah-tanah tersebut tidak
akan jatuh kepada orang-orang luar Melayu.
Pasal
153 (1) menyebutkan: “Adalah menjadi tanggung jawab Yang di Pertuan
Agong memelihara kedudukan istimewa orang Melayu dan pribumi Sabah dan Serawak serta kepentingan-kepentingan sah kelompok lain dengan mengikuti ketentuan ini”.[60]
Keistimewaan orang Melayu meliputi berbagai hal, seperti posisi dalam
pelayanan umum, beasiswa bantuan dan keistimewaan dalam pendidikan,
pelatihan-pelatihan, kemudahan dalam izin-izin perdagangan dan bisnis
serta lisensi-lisensi lain. Sesuai dengan konstitusi, Yang di Pertuan
Agong bertanggung jawab untuk memelihara, menjamin dan mempertahankan
hak-hak istimewa orang-orang Melayu dalam pelbagai bidang.[61]
Kendatipun
konstitusi secara eksplisit menyebut Islam sebagai agama negara, tetapi
sulit dibayangkan bahwa negara Islam atau pelaksanaan hukum hudud di Malaysia dapat diterapkan dengan dasar konstitusi yang ada sekarang.[62]
Sebab, seperti dijelaskan Perikatan, maksud dijadikannya Islam sebagai
agama resmi Federasi terutama adalah untuk maksud dan tujuan seremonial,
seperti dimungkinkannya pembacaan doa-doa menurut cara Islam pada
acara-acara resmi negara, seperti pelantikan Yang di-Pertuan Agong,
perayaan Hari Kemerdekaan dan semacamnya.[63] Meskipun Islam dijadikan agama negara, hal itu tidak sedikitpun mempengaruhi kedudukan Federasi sebagai negara sekular.[64]
Lebih jauh, penetapan Islam sebagai agama negara bukanlah untuk
mendaulatkan Islam, apalagi menegakkan hukum Islam, melainkan
semata-mata untuk mengekalkan ciri penting dalam Persekutuan 1895. Ciri
tersebut adalah bahwa kedaulatan Raja-raja Melayu diakui, tetapi Raja
harus mendengarkan nasihat Inggris dalam hal-hal kecuali menyangkut adat
dan agama Islam. Oleh karena itu, pencantuman Islam sebagai agama
Federasi semata-mata untuk memelihara hak Raja-raja Melayu, dan bukan
untuk mendirikan Negara Islam.[65] Seorang penulis menyimpulkan, kendatipun Islam adalah agama resmi Malaysia, “Malaysia is not an Islamic state”.[66]
C. Islam dalam Kebijakan Pemerintahan Sebelum Mahathir
Malaysia
sebelum 1980-an, dalam keseluruhan isi dan tujuannya, adalah negara
sekular seperti halnya negara-negara Muslim lain pada masa itu. Sejak
1981, ketika Mahathir tampil di pucuk pimpinan pemerintahan, terjadi
perubahan yang memberikan tempat lebih besar kepada Islam. Kendatipun
Islam tetap dipakai sebagai alat legitimasi oleh Mahathir dan UMNO,
Mahathir secara pribadi terlihat betul-betul ingin menerapkan nilai dan
prinsip-prinsip universal Islam dalam tata pemerintahan Malaysia.[67]
UMNO
sejak awal telah menjadi arena pertarungan antara mereka yang
berorientasi Islam dan sekular. Komitmen para pemimpin teras UMNO
sendiri kepada Islam sejak semula bersifat terbatas. Ini dibuktikan
dengan penolakannya yang menyeluruh terhadap apa yang diusulkan oleh
Kesatuan Melayu Singapura (Singapore Malay Union) bahwa UMNO seharusnya berjuang untuk berdirinya sebuah negara Islam.[68]
Para tokoh yang berorientasi Islam seperti Ahmad Fuad dan Syed Amin
Hadi serta Abdullah Pa’him dan Syed Nasir Ismail dari Biro Ulama UMNO
akhirnya memutuskan untuk memisah dan mendirikan partai tersendiri
dengan nama Hizbul Muslimin (HAMIM). HAMIM dibentuk pada 14 Maret
1948 dengan mengusung tiga tujuan utama: meraih kemerdekaan dari tangan
penjajah, membangun masyarakat berdasarkan Islam, dan membentuk Melayu
sebagai negara Islam (Darul Islam).[69]
Pendirian partai ini mengambil ilham dari gerakan Ikhwan al-Muslimin di
Mesir dan Masyumi di Indonesia. Usia partai ini pendek ketika
dibubarkan oleh pemerintah kolonial dan para tokohnya ditangkap menyusul
diumumkannya Pernyataan Darurat pada 18 Juni 1948.[70] Corak aspirasi dan artikulasi politik Hizbul Muslimin kelak menjelma kembali dalam PAS (Parti Islam Se-Malaysia).[71]
PAS didirikan pada 1951 oleh kaum ulama yang keluar dari UMNO dengan
alasan “kebijakan kompromisnya terhadap orang-orang non-Melayu dan juga
karena hal yang mereka anggap sebagai sikap ambivalen terhadap Islam”.[72]
Meskipun
komitmen UMNO terhadap Islam sejak semula bersifat terbatas, namun demi
mengamankan legitimasinya di mata kaum Muslim Melayu, atau karena
menyadari sifat integral Islam dalam identitas Melayu, UMNO memasukkan
Islam sebagai salah satu tujuan utamanya.[73] Ketika UMNO memenangkan kemerdekaan untuk Malaya
pada 31 Agustus 1957, Islam sesungguhnya tidak diberi peran utama dalam
pemerintahan negara. Ini bisa diukur dari seberapa jauh prinsip-prinsip
Islam termuat dalam Konstitusi. Konstitusi Merdeka,
karena mengakomodasi aspirasi Inggris mengenai pluralisme kewargaan,
tidak bisa menampung secara kesuluruhan prinsip-prinsip Islam. Ada empat argumen yang diketengahkan Mutalib untuk menopang hipotesis ini.[74] Pertama, tidak ada satu pun orang Muslim Malaya dalam keanggotaan Komisi Konstitusional yang dibentuk di London
di bawah kepemimpinan Lord Reid. Komisi pada awalnya juga tidak
merekomendasikan Islam sebagai agama Federasi; ketentuan ini baru
disisipkan belakangan sebagai respon atas tanggapan Komite Kerja yang
menuntut dimasukkannya klausul (Pasal 3 ayat 1), “Islam is the religion of the Federation; but other religions may be practised in peace and harmony in any part of the Federation”.
Kedua,
walaupun 130 delegasi berasal dari kelompok-kelompok dan
individu-individu, versi final konstitusi pada kenyataannya ditentukan
oleh tiga kelompok di dalam Komite Kerja, khususnya Perikatan, yang
terdiri dari anggota-anggota komponen pemerintahan di bawah kepemimpinan
UMNO. Kelompok-kelompok ini tidak dikenal karena kecenderungan
Islamnya; betapapun juga, hanya UMNO satu-satunya partai Muslim yang
bahkan kemudian ia menjadi lebih berorientasi nasionalis-etnis ketimbang
Islam. Orientasi nasionalis-sekular ini semakin nyata, sehingga
meskipun Islam dijadikan agama negara, itu tidak berarti bahwa negara
tidak bersifat sekular.[75]
Ketiga,
walaupun pada prinsipnya urusan-urusan Islam berada di bawah jurisdiksi
Sultan di masing-masing negara yang bersangkutan, Konstitusi memberikan
kekuasaan kepada parlemen Federal untuk mengesampingkan hukum-hukum
Islam yang diputuskan oleh negara-negara bagian.[76] Hukum Islam bahkan tidak secara jelas dimasukkan dalam definisi hukum menurut pasal 160 Konstitusi tersebut.[77] Keempat, ketentuan-ketentuan yang memberikan privelese kepada kaum Melayu (dan bumiputera lain
setelah 1963) bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang dalam
bidang hukum dan keadilan, mengecam setiap gagasan tentang diskriminasi
maupun perlakuan khusus. Islam mendorong keadilan dan persamaan di muka
hukum tanpa memandang asal-usul ras, keturunan maupun kedudukan.
Kendatipun
selepas kemerdekaan UMNO tampak mengakomodasi prinsip dan simbol-simbol
Islam (seperti dengan membangun Masjid Nasional yang pertama pada 1961
dan menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an), secara umum kebijakan
pemerintah menyangkut Islam hanya bersifat nominal dan simbolis,
terutama untuk menampakkan sikap pro Islam dalam politik guna membendung
pengaruh PAS yang secara eksplisit menjadikan Islam sebagai poros
perjuangannya.[78]
Sikap umum di kalangan para pemimpin UMNO tetaplah sekular dan
komunalistik. Tunku Abdul Rahman sendiri dalam berbagai kesempatan
secara terbuka mengungkapkan kekurangpercayaannya mengenai kemampuan
Islam dalam memecahkan masalah-masalah kenegaraan. Ia juga berkali-kali
mengungkapkan bahwa Malaysia bukanlah Negara Islam, karena pencapaian
masyarakat seperti ini hanya akan berakibat tersisihnya semua warga
bukan Melayu dari bumi Malaysia.[79]
Sebuah babak baru dalam kebijakan Islam di Malaysia terjadi menyusul meletusnya kerusuhan komunal pada 13 Mei 1969. Kerusuhan
yang menurut angka resmi pemerintah menelan korban 196 orang mati,
6.000 orang kehilangan rumah, dan 1.109 luka-luka telah menjadi tonggak
restrukturisasi politik di Malaysia.[80] Sebagai
buah dari kerusuhan 1969, sistem politik Malaysia dirombak ke arah yang
lebih otoritarian dengan diumumkannya keadaan darurat, ditangguhkannya
parlemen dan dialihkannya kekuasaan ke NOC (National Operation Council).
Peristiwa “Kamis kelabu” 1969 telah mendorong perubahan sikap para
pemimpin UMNO dari format tawar-menawar konsosiasional moderat kepada
sesuatu yang lebih bersifat kontrol hegemonik represif.[81]
Selepas kerusuhan, pemerintah menggalakkan restrukturisasi di bidang politik, ekonomi,
dan sosial. Dalam bidang politik, seraya menegakkan tertib politik
dengan kontrol represif, pemerintah menggalang persatuan dengan
membentuk koalisi Barisan Nasional yang menampung semua elemen politik
ke dalam pemerintahan. Selain itu, pemerintah membentuk
Departemen Persatuan Nasional pada Juli 1969 yang salah satu agenda
mendesaknya adalah merekomendasikan sebuah ideologi nasional baru yang
disebut dengan Rukunegara (Prinsip-prinsip Kebangsaan) yang
diumumkan secara resmi pada Agustus 1970 bersamaan dengan peringatan
kemerdekaan ke-13. Rukunegara terdiri dari lima prinsip dasar, yaitu
kepercayaan kepada Tuhan, kesetiaan kepada Raja dan Negara, keluhuran
Perlembagaan, kedaulatan Undang-Undang, dan kesopanan dan kesusilaan.[82]
Dalam bidang sosial ekonomi, pemerintah meluncurkan Kebijakan Ekonomi Baru (New Economic Policy)
yang dinyatakan bertujuan ganda. Pertama, “mengurangi dan pada akhirnya
menghapuskan kemiskinan dengan meningkatkan derajat pendapatan dan
memperbanyak peluang kerja bagi seluruh warga Malaysia tanpa memandang
asal-usul ras”; Kedua, “mempercepat proses restrukturisasi masyarakat
Malaysia untuk membenahi ketimpangan ekonomi dalam rangka mengurangi dan
seterusnya menghapuskan identifikasi ras dengan fungsi-fungsi ekonomi”.[83]
Target NEP ada dua. Pertama, peluang kerja di seluruh sektor ekonomi
dan di semua tingkat pekerjaan harus mencerminkan komposisi rasial pada
1990. Kedua, restrukturisasi kekayaan produktif sehingga pada 1990, kaum
Melayu dan pribumi lain memiliki dan menjalankan paling tidak 30 persen
dari semua total aset”.[84]
Pelaksanaan
NEP mencakup langkah-langkah diskriminatif yang menguntungkan Melayu.
Pemerintah memperluas badan-badan yang sudah ada dan membuat badan-badan
baru untuk membantu kaum Melayu dalam kegiatan usaha. Salah satu
sasaran NEP adalah menciptakan kelas pengusaha Melayu. Para pengusaha
Melayu diberi lisensi, kredit, dan kontrak-kontrak dari pemerintah.
Sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan keterlibatan Melayu di
sektor ekonomi modern, pemerintah memaksa perusahaan-perusahaan Cina dan
asing yang telah mapan untuk merestrukturisasi diri sedemikian rupa
sehingga paling tidak 30 persen sahamnya dimiliki kaum Melayu, baik
melalui agen-agen pemerintah yang bertindak atas nama Melayu maupun oleh
pengusaha Melayu perorangan. Perusahaan yang gagal merestrukturisasi
diri akan menemui kesulitan dalam pembaharuan izin usaha atau untuk memperoleh kontrak-kontrak dari pemerintah. [85]
Keinginan
mengangkat posisi Melayu juga digalakkan di sektor pendidikan. Pada
1972, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan nasional tertinggi
sepanjang sejarah. Orang Melayu yang masuk ke pendidikan tinggi
meningkat sebesar 65 persen pada 1975 yang berlangsung sejak 1970,
sementara bukan Melayu turun 35 persen dari 50 persen selama periode
yang sama. Pada 1975, dari total jumlah 14.254 yang masuk ke lima
universitas di Malaysia, proporsi etnisnya adalah: Melayu 57.2 persen,
Cina 36.6 persen, India 5.2 persen dan lain-lain 1 persen.[86]
Pemerintah juga mengirim anak-anak Melayu untuk belajar di berbagai
universitas di dunia. Di dalam negeri, sekolah-sekolah yang berbahasa
pengantar Inggris perlahan dikonversi ke medium bahasa Melayu, yang
dimulai di sekolah dasar pada 1970 dan sekolah menengah pada 1982. Pada
1970, Universiti Kebangsaan Malaysia didirikan dengan bahasa Melayu
sebagai satu-satunya bahasa pengantar.
Dukungan
pemerintah terhadap pendidikan melahirkan dampak yang tidak terduga,
yaitu meningkatnya kesadaran Islam di kalangan para pelajar Melayu di
kampus-kampus, di dalam maupun luar negeri. Pengekangan pemerintah
terhadap kegiatan politik di kampus menjelang kerusuhan 1969 tidak
memperhitungkan faktor Islam sebagai soal sensitif. Melalui Islam, para
mahasiswa Melayu mengekspresikan keresahan-keresahan mereka mengenai
berbagai hal berkenaan dengan nasib Melayu-Muslim. Di kampus-kampus,
Islam menjadi satu-satunya cara melalui mana kaum muda Melayu yang
kecewa menyalurkan diri.[87]
Adalah dari kampus-kampus Inggris para mahasiswa mulai mengecam
kebijakan-kebijakan pemerintah dan menuduh UMNO sebagai sekular, partai
nasionalis Melayu, dan karenanya tidak Islami.[88] Kerusuhan 1969 melebarkan mata kelas Melayu terdidik untuk melihat Islam sebagai alternatif pemecahan.
Kebijakan Ekonomi Baru menghasilkan akibat tak disengaja (unintended consequence)
berupa tumbuhnya lapisan kelas menengah terdidik yang memiliki
kesadaran dan komitmen besar kepada Islam. Para mahasiswa itu membahas
isu-isu mengenai Islam dan peristiwa-peristiwa dalam dunia Muslim
melalui berbagai cara, seperti membaca literatur-literatur Islam dalam
bahasa Inggris mengenai para pemimpin utama gerakan Islam seperti
Mawdudi, Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, dan Mutahhari; bertemu dengan
para sarjana Muslim internasional dan ulama setempat; menghadiri seminar
dan tempat-tempat pelatihan Islam; dan bahkan berpatisipasi dalam
demonstrasi yang diduga dilakukan oleh masyarakat Afghanistan, Iran,
Lebanon, dsb.[89]
Salah
satu eksemplar gerakan ini dapat dilihat dari pembentukan PKPIM
(Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Islam Malaysia) pada 1961. Setelah
meletus kerusuhan, para pemimpinnya memutuskan membentuk wadah yang
lebih luas, yang bisa menampung para aktivis, baik yang masih berstatus
sebagai mahasiswa maupun yang sudah lulus sebagai sarjana. Pada 1969,
dibentuklah ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) yang pendiriannya
diilhami oleh organisasi mahasiswa Muslim yag berpengaruh di Indonesia,
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). ABIM yang memiliki motto: “berjuang
menuju terbentuknya masyarakat yang didasarkan pada prinsip-prinsip
Islam, dan khususnya menampilkan Islam sebagai al-din”,[90]
baru resmi diakui pemerintah pada 1971. Sewaktu krisis minyak dan
perang Arab-Israel meletus pada 1973, yang ditandai oleh meningkatnya
solidaritas blok negara-negara Islam, keberadaan ABIM semakin diterima
oleh masyarakat Malaysia. Pada sekitar masa itu, pernyataannya untuk
menegakkan dan memperjuangkan terlaksananya tujuan-tujuan Islam, dan
juga untuk mewujudkan keadilan bagi setiap orang, mulai memperoleh
perhatian yang luar biasa, baik dari pemerintah maupun masyarakat,
sehingga reputasi gerakan ini semakin melambung baik di dalam negeri
maupun di kalangan organisasi-organisasi Islam internasional.[91]
Tampilnya
ABIM menjadikan pencarian identitas Melayu sedang mengambil penekanan
yang lebih besar kepada Islam. Pada saat Islam tengah gencar
dipromosikan oleh organisasi non-pemerintah, pemerintah (khususnya
UMNO), juga giat menggalakkan program pembangunan yang bernuansa Islam,
seperti membangun masjid-masjid, menyelenggarakan musabaqah tilawatil
Qur’an tingkat internasional, menyiarkan adzan melalui radio dan
televisi, dan menjelaskan profil umum yang diangkat oleh para pemimpin
Islam dalam berbagai festival-festival kegiatan Islam. Untuk menunjukkan
bahwa pemerintah bersungguh-sungguh mendukung Islam, pemerintah
mendirikan Pusat Penyelidikan Islam Malaysia (Islamic Research Centre of Malaysia) dan membuka Pusat Dakwah Islamiah berturut-turut pada 1971 dan 1974.[92]
Gencarnya
program Islamisasi pemerintah bisa dipahami melalui dua sudut pandang.
Pertama, hal itu bisa dimengerti sebagai bagian dari promosi segi lain
identitas Melayu, sebab keislaman dan kemelayuan sebagai identitas telah
berasosiasi begitu rapat. Pada warga Melayu, menguatnya kesadaran Islam
selalu diikuti dengan menguatnya sentimen perkauman, yang secara
normatif sebenarnya tidak kompatibel bagi tumbuhnya Islam sebagai agama rahmatan lil-‘âlamîn (mercy to mankind).[93]
Menguatnya Islam tidak selalu paralel dengan meningkatnya nilai-nilai
universal Islam yang non-parokial dan anti-rasial, tetapi justru
meningkatnya solidaritas komunal Melayu. Kebangkitan kesadaran Islam
merupakan bagian dari penguatan umum kesadaran komunal. Kendatipun
banyak juga orang India dan Cina yang Muslim, Islam telah menjadi rallying cry bagi orang-orang Melayu.[94] Dampak buruk dari hal ini adalah lemahnya persaudaraan agama (ukhuwah Islamiyyah): kaum Melayu enggan menerima warga Cina meski telah masuk Islam, suatu kenyataan yang diakui Tunku Abdul Rahman.[95] Asumsi
ini perkuat dengan kenyataan bahwa promosi atas Islam disertai dengan
menguatnya upaya-upaya pemerintah menggalakkan kebudayaan Melayu, dengan
alokasi anggaran yang tidak kalah besar.
Kedua,
Islamisasi pemerintah bisa dibaca sebagai upaya untuk mengecoh
kelompok-kelompok oposisi yang menjadikan Islam sebagai basis
perjuangannya. UMNO dan pemerintah tidak memiliki alternatif lain
kecuali menggunakan alat yang sama yang digunakan kelompok-kelompok
oposisi untuk mematahkan mereka. PM Tun Hussein Onn menyatakan bahwa
Islamisasi UMNO memang sangat terpacu oleh ancaman-ancaman yang
dilancarkan PAS kepada pemerintah: “You may wonder why we spend so much on Islam... [if we dont] Parti Islam will get at us”
(Anda mungkin bertanya-tanya mengapa kami begitu banyak mengeluarkan
uang untuk Islam...karena jika tidak, PAS akan mendapatkan kami. Partai
itu akan menuduh kami tidak agamis dan akibatnya rakyat akan kehilangan
kepercayaan.[96]
Semakin berhasil mobilisasi warga akan Islam, semakin perlu bagi rezim
yang berkuasa untuk kelihatan lebih Islami, yang berarti
kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus semakin bernuansa Islam. Dalam
suasana yang diliputi oleh kegairahan atas Islam, UMNO bisa kehilangan
legitimasi moralnya untuk memerintah jika terlihat bahwa ia kurang
Islami.[97]
Kendatipun
Islamisasi gencar digalakkan, beberapa pemimpin UMNO tetap memandang
bahwa Islam tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat
berbilang kaum dan bahwa di negara-negara Arab sendiri undang-undang
syariah tidak dipraktekkan.[98]
Kebijakan Islamisasi semacam inilah yang dikritik PAS sebagai sekadar
bersifat ‘kosmetik’, sepotong-sepotong, tidak saling terkait, dan tidak
benar-benar ditujukan untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam
pemerintahan.[99] Menurut mereka, Islamisasi yang diperlihatkan UMNO dan pemerintah hanyalah bersifat simbolis, nominal dan politis.
Demikianlah,
kebijakan Islamisasi Malaysia, kendatipun dinilai bersifat simbolis dan
politis, mulai menonjol pada masa kepemimpinan Tun Abdul Razak, dalam
mana Mahathir terlibat di dalamnya sebagai Menteri Pengajaran dan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Jelas Mahathir mempunyai peran
penting dalam mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan Islam, baik pada
masa pemerintahan Tun Abdul Razak (1971-1976) maupun Tun Hussein Onn
(1976-1981). Kecenderungan Mahathir kepada Islam semakin menguat ketika
dia mengambil alih pemerintahan dari Tun Hussein Onn yang mundur karena
kesehatannya yang memburuk.
BAB III
ISLAM DALAM KEBIJAKAN POLITIK MAHATHIR, 1981-1999
A. Program-program Islamisasi Mahathir
Kepemimpinan
Mahathir mununjukkan minat yang lebih besar dan substantif mengusung
Islam dalam berbagai program dan kebijakan pemerintah. Di bawah
Mahathir, dukungan pemerintah terhadap Islam di Malaysia berlangsung
lebih dari sekadar dukungan simbolis seperti pembangunan masjid-masjid,
penyelanggaraan kompetisi hafalan al-Qur’an, dan perayaan
upacara-upacara keislaman. Secara keseluruhan, perlindungan umum yang
dilakukan pemerintah Mahathir terhadap Islam menunjukkan bahwa Mahathir
telah menjadi seorang pendukung Islam yang berani, dan juga seorang
politisi yang sangat cerdik.[100]
Di
bawah pemerintahan Mahathir, meski secara tradisional terlihat
simbolis, perlakuan pemerintah terhadap agama memperoleh dimensi yang
lebih substantif. Ini dapat dilihat dari perhatian pemerintah yang besar
terhadap penelitian, perencanaan, dan pengadaan secara sistematis
program-program yang ditujukan untuk membekali rakyat Muslim dalam
menghadapi kehidupan modern yang lebih kompleks. Sejak memangku jabatan
puncak sebagai Perdana Menteri dan Presiden UMNO pada 1981, Mahathir
terus berupaya menyakinkan rakyat melalui kebijakan-kebijakannya bahwa
pemerintah dan UMNO bersungguh-sungguh mendukung prinsip-prinsip Islam.
Selama 20 tahun Mahathir terus berusaha untuk menyakinkan citra Islami
pemerintah, berupaya memadukan Islam dan kemelayuan, dan mengasosiasikan
Islam dengan pembangunan ekonomi.[101]
Dalam
kebijakan luar negeri, dengan naiknya Mahathir sebagai Perdana Menteri,
seluruh spektrum keterlibatan Malaysia dalam masalah-masalah
internasional mulai ditata kembali dengan memberikan perhatian lebih
banyak kepada dunia Muslim.[102]
Pemerintah memperkuat hubungan dengan negeri-negeri Muslim untuk
membiarkan rakyat tahu bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah telah diakui
oleh bangsa-bangsa Islam lain.[103]
Dalam kerangka politik internasional, telah banyak daya usaha yang
dicurahkan pemerintah untuk menata hubungan Malaysia dengan dunia Islam.
Untuk tujuan itu, Mahathir aktif memainkan penyelesaian perang
Iran-Iraq, dukungan terus menerus terhadap perjuangan Palestina,
menyetujui perayaan “Pekan Palestina” dan membentuk Tabung Rakyat
Palestina.[104]
Sejak
1981, pemerintah aktif menyeponsori berbagai konferensi internasional,
seminar dan eksposisi tahunan, yang mengupas isu dan problem-problem di dunia
Islam. Tema-tema yang dikaji menggarisbawahi agenda-agenda pemerintah.
Dalam dekade pertama Administrasi Mahathir, Kuala Lumpur menjadi tuan
rumah bagi banyak konferensi Islam internasional yang dilangsungkan
hampir setiap tahun, yang mengupas mengenai isu-isu seperti pendekatan
Islam terhadap Pembangunan Teknologi (1983), Peradaban Islam (1984),
Pemikiran Islam (1984), Simposium Islam Internasional (1986), Manajemen
Islam Kawasan Asia-Pasifik (1987), Ekonomi Islam (1987), Media Islam dan
Dunia Modern (1987) dan Islam dan Filsafat Islam (1989).[105]
Keterlibatan
Mahathir dalam program-program keislaman sesungguhnya telah dimulai
pada saat dia kembali ke panggung utama politik Malaysia. Ketika
ditunjuk sebagai Menteri Pendidikan pada 1974, Mahathir segera merombak
sistem pengajaran Islam yang dinilai kurang relevan dan kontekstual.
Mahathir membentuk Dewan Penasehat untuk Pendidikan Islam yang bertujuan
agar Islam diajarkan dalam cara yang relevan dengan kebutuhan
modernisasi warga Muslim Malaysia. Tindakan yang menjadi simbol paling
nyata pemihakan atas Islam adalah dibentuknya Pusat Islam Nasional pada
1974, sebuah pusat yang berfungsi untuk mengkoordinasi seluruh kegiatan
Islam di Malaysia. Pada tahun yang sama, Mahathir menyeru kepada para
intelektual Muslim untuk membantu mengislamisasi pengajaran ilmu
pengetahuan alam di sekolah-sekolah. Kementrian Mahathir juga
memberlakukan sistem standarisasi buku teks Islam terhadap keseluruhan
tingkat pendidikan, sampai tingkat pendidikan tinggi. Pada tahun
berikutnya, Kementrian Pendidikan menyetujui pengalokasian anggaran
senilai M$ 22 juta untuk memperbaiki pelaksanaan pelatihan guru Islam
dan untuk membentuk Yayasan Dakwah Islamiah. Pada 1977, terutama sebagai
tanggapan atas PAS, pemerintah menginstruksikan seluruh pegawai
perempuannya untuk berpakaian sopan.[106]
Sepanjang
1978, Unit Dakwah Islamiah, divisi dari Unit Propaganda Islam Radio dan
Televisi Malaysia, memproduksi 125 program-program keislaman per bulan,
menyiarkan azan lima kali sehari, siaran tafsir al-Qur’an, siaran
langsung khutbah jum’at dan perayaan hari-hari besar Islam, termasuk
juga berbagai serial diskusi-diskusi keislaman. Proses Islamisasi yang
digalakkan pemerintah Federal segera diikuti dengan penuh semangat oleh
pemerintah negara-negara bagian. Mereka saling berkompetisi menerapkan Islam untuk menunjukkan diri siapa yang lebih Islami.
Rencana
Malaysia Ketiga dan Keempat untuk periode pemerintahan 1976-1981 dan
1981-1986 semakin meneguhkan kesungguhan pemerintah dalam menyongsong
kebangkitan kembali Islam. Dalam penerapan Rencana Malaysia Kelima
(1986-1990), pemerintah menegaskan tidak akan mengabaikan nilai-nilai
Islam.[107]
Klausul ‘Islam tetap menjadi sumber kekuatan bagi bangsa Malaysia’
dalam Rencana Ketiga diwujudkan secara nyata dalam peningkatan anggaran
pemerintah dan dukungan moral pemerintah dalam bidang pengajaran Islam
di sekolah-sekolah, dan juga dalam pembangunan masjid-masjid serta
berbagai institusi Islam.[108] Dalam bidang pendidikan, pemerintah pada 1980 mendirikan Maktab Perguruan Islam (Islamic Teachers’s College)
yang menelan biaya M$ 22 juta, dari tempat mana murid-murid yang
berbakat akan dikirim ke Mesir, Pakistan, dan Indonesia untuk
melanjutkan studi.[109]
Setahun sebelumnya, pemerintah melalui Kabinet Panitia Pengkajian
Kurikulum Sekolah yang diketuai Mahathir memutuskan untuk menjadikan
pengetahuan agama Islam sebagai bahan ujian pada tingkat sijil pelajaran Malaysia dan studi-studi tentang agama dan moral (seperti peradaban Islam) ditetapkan sebagai pelajaran wajib bagi semua murid.[110]
Dalam berbagai kesempatan, Mahathir mengungkapkan pernyataan yang
selalu diulang-ulang sepanjang tahun 1980 bahwa pembangunan ekonomi
tidak bisa dilaksanakan dengan mengorbankan kemajuan spiritual.[111]
Setelah
menjabat sebagai PM, Mahathir semakin leluasa mempromosikan Islam.
Untuk memperjelas wajah Islamisasi pendidikan, Mahathir pada 1982
menerima rekomendasi untuk mendirikan Universitas Islam Antarbangsa.
Universitas ini dibangun guna menghasilkan para profesional Muslim yang
berkualitas di seluruh bidang pengetahuan. Bukan hanya dalam bidang
pendidikan dan pengajaran, Islamisasi juga dilakukan di sektor ekonomi.
Pada 1981, Mahathir menyeponsori upaya pengkajian terhadap berbagai segi
mengenai sistem ekonomi Islam untuk memastikan bahwa proyek-proyek
pembangunan pemerintah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.[112]
Setahun sebelumnya, Menteri Keuangan telah mulai membaharui sistem
ekonomi untuk disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, yang mencakup
prinsip ‘tidak ada bunga’ di dalam setiap transaksi keuangan.[113]
Gambaran mengenai penegakan cita-cita ekonomi Islam dituangkan dalam
pendirian Bank Islam pada 1982. Bank Islam yang beroperasi tanpa
memberlakukan bunga digambarkan oleh Menteri Keuangan sebagai ‘langkah
pertama’ usaha pemerintah untuk menumbuhkan secara berangsur-angsur
nilai-nilai Islam dalam sistem ekonomi dan keuangan negara menggantikan
sistem konvensional yang ada.[114]
Dalam
Perhimpungan Agung UMNO ke-38 pada September 1982, Mahathir kembali
menegaskan komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan nilai-nilai Islam di
Malaysia.[115] Mahathir menyatakan bahwa masalah besar yang kita
hadapi adalah berjuang mengubah sikap kaum Melayu agar sesuai dengan
tuntutan-tuntutan Islam di abad modern. Tugas UMNO adalah meningkatkan
amaliah Islam dan memastikan bahwa komunitas Melayu benar-benar
mengikuti ajaran Islam.[116] Pada 1984, Mahathir secara resmi mengumumkan niatnya untuk “mengislamkan jentera kerajaan”.[117]
Program
Islamisasi pemerintah telah memikat banyak orang, salah satunya Anwar
Ibrahim, Presiden ABIM. Anwar yang pernah berkampanye untuk PAS pada
pemilu 1978 berhasil dibujuk untuk bergabung dengan UMNO dan
pemerintahan serta menjadi kandidat UMNO dalam pemilu 1982. Konon, ada
tiga syarat yang diminta Mahathir kepada Anwar untuk dapat bergabung
dengan UMNO: (1) ABIM mencabut seluruh asosiasinya dengan PAS, termasuk
menggunakan tiket PAS untuk bertanding dalam pemilu; (2) membuang
pandangan bahwa NEP tidak Islami dan mendukung promosi hak-hak
Bumiputera; dan (3) tidak mengecam kebijakan pendidikan Melayu.[118]
Masuknya
Anwar telah mendorong Mahathir semakin berani melancarkan berbagai
kebijakan yang menunjukkan dukungannya terhadap Islam. Masuknya Anwar
juga telah menjadikan Islam sebagai faktor yang semakin terpandang dalam
identitas politik UMNO dan kaum Melayu. Anwar tentu memiliki pengaruh
penting dalam kebijakan-kebijakan Islamisasi pemerintah. Konon,
pendirian Bank Islam dan Universitas Islam Antarbangsa menyimpan peran
nyata Anwar Ibrahim. Seperti dicatat Nagata, pada kurun 1983-1984, Anwar
telah menjadi pembuka jalan bagi terciptanya kebijakan-kebijakan Islam
dalam pemerintahan.[119]
Beberapa kebijakan Islam, bahkan bukan Mahathir sendiri, melainkan
Anwar-lah yang diharuskan menyampaikannya. Beberapa kebijakan itu
mencakup pembangunan tempat permanen untuk Kamp Pemuda Islam
Internasional pada Sepetember 1982,[120]
relokasi klub-klub truf jauh dari pusat kota, keputusan untuk menolak
pembukaan rumah judi baru, pendirian Pegadaian Islam, Asuransi Islam (Syarikat Takaful), dan melarang warga Muslim menjadi pelanggan Casino Genting Highlands, satu-satunya kasino di negara itu.[121] Sejak
1982, Mahathir bersama Anwar mendorong proses Islamisasi internal UMNO
yang diwujudkan dengan banyaknya seminar dan pelatihan-pelatihan
keislaman yang diselenggarakan di seluruh jenjang pengakderan partai.
Untuk
memperkuat pembenaran terhadap berbagai inisiatif gerakan keislamannya,
pemerintah Mahathir semakin banyak merujukkan semua gerakannya dengan
sejarah Islam dan peran Islam dalam peradaban manusia masa silam. Dalam
kerangka itu, pada tahun 1982, pemerintah menetapkan studi tentang
budaya dan peradaban Islam sebagai pelajaran wajib di sekolah dan
universitas.[122]
Sampai
sejauh itu perlu ditegaskan bahwa Islamisasi pemerintahan yang
dilakukan Mahathir tidak berkorelasi dengan terhapusnya nasionalisme
dari wajah politik Malaysia. Proses Islamisasi yang dilakukan Mahathir
berjalan dalam satu tarikan nafas dengan proses pembangunan nasionalisme
Melayu. Islam, dalam pandangan Mahathir, adalah agama yang telah
menyatu dalam kebudayaan Melayu, sehingga kebudayaan nasional harus
berteraskan kebudayaan Melayu.[123]
Pernyataan ini menggenapkan asumsi bahwa penonjolan Islam tidak berarti
pengikisan nasionalisme Melayu, tetapi penguatan kedua-duanya atau yang
pertama menjadi sampul dari yang terakhir. Berbagai kebijakan Islam
yang dilakukan Mahathir karena itu tidak berorientasi kepada Islamisasi
negara dan formalisasi hukum-hukum Islam.
Mahathir, dalam suatu wawancara yang dilansir Harian Utusan Melayu
memperjelas maksud berbagai program kebijakan Islam yang ditempuhnya.
Mahathir mengartikan Islamisasi sebagai menanamkan nilai-nilai Islam di
dalam pemerintahan. Penekanan nilai semacam ini tidak sama artinya
dengan menerapkan hukum Islam dalam negara. Sebab, hukum Islam hanya
diperuntukkan bagi warga Muslim dan berlaku sebagai hukum pribadi
mereka. Menurut Mahathir, hukum sipil sejauh tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam, tetap bisa digunakan. Hukum Islam hanya bisa
diterapkan jika seluruh rakyat menyetujuinya. Hukum Islam tidak bisa
diterapkan secara paksa, sebab di dalam Islam, tidak dikenal pemaksaan.[124] Masyarakat multirasial Malaysia harus dibebaskan dari penerapan hukum-hukum Islam yang dipaksakan seperti itu.[125]
Mahathir memang berhati-hati menyatakan pemerintahannya bekerja
berdasarkan hukum-hukum Islam. Mahathir, dalam berbagai kesempatan,
lebih sering mengungkapkan bahwa pemerintahannya bekerja di bawah kaidah
dan nilai-nilai Islam.
B. Islam ‘Benar’—Islam ‘Salah’: Dilema Islamisasi Mahathir
Kebijakan
Islamisasi yang gencar digalakkan Mahathir sesungguhnya tidak lahir
semata-mata dari dorongan intrinsik pemerintah untuk mempromosikan
Islam, tetapi juga karena tekanan-tekanan politik eksternal, yaitu
serbuan gelombang revivalisme Islam dan meningkatnya tantangan PAS,
kekuatan oposisi utama yang mengibarkan bendera Islam. Sebagai respon
atas dua tantangan itu, pada 1980-an UMNO dan pemerintah mempromosikan
wacana ‘Islam yang benar’ (right Islam) untuk dikontraskan dengan praktek Islam yang salah (wrong Islam). Retorika tentang right Islam
dikaitkan dengan gagasan bahwa Islam adalah agama progresif yang
sejalan dengan upaya-upaya pemerintah untuk menggalakkan pembangunan dan
modernisasi. Visi tentang right Islam diringkas sebagai “a balanced, moderate and modernising force”
yang tidak menghalangi investasi asing; yang menerima bentuk-bentuk
tertentu Barat sekular; dan yang menaruh perhatian kepada realitas
politik dunia Islam kekinian dan dunia luar.[126]
Pemerintah
menuduh gerakan Islam yang menentang visi Islam pemerintah sebagai
penyeleweng, ekstremis, dan radikal. Label-label tersebut dikenakan
kepada mereka yang dianggap mengganggu kesatuan persepsi mengenai Islam
yang hendak digalang pemerintah, yaitu Islam yang kompatibel terhadap
agenda pembangunan dan modernisasi Malaysia. Program-program Islamisasi
pemerintah yang mulai gencar digalakkan pada akhir 1970-an tidak bisa
dilepaskan dari motif-motif yang bersifat politik. Mutalib menengarai
dua motif utama kebijakan Islamisasi pemerintah. Pertama, keinginan
untuk mengecoh PAS dan melihat seberapa jauh daya tarik PAS bagi bangsa
Melayu; dan kedua, keinginan untuk mengatur kegiatan-kegiatan Islam di
Malaysia agar tidak memperburuk stabilitas antaretnis.[127]
Motif pertama terungkap dari pernyataan terbuka pemerintah bahwa alasan
pokok bagi program Islamiahnya adalah untuk memukul PAS.[128]
Dalam atmosfer di mana kebangkitan Islam tengah dibicarakan secara
luas, termasuk di lingkungan elit-elit Melayu UMNO, adalah bunuh diri
politik jika pemerintah bersikap antagonistik terhadap Islam.[129]
Oleh karena arus kebangkitan Islam tidak dapat dibendung, maka
alternatif terbaik menghadapi tantangan kebangkitan Islam adalah dengan
melaksanakan banyak program Islamisasi. Dengan kata lain: “to challenge Islam with more Islam”.[130]
Motif
kedua terkait dengan kesadaran pemerintah mengenai potensi politik
Islam yang harus diatur dan dikendalikan agar tidak mengganggu
stabilitas hubungan perkauman. Dalam rangka itu, pemerintah yang
ditulangpunggungi UMNO menggelar dua jenis strategi; akomodasi—untuk
tidak mengatakan kooptasi—dan represi. Strategi pertama ditandai dengan
rekrutmen tokoh-tokoh organisasi Islam terkemuka ke kubu pemerintahan.
Rekrutmen Anwar Ibrahim ke dalam UMNO pada 1982 adalah contoh gemilang
keberhasilan UMNO memobilisasi citra sebagai partai yang memperjuangkan
Islam. Kedudukan Anwar dalam UMNO dilihat sebagai manifestasi
kesungguhan partai itu untuk menerapkan Islam dalam negara.[131]
Ketika
strategi akomodasi tidak menuai hasil, pemerintah mulai mengambil
langkah-langkah yang sifatnya menghukum guna mengekang meningkatnya
aktivitas dari kelompok-kelompok yang mereka
sebut sebagai ‘penyeleweng’, ‘radikal’, dan ‘ekstremis’. Hal ini
mencakup pemberlakuan Akta Hasutan (1970), Akta Keamanan Internal
(revisi 1972), dan Akta Kemasyarakatan (1981). Semua itu digunakan
pemerintah untuk mengancam, mengendalikan dan bahkan menjalankan
penentangan secara diam-diam terhadap PAS dan warga Muslim lain yang
berbeda pendapat dengan pemerintah.[132]
Pemerintah, melalui Akta Salah Ugama 1982, berupaya membatasi
penyebaran doktrin-doktrin yang dianggap menyimpang. Melalui Akta
tersebut, pemerintah melarang setiap warga Muslim berbicara tentang
ajaran-ajaran Islam yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Akta
tersebut juga melarang dibangunnya masjid atau surau tanpa persetujuan
pemerintah.[133]
Pemerintah
menjadikan Akta Keamanan Internal (ISA) sebagai senjata utama untuk
menangkap mereka yang dituduh mengancam stabilitas dan keamanan bangsa.
Pemerintah meningkatkan pemantauan atas gerakan-gerakan yang dianggap
berpotensi mengacaukan stabilitas rezim. Pada 1981, pemerintah
menengarai terdapat kurang lebih 40 gerakan dakwah di Malaysia. Salah
satu dari gerakan ini, yaitu Ahmadiyah yang berpusat di Pakistan,
dilarang pemerintah dan sejak 1982 status kemelayuan para anggotanya
dilucuti. Beberapa sekte tarekat, seperti Qadiani dan Muhammadiyah
Tariqah, juga dilarang.[134]
Pada 1985, Divisi Urusan Agama di kantor Perdana Menteri (yang disebut
dengan Pusat Islam) mengumumkan rencana pemerintah untuk memperluas Unit
Akidah dan Ajaran Sesat di bawah Pusat Penyelidikan Islam untuk
menyaring masuknya ajaran-ajaran ekstrem-militan di Malaysia. Pada 1996,
otoritas yang sama mengidentifikasi keberadaan 47 kelompok penyimpang,
14 di antaranya digambarkan sebagai aktif dan melibatkan 1.000 orang
pengikut.[135]
Beberapa
saat selepas meletus insiden Mamali 1985 yang menewaskan Ibrahim Libya,
pemerintah menerbitkan kertas putih yang mengungkap mengenai ancaman
ekstremisme agama di Malaysia. Menurut kertas putih itu, ada upaya-upaya
oleh kelompok ekstremis untuk mendirikan negara Islam dengan kekerasan.
Kelompok inilah yang menghasut kaum Melayu Muslim untuk membenci
pemerintah dan berupaya menggulingkan pemerintahan multirasial dan
menggantikannya dengan negara teokratis.[136]
Langkah
represif pemerintah lain adalah pembubaran Darul Arqam pada 1994.
Setahun kemudian, beberapa pemimpin dan pengikutnya ditangkap. Selepas
itu, pemerintah mengumumkan akan menganggarkan RM 40 juta untuk membina
dua buah Pusat Pemulihan Islam di bawah Rancangan Malaysia Ketujuh. Hal
ini menyusul dugaan pemerintah, seperti dinyatakan Menteri Hal-Ehwal
Islam di Jabatan Perdana Menteri, bahwa bilangan orang murtad dan
penyeleweng agama bertambah dalam tahun-tahun terakhir.[137] Setahun sebelumnya, pemerintah menolak pemberlakukan hukum hudud di negara
bagian Kelantan yang diperintah PAS. Dalam kaitan itu, Mahathir
menyatakan bahwa undang-undang Malaysia sudah sesuai dengan Islam, dan
dia menegaskan kembali nilai-nilai pluralisme dan toleransi, serta
memberikan peringatan terhadap bahaya ekstremisme agama.[138]
Pada
Juli 1995, Timbalan Menteri Penerangan mengumumkan bahwa “ISA akan
digunakan untuk menahan siapa saja yang mempromosikan fanatisme di
kalangan orang Islam”.[139]
Menyusul peringatan ini, beberapa pemimpin PAS, termasuk Menteri Besar
Kelantan Nik Abdul Aziz Nik Mat, dituduh menyebarkan paham fanatik di
kalangan pengikutnya. Sejak Pemilu 1999, ketika PAS muncul sebagai
ancaman kuat bagi pemerintahan koalisi, terdapat pernyataan yang
mengancam akan mengkriminalisasikan ‘ekstremisme agama’ PAS dengan
menggunakan Seksyen 298 Kanun Keseksaan. Rais Yatim, Menteri
Undang-undang di Jabatan Perdana Menteri dilaporkan sedang menimbang
untuk menggunakan Kanun Keseksaan kepada siapa saja yang mengancam
keamanan negara, yang mengajarkan kesetiaan yang membabi buta dan
kebencian terhadap pemimpin pemerintahan.[140] Pada Juni 2001, Menteri Hal-Ehwal Islam, Abdul Hamid Zainal Abidin
menjelaskan tentang kehadiran sekurang-kurangnya 17 kumpulan ajaran
Islam sesat. Banyak di antara mereka menentang pemerintah dan merupakan
ancaman terhadap keamanan negara.[141]
Pemerintah
juga menghukum kegiatan publikasi yang dianggap merugikan kepentingan
nasional. Jurnal dan terbitan yang kritis terhadap pemerintah, seperti Risalah (terbitan ABIM) dan Nadi Insan, dilarang terbit pada 1983.[142]
Pada 1999, ketua pengarah JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam) di bawah
jabatan Perdana Menteri melaporkan bahwa Kementrian Dalam Negeri telah
mengharamkan 195 buku dan risalah dalam bahasa Malaysia dan 80 buah
dalam bahasa Inggris yang kandungannya bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurutnya, JAKIM telah mengungkap 94 jenis ajaran menyimpang yang
disebarluaskan di seluruh negeri sejak awal publikasinya pada 1974.[143]
Dalam
beberapa hal, tuduhan tentang radikalisme agama dan militansi Islam
terkait dengan keragaman madzhab intra-agama. Islam yang dianut sebagian
besar Muslim Melayu adalah Islam sunni dengan madzhab Syafi’i,
sementara beberapa gerakan radikal ditengarai beraliran atau
sekurang-kurangnya dipengaruhi ajaran-ajaran Islam syi’ah. Selepas
revolusi Islam Iran, pemerintah Malaysia mencurigai gerakan-gerakan yang
berupaya mengekspor revolusi yang sama di Malaysia. Sejak saat itu,
sekurang-kurangnya setahun sekali terdapat pengumuman yang menyatakan
bahwa kerajaan sedang memantau dampak-dampak ajaran syi’ah yang
menyimpang di negara Malaysia. Meskipun sepenuhnya mengakui keislaman
syi’ah, pemerintah melancarkan aksi menentang penyebaran kepercayaan
semacam itu yang dinilai “tak sesuai” dengan konteks Malaysia.[144]
Dalam suatu kunjungannya ke Paris, Anwar Ibrahim mengatakan bahwa
Malaysia tidak akan pernah menggunakan Iran sebagai studi kasus
implementasi program-program Islamisasi pemerintahan.[145]
Untuk
membendung dampak revolusioner dari ajaran-ajaran militan syi’ah,
Direktur Pusat Islam mengumumkan niat pemerintah untuk merancang mosi di
parlemen guna mengamandemen Pasal (3) 1 Konstitusi Federal agar secara
secara resmi mengakui Ahlus Sunnah Waljama’ah sebagai paham resmi Islam
Malaysia dan melarang penyebaran aliran-aliran Islam lain.[146]
Beberapa
contoh kasus di atas menegaskan dilema Islamisasi pemerintahan
Mahathir. Kekhawatiran terhadap potensi eksplosif politik Islam di satu
sisi, dan dukungan resmi terhadap pengembangan Islam di sisi lain,
merefleksikan dinamika dan ketegangan hubungan agama dan negara.
Strategi pragmatis UMNO yang mengusung identitas ganda (Islam
nasionalis) telah menempatkan partai ini pada posisi yang secara politis
lebih diuntungkan daripada PAS. PAS yang sejak 1978 mengusung tema-tema
universalisme Islam dan mengabaikan nasionalisme Melayu telah menjadi
sasaran kecaman kaum Melayu. Penekanan PAS pada universalisme Islam
justru mendapat hukuman dari warga Melayu dengan kekalahan telaknya pada
Pemilu 1986. Dari 84 kursi parlemen yang diperebutkan, PAS hanya meraih
1 kursi, sementara sisa kursi lainnya diborong UMNO. Janji-janji PAS
dalam kampanye untuk menghapuskan hak-hak istimewa bumiputera telah
menuai kritik. Bahkan Anwar sendiri menuduh PAS sebagai partai yang
tidak lagi bisa dipercaya karena ternyata disiapkan untuk mengkhianati
warga Melayu dengan berniat membuang privelese dan hak-hak khusus
mereka.[147]
Islamisasi
oleh Mahathir dilakukan tidak lepas dari motif-motif yang bersifat
politik. Tidak bisa diingkari bahwa Mahathir, terlepas dari
simbol-simbol Islam yang diusungnya, sering digambarkan sebagai seorang
pemimpin modernis dengan pandangan-pandangan sekular.[148]
Mahathir adalah tokoh yang mampu secara cerdik menyatukan masa lampau
dan masa kini, mengakomodasi dan mengkooptasi Islam sebagai gerakan
politik, dan juga piawai memanfaatkan Islam dalam politik domestik,
regional, dan internasional. Di bawah Mahathir, program Islamisasi
pemerintah berkisar dari menggunakan simbol-simbol dan retorika Islam
hingga mendirikan lembaga-lembaga Islam. (Lihat tabel).
Para
pemimpin UMNO menggali Islam yang sesuai dengan kebutuhan modernisasi
dan pembangunan Malaysia. Para politisi UMNO menyamakan “nilai-nilai
Islam” dengan kerja keras, disiplin dan kemajuan, serta mengaitkan
program-program NEP dengan Islam. UMNO telah mendesakkan perlunya
mengembangkan masyarakat Muslim yang lebih modern dan kompetitif jika
Islam ingin maju pesat di tengah dunia modern. Menurut UMNO, jika Islam
ingin dipertahankan dan dikembangkan, kaum Muslim harus mampu bersaing
dengan orang-orang Cina dan India.[149]
Sementara
mempromosikan Islam, para tokoh UMNO di sisi lain mengecam model Islam
konservatif yang menghambat pembangunan di Malaysia. Menurut Mahathir,
kecenderungan Islam radikal yang menengok ke belakang dan obskurantis
yang berkembang pada 1970-an tidaklah mewakili semangat dan nilai baru
untuk memajukan bangsa Melayu.[150] Islam yang dibutuhkan Melayu adalah agama yang dapat mendorong pemeluknya mencapai keseimbangan dunia dan akhirat.[151] Mahathir yakin bahwa Islam adalah “agama yang pragmatis dan fleksibel” yang dapat menjadi dasar bagi setiap tindakan kita.[152]
Tabel 3.1
Kebijakan Islamisasi Pemerintahan Mahathir, 1978-1988
NO
|
Tahun
|
Kebijakan
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
|
1978
1979
1979
1979
1980
1980
1981-82
1981
1982
1982
1983
1983
1983
1984
1984
1988
1988
1988
|
Deklarasi pemerintah merevisi sistem hukum nasional agar lebih selaras dengan Hukum Islam.
Deklarasi pemerintah untuk mendirikan Pusat Penelitian Islam Asia Tenggara, senilai M$ 26 juta.
Pengetahuan agama Islam ditetapkan sebagai materi ujian di tingkat Sijil Pelajaran Malaysia.
Penetapan secara resmi Bulan Dakwah Nasional.
Deklarasi politik untuk menyusun kembali model sistem ekonomi Malaysia menjadi model Islam.
Pembangunan untuk pertama kali Sekolah Guru Islam yang menghabiskan biaya M$ 22 juta.
Pendirian
Bank Islam, Pegadaian Islam, Asuransi Islam, Yayasan Ekonomi Islam,
dan pembentukan Kelompok Sumber daya Islam serta Kelompok Khusus
Penegakan Islam.
Kenaikan yang mencolok jumlah program-program keislaman di dalam siaran radion dan televisi.
Pengadaan tempat yang permanen untuk Kamp Training Islam Internasional.
Anwar Ibrahim bergabung dengan UMNO dan pemerintah.
Penyeponsoran pemerintah terhadap Rumah Sakit Pusat Islam.
Penentangan terhadap para Sultan Kerajaan Malaysia.
Pendirian Universitas Islam Internasional.
Peningkatan kinerja ‘Pusat Islam’ yang merupakan pusat saraf dan birokrasi Islam.
Deklarasi resmi tentang ‘Islamisasi Tubuh Pemerintahan’.
Deklarasi bahwa ‘hanya Islam yang mendapat jatah waktu siaran radion dan TV Malaysia.
Status hakim dan pengadilan Islam disetarakan dengan rekanannya di pengadilan sipil.
Permulaan pelaksanaan program untuk membangun ‘Desa-desa Islam’ di kota-kota di sepanjang Malaysia.
|
Sumber: Hussin Mutalib (1996: 194)
Mahathir menegaskan: “Kalau kita pragmatis dalam cara kita bertindak, ini satu cara yang sesuai dengan kehendak Islam”.[153] Menurutnya, tidak ada tempat bagi teori dan praktek ekstremis di dalam Islam.[154] Islam menuntut pemeluknya untuk mandiri, independen, dan progresif.[155]
Menurut Mahathir, nilai-nilai Islam banyak yang relevan untuk menunjang
obsesi menjadikan Malaysia sebagai negara maju, seperti kepercayaan,
disiplin, loyalitas, ketekunan dan keuletan, ikatan yang rapat antara
sesama Muslim, keberanian yang muncul dari kejujuran, toleransi dan
sifat menenggang, keadilan, tobat dan rasa syukur, dan nilai-nilai bijak
lainnya.[156]
Pada
peringkat internasional, Mahathir tampil menjadi pembela Islam yang
lugas dan pengecam Barat yang keras. Di komunitas internasional,
Mahathir mengutuk tatanan dunia yang dikuasai secara tidak adil oleh
definisi Barat tentang demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara
menegaskan bahwa “demokrasi, dan hanya demokrasi yang sah dan dapat
diterima sekarang”, Mahathir juga dengan cepat mengajukan pertanyaan:
“Tetapi apakah hanya ada satu bentuk demokrasi atau hanya ada satu orang
ahli yang dapat menafsirkannya?”.[157]
Sementara menegaskan keinginannya, bahkan kebutuhannya akan demokrasi, Mahathir menolak penerimaan buta terhadap konsep atau
definisi “universal” mengenai demokrasi atau hak asasi yang
sesungguhnya merupakan produk Tata Dunia Lama yang didominasi oleh
kekuatan-kekuatan besar. Bagi Mahathir, demokrasi sejati harus
disesuaikan dengan budaya dan nilai masing-masing negara. Jika demokrasi
berarti hak untuk membawa senjata, mempertontonkan homoseksualitas,
mengabaikan lembaga perkawinan, mengganggu atau merusak kesejahteraan
komunitas atas nama hak asasi individu, menghancurkan suatu keyakinan,
menciptakan pranata-pranata dengan hak istimewa yang keramat sekalipun
mereka terus menerus dalam kebohongan dan memberi usulan-usulan yang
dapat meruntuhkan tatanan masyarakat, ekonomi dan hubungan
internasional, tidak bolehkan para pemula demokrasi menolak itu semua?
Pada intinya, Mahathir mengutuk apa yang dianggapnya sebagai kemunafikan
Barat yang tidak ragu-ragu mengesampingkan, demi kepentingan sendiri,
prinsip-prinsip utama hak asasi, demokrasi dan keadilan yang
dikhotbahkan ke mana-mana.
Bagi
Mahathir, sistem etika dan keadilan Barat yang bertumpu pada asas “yang
besar adalah yang benar” itulah yang menyebabkan terjadinya penindasan
negara-negara Muslim secara internasional: “Kini, negara-negara dan
ras-ras tertentu, seperti Serbia dan Yahudi, berani dan dapat menindas
dan meneror.. karena negara-negara Islam semunya lemah”.[158]
Dalam kerangkanya untuk menciptakan perimbangan kekuatan politik,
Mahathir menyerukan kerja sama Selatan-Selatan yang bertumpu pada apa
yang disebutnya sebagai “Asian Values”.[159]
Mahathir memuji masyarakat-masyarakat Asia, seperti Jepang, Korea, dan
orang-orang Cina di Singapura, Taiwan, dan Hongkong yang telah memadukan
nilai-nilai mereka ke dalam etika kerja dan profesi.
Mahathir berkeyakinan bahwa Malaysia,
dengan warisan Islam dan kemakmuran ekonominya, memiliki kesempatan
untuk menawarkan suatu model pembangunan terpadu yang khas Muslim.
Mahathir memang menggalakkan modernisasi dan industrialisasi, tetapi
bukan model sekular Barat. Penolakan Mahathir atas sekularisme Barat dan
tafsirnya atas Islam yang lebih holistik, telah melegakan sebagian kaum
Muslim, tetapi menimbulkan rasa was-was di kalangan non-Muslim (Cina, India,
Hindu, dan Kristen). Meskipun pemerintah terus menekankan pluralisme
dan tidak memaksakan suatu sistem tunggal, kelompok-kelompok minoritas
tetap khawatir mengenai implikasi kebijakan pemerintah menggalakkan
program Islamisasi.
Dengan
kebijakan-kebijakannya yang memihak Islam, Mahathir secara cerdik
melucuti klaim Islamis partai oposis PAS, namun pada saat yang sama
melawan citra konservatif dan anti-modern Islam dengan menggalakkan
pembangunan dan menampilkan potret Islam yang lebih moderat dan modern.
Pemerintah Mahathir mendefinisikan Islam, terutama Islam di Asia
Tenggara, sebagai peradaban progresif yang menekankan keberhasilan
materi dalam kehidupan di dunia dan kebahagiaan spritual di akhirat
kelak. Islam digambarkan sebagai sebuah keyakinan dan cara hidup yang
dapat menunjang modernisasi dan pembangunan; sebuah sistem nilai yang
mendorong dan mendukung pengembangan akal, sains, dan teknologi; dan
sebuah etika kerja yang kuat serta sebuah toleransi dan keselarasan ras
maupun agama.[160]
Sebagian
orang memandang bahwa Islamisasi yang dilakukan pemerintahan Mahathir
hanya kosmetik, yang sesungguhnya didorong oleh pertimbangan politis dan
pragmatis ketimbang keinginan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan
Islam sebagai din al-fitrah, pandangan hidup yang sempurna di atas pandangan hidup atau ideologi lain.[161]
Dalam banyak kasus, Islamisasi menjadi tidak lebih dari sekadar
pernyataan kembali aspek-aspek simbolik dan ritualistik yang tentunya
periferal dan tidak relevan bagi kebutuhan dunia modern. Islamisasi
telah justru menjadi sumber ketegangan, kekacauan, dan kebingungan dalam
komunitas Muslim, suatu keadaan yang lebih berakibat merusak ketimbang
membantu usaha-usaha untuk menghadirkan gambaran positif mengenai Islam.
Menurut seorang penulis, persepsi umum mengenai Malaysia sebagai bangsa
Muslim yang patut dicontoh oleh bangsa-bangsa Muslim lain, apapun
alasan pujian itu, merupakan akibat dari salah baca yang serius terhadap
situasi yang sebenarnya.[162]
Penilaian-penilaian
semacam ini menambah dilema Islamisasi Mahathir. Dilema lain terungkap
dalam konflik internal UMNO yang menghasilkan dua faksi, faksi Islam dan
nasionalis pada 1987. Dilema politik UMNO terletak pada tuduhan faksi
nasionalis bahwa kubu yang dianggap sebagai faksi Islam justru tengah
digoncang isu-isu korupsi dan skandal kekuasaan, yang dalam keseluruhan
isi dan bentuknya jelas bertentangan dengan Islam. Dalam kontes untuk
memperebutkan jabatan pimpinan partai pada 1987, faksi
Islam tergabung dalam Tim A yang diketuai Mahathir Mohamad. Di dalam
faksi ini terdapat nama-nama seperti Ghafar Baba, ‘pejabat’ Wakil
Perdana Menteri setelah Musa Hitam mengundurkan diri, dan Anwar Ibrahim,
Menteri Pendidikan yang juga menjabat sebagai Ketua Pemuda UMNO.
Sementara faksi nasionalis terkelompok dalam Tim B
yang dipimpin oleh Tengku Razaleigh. Turut bergabung dalam tim ini
mantan seteru utamanya dalam perebutan Timbalan Presiden UMNO, Musa
Hitam, dan Abdullah Badawi, Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Faksionalisasi
ini relevan diungkap sebagian karena statemen Anwar Ibrahim yang
menyatakan bahwa perebutan itu mencerminkan pertarungan antara mereka
yang lebih menginginkan ‘Islam’ dan mereka yang lebih menghendaki
‘nasionalisme Melayu’.[163]
Kelompok Mahathir digambarkan sebagai faksi yang menonjolkan Islam,
sementara kubu Razaleigh digambarkan sebagai faksi yang lebih
menginginkan nasionalisme Melayu. Kalau dikotomi itu benar, maka Islam
tampaknya berhasil mengungguli kubu nasionalis. Mahathir menang dari
Razaleigh dengan selisih suara tipis (761 lawan 718), sementara Ghafar
Baba mengalahkan Musa Hitam dengan selisih suara yang tidak terlalu
banyak (739 lawan 699). Hasil pemilu partai menunjukkan angka kemenangan
kubu Mahathir di berbagai pos jabatan seperti Naib Presiden UMNO dan
Majelis Tertinggi. Untuk jabatan Naib Presiden, dukungan terbanyak
dimenangkan oleh Wan Mokhtar dan Anwar Ibrahim (peringkat 1 dan 3),
sementara calon kubu Musa, Abdullah Badawi, menempati urutan kedua. Dari
25 posisi Majelis Tertinggi, 8 di antaranya dimenangkan kubu
Razaleigh-Musa, sementara yang lainnya dimenangkan kandidat-kandidat
Mahathir.[164]
Tipisnya
selisih angka kemenangan ini menunjukkan secara nyata bahwa pergumulan
antara aspirasi Islam dan kebangsaan dalam UMNO terjadi dalam
konstestasi yang begitu ketat. Kubu Mahathir menang tipis dengan meraih
51 persen, sementara rival politiknya meraih 48.6 persen. Mahathir
sendiri pernah mengatakan bahwa kepemimpinan partai baru efektif kalau
didukung sekurang-kurangnya oleh 55 persen suara.[165]
Kemenangan tipis ini membuat Mahathir bersikap polemis dan defensif
dengan menandaskan bahwa ia tetap akan menjabat Presiden dan Perdana
Menteri meski hanya unggul satu suara.[166]
Sejauh
itu haruslah ditegaskan bahwa faksionalisasi Islam-nasionalisme hanya
berada pada tataran simbolik, dalam pengertian sebagai merek dagang masing-masing
kubu. Sebab, mulai paruh kedua tahun 1985, pemerintahan Mahathir tengah
digoncang oleh berbagai isu dan pengungkapan skandal, seperti skandal
BMF, Maminco UMBC-Pernas yang melibatkan Daim Zainuddin, orang dekat
Mahathir, dan berbagai rumor tak sedap seputar proyek-proyek ‘gajah
putih’ yang menelan anggaran besar, seperti proyek Jembatan Pulau
Pinang, Proton Saga, Daya Bumi, Perwaja, dan Lebuhraya Utara-Selatan.
Mekanisme tender yang tidak jelas dalam proyek-proyek tersebut
ditengarai sarat dengan praktek kolusi dan nepotisme. Slogan ‘Bersih,
Cekap dan Amanah’ (BCA) memang sejalan dengan nilai-nilai Islam, namun
jika berbagai tuduhan korupsi dalam pemerintahan Mahathir benar adanya,
maka bukan hanya tak sesuai, tetapi ia jelas bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar Islam. Asumsi inilah yang dipakai oleh kubu
Razaleigh-Musa dalam menentang Mahathir dan menghendaki suksesi
kepemimpinan.
Kubu
Razaleigh-Musa yang dipersepsi sebagai nasionalis berdalih bahwa
parameter Islamisasi tidak bisa diukur dari semaraknya
institusi-institusi berlabel Islam, seperti Bank Islam, Takaful,
Universiti Islam Antarbangsa, dan penerapan ta’zir cambuk bagi penenggak
minum-minuman keras. Namun, yang lebih utama adalah penegakan
nilai-nilai Islam, seperti keadilan, kejujuran, keikhlasan, anti
penyelewengan dan korupsi, dan anti gila kekuasaan.[167]
Kubu Razaleigh-Musa lebih jauh menandaskan bahwa anggota UMNO yang
memperjuangkan nasionalisme Melayu tidak berarti membuang Islam, sebab
Melayu dan Islam tidak bisa saling dipisahkan.
Pemilu
partai akhirnya berbuah perpecahan yang berujung pada dijatuhkannya
vonis Mahkamah Tinggi pada 5 Februari 1988 bahwa UMNO adalah partai
ilegal, karena dibentuk berdasarkan muktamar (Perhimpunan Agung) yang
tidak sah dan karena itu pemilihan di semua peringkat partai dinyatakan
haram.[168]
Kubu Mahathir akhirnya membentuk UMNO Baru yang didaftarkan pada 13
Februari, yang dalam keseluruhan bentuk dan isinya hampir semuanya
mewarisi UMNO Lama. Di pihak lain, kubu Razaleigh membentuk Semangat
Melayu 46 (S46). Jika faksionalisasi Islam-nasionalis ini benar,
Mahathir secara politis ingin menunjukkan pemihakannya kepada kubu Islam
dengan cara menyingkirkan faksi nasionalis sekular dalam partai yang ia
pimpin.
BAB IV
MAHATHIR, YAHUDI, DAN DRAMA POLTIIK ANWAR IBRAHIM
Mahathir adalah pribadi yang terkenal dengan karakter lugas, blak-blakan,
dan kontroversial. Salah satu kontroversi yang melekat padanya adalah
kegemarannya menyerang Barat dengan kritik-kritik keras, terutama
terhadap Israel dan Yahudi. Mahathir menjadi pembela Islam yang lugas
dan penyerang Barat yang keras, sesuatu yang membuatnya sekaligus
dibenci dan dikagumi. Pernyataan-pernyataan keras Mahathir terhadap
Barat dan Israel tidak berdiri sendiri, melainkan satu paket dengan
obsesinya mempertahankan tempat Malaysia di dunia Islam. Itu tidak lain
karena pernyataan-pernyataannya seringkali diucapkan di forum-forum
Islam, baik yang berlingkup nasional maupun internasional. Pernyataan
keras Mahathir terhadap Yahudi membuatnya dituduh sebagai anti-semit
yang mengembangkan kebencian terhadap Yahudi. Ulasan berikut akan
menyoroti politik Yahudi Mahathir yang kerap memicu polemik
internasional.
A. Mahathir, Krisis Ekonomi, dan Yahudi
Ketika krisis menghantam Asia, gelembung ekonomi Malaysia
meletus secara dramatis. Ringgit jatuh 45 persen dari nilai tukar
sebelumnya terhadap dollar AS, stok pasar merosot 60 persen, dan
pertumbuhan ekonomi pada 1998 mencapai -7.5 persen.[169]
Setelah hampir satu dekade mengalami pertumbuhan tahunan sebesar 8
persen, keajaiban ekonomi Malaysia pupus, bersama negara-negara di Asia
Tenggara lainnya. Menyusul devaluasi baht Thai pada 2 Juli 1997, ringgit
Malaysia, peso Filipina, dan rupiah Indonesia bersama won Korea
terjun bebas. Pada akhir 1997, ringgit Malaysia terdepresiasi hampir 50
persen menjadi sekitar RM 4.80 per US dollar dari RM. 2.5 per US dollar
pada awal 1997. Pada saat yang sama, indeks harga saham gabungan di Kuala Lumpur Stock Exchange
(KLSE) jatuh di atas 500 poin dari 1.272 poin pada 25 Februari 1997,
turun 60 persen dari nilai rata-rata saham di papan utama KLSE hanya
dalam waktu sepuluh bulan. Hal ini masih dibarengi oleh jatuhnya secara
tajam harga real estate pada pertengahan 1997. Jatuhnya ringgit, pasar saham, dan real estate telah mewariskan kepada orang Malaysia, khususnya di lapisan kelas menengah baru, suatu kebingungan, kejutan, dan frustrasi.
Ketika
krisis menghantam, respon spontan Mahathir adalah menyerang para
spekulan asing. Di tengah popularitasnya yang terus merosot, Mahathir
melemparkan tuduhan bahwa goncangan finansial di Asia adalah akibat
konspirasi Yahudi.[170]
Pada 10 Oktober 1997, pada pawai 10.000 penduduk kampung Muslim di
Kuala Terengganu, Mahathir secara lantang menyerang spekulan uang
Yahudi, George Soros, sebagai agen yang merekayasa terjadinya krisis
moneter. Mahathir dikutip menyatakan:
“Kita
dapat menuduh bahwa mereka, orang-orang Yahudi, memiliki agenda, tetapi
kita tidak mau menuduh… kebetulan kita Muslim dan orang Yahudi tidak
suka melihat kemajuan orang Islam… Yahudi telah merampas hak orang-orang
Palestina, segala-galanya, tetapi mereka tidak bisa melakukan itu,
karenanya mereka menghancurkan ringgit”.[171]
Sembari mengutuk Soros, Mahathir melakukan intervensi dengan mengucurkan RM 60 milyar untuk menyelamatkan nilai ringgit.[172]
Sehari
kemudian Mahathir mengklarifikasi bahwa dia hanya bilang kebetulan
Soros orang Yahudi dan Malaysia negeri berpenduduk mayoritas Muslim.
Banyak yang percaya bahwa statemen anti-semitik Mahathir adalah bagian
dari upaya terencana untuk mengalihkan krisis kepada isu rasial. Seperti
dinyatakan Musa, teknik rasial semacam ini bukan barang baru dalam
politik Malaysia.
Mahathir sekali lagi mengulang strategi pengkambing-hitaman seperti
yang dilakukannya pada krisis UMNO 1987. Jika dulu Cina yang menjadi
target, kini Yahudi yang menjadi kambing hitam.[173]
Statemen
anti-semitik Mahathir mendapat reaksi keras internasional. Reaksi keras
ini, seperti yang diharapkan, justru dimanfaatkan Mahathir untuk
menggangsir dukungan dari dalam. Ada dua isu intervensi asing yang dipakai Mahathir untuk menggalang dukungan domestik. Pertama, ancaman dari US Department State untuk mendesakkan langkah-langkah penghukuman atas Malaysia karena aktivitas perusahaan minyak nasionalnya, Petronas, yang terlibat dalam investasi industri gas di Iran.
Kedua, draf resolusi yang dikeluarkan oleh tiga puluh empat anggota
kongres AS yang dipimpin Robert Wexler yang menyeru kepada Mahathir
untuk minta maaf atau mundur dari PM karena ucapan rasialisnya yang
bernada anti-semitik.[174]
Isu
intervensi justru telah membangkitkan sentimen nasionalisme domestik.
Seluruh elemen masyarakat, termasuk partai oposisi dan editorial surat
kabar, mengecam campur tangan asing terhadap urusan dalam negeri
Malaysia dan mengungkapkan dukungan penuh kepada Mahathir. Pawai publik,
plakard, dan stiker-stiker mobil semua menyatakan dukungan kepada
pemerintah. Anwar juga mengumumkan akan menggerakkan mosi percaya (motion of confidence) parlemen bersama 9 Menteri Besar dan 4 Menteri Ketua untuk mendukung kepemimpinan Mahathir.[175] Para pemimpin negara bagian menyatakan dukungan mutlak terhadap “all actions that had been or would be taken by Dr Mahathir in handling the country’s economic problems”.[176]
Sentimen
nasionalistik yang bangkit pada pertengahan Oktober menjadi peluang
bagi Mahathir untuk mengambil alih kembali kendali kepercayaan publik
yang sempat hilang pada periode-periode awal krisis. Sehari setelah mosi
percaya parlemen dikeluarkan, Mahathir membentuk National Economic Action Council (NEAC), badan yang mirip National Operations Council
yang dibentuk selepas krisis komunal 1969. Mahathir menunjuk Daim
Zainuddin, orang kepercayaannya, sebagai direktur eksekutif NEAC dan
menyatakan bahwa Daim-lah yang akan menjalankan kekuasaan penuh
menyangkut arah kebijakan lembaga itu.[177]
Pernyataan
anti-semitik lain dilontarkan Mahathir beberapa saat menjelang suksesi.
Dalam pidato yang disampaikan dalam acara pembukaan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) ke-10 Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Putrajaya,
Malaysia, 16 Oktober 2003, Mahathir mengulangi kegemaran lamanya
menyerang Yahudi. Dengan pernyataan itu Mahathir sebenarnya hendak
mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin Muslim yang lugas dan untuk
mempertahankan tempat Malaysia di dunia Islam. Kendatipun pernyataan itu
disampaikan dalam konteks menggugah umat Islam agar bangkit mengejar
ketertinggalam mereka di berbagai bidang, tak ayal pernyataan itu
dianggap anti-semitik. Mahathir mengatakan:
“Kita
sesungguhnya sangat kuat. Umat Islam yang berjumlah 1,3 miliar orang
(seharusnya) tidak bisa dengan mudah dikalahkan. Orang Eropa membunuh 6
dari 12 juta orang Yahudi. Akan tetapi kini orang Yahudi secara tak
langsung menguasai dunia. Mereka bisa membuat orang lain berperang dan
mati untuk mereka…Apakah benar kita tak perlu dan tak dapat melakukan
apa-apa bagi diri kita sendiri? Apakah benar 1,3 miliar orang (Islam)
tak memiliki kekuatan untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari
penghinaan dan penindasan yang dilakukan oleh musuh yang jumlahnya jauh
lebih kecil? Apakah mereka (umat Islam) hanya dapat membalas secara
membabi buta dengan kemarahan. Apakah tak ada jalan lain kecuali meminta
anak-anak muda kita untuk meledakkan dirinya sendiri dan membunuh orang
lain, tindakan yang hanya mengundang dilancarkannya pembantaian lebih
banyak lagi atas rakyat kita? Tak mungkin tak ada jalan. Kaum Muslim
yang berjumlah 1,3 miliar tak dapat dikalahkan oleh beberapa juta orang
Yahudi. Seharusnya ada jalan (bagi kita)”.[178]
Pernyataan
ini mengundang kecaman dari negara-negara Barat. Pernyataan Mahathir
dinilai bernada menghasut dan anti-Yahudi dan karena itu menghambat
upaya untuk memperdalam harmoni antaretnis dan agama. Mahathir dikecam
karena dianggap memprovokasi umat Islam untuk memerangi kaum Yahudi dan
akibatnya akan mengundang aksi-aksi terorisme. Lewat pemungutan suara di
Kongres AS dengan hasil 411 mendukung, 0 menentang dan 1 abstain,
dikeluarkan resolusi oleh Kongres AS yang intinya mengecam pernyataan
Mahathir yang dianggap provokatif dan tercela.[179]
Berbeda
dengan reaksi keras negara-negara Barat, para pemimpin negara-negara
anggota Organisasi Konferensi Islam menyatakan dukungannya terhadap
Mahathir. Mahathir sekali lagi mengukuhkan kepemimpinannya di panggung
dunia Islam. Sebelum turun dari kekuasaannya, Mahathir ingin tetap
dikenang sebagai pemimpin Islam dan membuat
Malaysia diperhitungkan sebagai contoh negeri Muslim yang membangun.
Kendatipun banyak dikecam karena pernyataannya, Mahathir
tak bergeming dan menyatakan bahwa reaksi dunia justru menunjukkan
bahwa Yahudi memang menguasai dunia. Sampai hari terakhir sebelum
meletakkan jabatan, Mahathir masih mengulang-ulang kontroversi ucapannya
mengenai Yahudi dan efektivitas demokrasi. Dengan
pernyataan-pernyataannya yang keras terhadap Israel, Mahathir
sesungguhnya tengah berupaya mengukuhkan tempat Malaysia di
dunia Islam. Seperti umum diketahui, isu Yahudi dan Israel adalah isu
sensitif yang memiliki “daya panggil” luar biasa di lingkungan negeri
berpenduduk Muslim.
B. Krisis Ekonomi dan Drama Politik Anwar Ibrahim
Anwar
Ibrahim adalah tokoh yang dipromosikan Mahathir Mohamad.
Keterlibatannya di pentas politik nasional adalah karena ajakan
Mahathir. Anwar sebelumnya merupakan tokoh organisasi Islam ABIM
(Angkatan Belia Islam Malaysia). Terpikat dengan kesungguhan Mahathir
mendukung Islam, Anwar setuju bergabung dengan UMNO dan pemerintah pada
1982. Dari segi chemistry politik keagamaan, ideologi keislaman Anwar sesungguhnya lebih dekat dengan PAS yang memang pernah dikampanyekannya dalam pemilu 1978.[180]
Oleh karena itu, ketika Anwar dipecat dari partai dan dibuang dari
pemerintahan, seorang analis mengatakan itu hanyalah soal waktu. Tujuh
tahun sebelum pemecatan Anwar, ia telah meramalkan bahwa Anwar tidak
mungkin bertahan lama dalam UMNO, karena idealisme Anwar dan UMNO jauh
berbeda. Anwar mempunyai cita-cita Islam yang berpegang pada Qur’an dan
Hadits, sedangkan UMNO adalah sebuah organisasi Melayu yang berlandaskan pada paham nasionalisme Barat sekular.[181] Pemecatan Anwar menandai perlucutan simbol ketokohan Islam dalam kepemimpinan UMNO dan pemerintahan.
Dalam
penggambaran media-media asing, perbedaan dalam kebijakan ekonomi
antara Mahathir dan Anwar Ibrahim, khususnya sejak pertengahan 1997,
adalah sumber keretakan yang berujung pada pemecatan Anwar pada
September 1998. Menurut Funston, pandangan Mahathir dan Anwar dalam
aspek-aspek domestik dan internasional krisis sesungguhnya tidak
seberapa berbeda seperti umumnya dipahami. Menurutnya, jika ada
kebijakan-kebijakan Anwar dalam suatu bentuk kebijakan tertentu, hal itu
tentu sekurang-kurangnya sudah mendapat persetujuan diam-diam Mahathir.[182]
Karena itu, adalah simplifikasi berlebihan melihat bahwa perpecahan
keduanya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan inheren dalam inti
kebijakan atau gaya kepemimpinan.
Beredar
banyak spekulasi mengenai sebab musabab keretakan hubungan
Mahathir-Anwar. Pada awalnya, Mahathir menyatakan pemecatannya adalah
karena perbuatan seksual yang tidak layak, termasuk hubungan dengan
pelacur dan sodomi. Anwar ditengarai merupakan ayah seorang anak dari
isteri sekretaris pribadinya. Mahathir mengklaim, pemecatan Anwar tidak
ada kaitannya dengan perbedaan dalam hal kebijakan ekonomi dan oposisi
atas kepemimpinannya.[183]
Di
tengah proses pengadilan, tuduhannya bergeser: tidak lagi karena
perilaku seksual yang menyimpang, tetapi karena intervensi Anwar dalam
proses pengusutan polisi. Ini membangkitkan persepsi publik bahwa
sesungguhnya isu moralitas bukanlah alasan sesungguhnya kejatuhan Anwar.[184]
Dilaporkan bahwa Mahathir sempat beberapa kali menawari Anwar untuk
mundur atau menghadapi serangkaian tuduhan-tuduhan seksual yang akan
diungkap ke publik, tetapi Anwar menolaknya. Krisis ekonomi yang
menghantam Malaysia,
dan perbedaan dalam strategi pemulihan ekonomi, hanyalah salah satu
faktor yang menyumbang perpecahan kepemimpinan Mahathir-Anwar.
Anwar
adalah anak asuh yang disokong Mahathir secara diam-diam dalam kontes
untuk memperebutkan jabatan Timbalan Presiden UMNO melawan Ghafar Baba.
Ketika Anwar mengumumkan kesediaannya bertanding melawan Ghafar,
Mahathir menyatakan netral. Netralitas Mahathir meratakan jalan
kemenangan Anwar. Tradisi no-contest untuk dua posisi
tertinggi tidak disinggung-singgung Mahathir. Setelah memenangkan
pemilihan, Mahathir diam-diam mewaspadai popularitas Anwar yang terus
menanjak.
Persaingan
Mahathir-Anwar sesungguhnya telah bermula selepas pemilu 1995. Anwar
mulai membangun kekuatan untuk mengimbangi dominasi politik Mahathir.
Beberapa manuver politik Mahathir untuk mengukuhkan kekuasaannya
mendapat perlawanan dari Anwar dan kubunya. Persaingan ini mulai
terlihat dari pernyataan prerogatif Mahathir untuk menyusun pos-pos
kabinet. Orang-orang Anwar ditaruh di pos-pos kementrian yang tidak
terlalu penting atau di pos yang bisa langsung diawasi Mahathir. Anwar
melihat, perombakan kabinet pada 1995 menandai upaya Mahathir untuk
menghalangi kesempatan dirinya membangun basis kekuatan di pemerintahan,
sekalipun popularitasnya tengah meroket di partai. Mahathir telah
belajar dari kasus Musa tentang betapa berbahayanya memberikan begitu
banyak pos-pos tertinggi pemerintahan kepada pihak pesaing.
Pemilu
partai tingkat bahagian pada 1995 adalah wujud dari pertarungan
langsung Mahathir-Anwar. Meskipun didukung Mahathir, orang-orang dekat
Mahathir seperti Daim Zainuddin, Sanusi Junid, Ghafar Baba, dan Rahim
Tamby Chik menghadapi kesulitan untuk memenangkan jabatan ketua. Bahkan
Sanusi Juned kalah di Kedah, kampung halaman Mahathir. Hasil pemilu
bahagian mencerminkan bahwa Mahathir mulai kehilangan cengkeraman
hegemoninya di partai. Dalam konteks inilah orang melihat Anwar sebagai
penantang yang paling mungkin dalam pemilu tiga tahunan yang dijadwalkan
digelar pada Oktober 1996.
Oposisi
terhadap Mahathir kembali muncul ketika 22 dari 25 anggota Majelis UMNO
Kedah menandatangani memorandum yang menyatakan menolak manuver
Mahathir mengganti Menteri Besar Kedah ‘orangnya’ Anwar, Osman Aroff,
dengan Sanusi Juned, loyalis Mahathir rival politik Anwar. Pada Mei
1996, Osman akhirnya mengundurkan diri karena tekanan Mahathir dan
menunjuk Sanusi sebagai penggantinya. Banyak orang melihat bahwa
pertarungan Osman Aroff dan Sanusi Junid adalah kepanjangan dari
persaingan Mahathir-Anwar.[185]
Jelas bahwa popularitas Anwar yang terus menanjak, khususnya setelah
pemilu 1995, telah menjadi ancaman politik yang nyata terhadap dominasi
kekuasaan Mahathir.
Meskipun
persaingan kekuasaan semakin menajam, Anwar pada pertengahan 1997 masih
ditunjuk sebagai pejabat PM ketika Mahathir cuti dua bulan keluar
negeri. Performa Anwar selama dua bulan membuktikan bahwa dia adalah
pemimpin yang mampu dan cakap. Selama menjabat sebagai pejabat PM, Anwar
meluncurkan program nasional: ‘the all-out war against corruption’, kampanye yang mencemaskan lawan-lawan politiknya. Anwar dalam rangka itu mengajukan Anti-Corruption Bill 1997.
Pada pertengahan 1997, Malaysia dihantam krisis ekonomi. Krisis menjadi entry-point
bagi kubu lawan Anwar untuk menghabisi reputasinya. Ketika krisis
menghantam, rumor mengenai perilaku seksual Anwar yang beredar di
internal UMNO dan semula tidak digubris Mahathir, kini justru diungkap
Mahathir di hadapan publik nasional. Buku “50 Dalil: Mengapa Anwar tidak
Boleh Jadi PM” beredar luas di publik, bukan hanya di lingkungan UMNO. Leaflet
setebal 50 halaman itu berisi tuduhan korupsi, perzinaan, perilaku seks
menyimpang, keterlibatan dalam upaya pembunuhan dan bekerja kepada
skenario asing. Leaflet ini dipakai Mahathir sebagai alasan untuk menyingkirkan Anwar.
Hubungan
Mahathir-Anwar semakin memburuk dengan keengganan Anwar menalangi
beberapa perusahaan yang terkait dengan bisnis anak dan kroni Mahathir,
seperti KPB Mirzan, anak sulung Mahathir, Bakun Dam Project, dan Renong.
Anwar percaya bahwa dirinya hanyalah korban dari konspirasi politik
tingkat tinggi yang dirancang untuk menamatkan karir politiknya ke
depan, konspirasi yang telah berlangsung selama satu tahun sebelum
kejatuhannya. Kolega-kolega Anwar yakin bahwa kroni-kroni Mahathir,
khususnya Daim Zainuddin, telah memprakarsai seluruh proses
pendestruksian Anwar untuk melindungi kepentingan-kepentingan
ekonomi-politik mereka yang terancam oleh kehadiran Anwar.[186]
Mereka inilah yang membisiki Mahathir bahwa Anwar akan menggunakan
krisis ekonomi sebagai alat untuk mendesakkan suksesi politik
menggantikannya pada pemilu partai 1999.
Dalam
pandangan Mahathir, serangkaian perkembangan sejak Juli 1997: perbedaan
dalam menyelesaikan krisis ekonomi, kritik media yang meluas terhadap
kepemimpinan dirinya, dan keengganan Anwar untuk membail-out
bisnis anak dan kroninya merupakan indikasi yang nyata dari suatu
gerakan untuk menyingkirkan Mahathir dari panggung kepemimpinan politik
nasional.[187]
Secara khusus, keengganan Anwar menyelamatkan bisnis KPB anaknya,
Mirzan, telah cukup menyakinkan Mahathir bahwa Anwar tidak siap untuk
melindungi kepentingan keluarga dan kroninya jika ia kelak lengser dari
kursi PM. Kerja sama Anwar dengan IMF memperkuat kecurigaan Mahathir
mengenai skenario untuk menyingkirkan dirinya. Jelas bahwa Anwar adalah
salah satu figur yang diharapkan Barat untuk dapat mereformasi pasar
bebas di Malaysia.[188]
Di
tengah kemelut ekonomi, pada Maret 1998, UMNO menggelar pemilu di 165
bahagian. Pemilu ini digelar untuk memilih 11 delegasi dari
masing-masing bahagian yang akan memilih anggota Majelis Tertinggi pada
Perhimpunan Agung UMNO yang dijadwalkan digelar pada pertengahan 1999.
Meskipun pemilu ini besifat lokal, ia dianggap sebagai batu uji untuk
menjajaki perimbangan kekuatan Mahathir-Anwar. Dikabarkan bahwa sayap
Pemuda dan Wanita UMNO, yang masing-masing diketuai Zahid Hamidi dan
Siti Zaharah Sulaiman, adalah sayap solid kubu Anwar.
Untuk menjaga status-quo, Mahathir mengeluarkan anjuran dan bahkan perintah no-contest untuk mencegah kubu Anwar bertanding melawan the incumbent memperebutkan kepemimpinan.[189] Hasil dari pemilu bahagian menunjukkan bertahannya status-quo,
khususnya untuk pos-pos ketua bahagian. Hanya ada 24 ketua bahagian
baru dari 165 bahagian. Dengan kata lain, lebih dari 80 persen the incumbent bertahan dalam pemilihan. Di Perlis, Perak, Pahang, dan Terengganu, 100 persen dimenangkan kubu status quo. Yang menarik, 60 persen pos ketua pemuda adalah wajah baru, suatu hal yang menunjukkan kekuatan Anwar.[190]
Ketika hubungan Mahathir-Anwar semakin menegang, faktor eksternal lain turut mempengaruhi suhu hubungan, yaitu situasi politik yang eksplosif di Indonesia pada Mei 1998. Hal ini menimbulkan suasana paranoia
pada diri Mahathir. Persepsi publik yang memburuk tentang Mahathir
turut memperdalam rasa was-was. Suatu survei informal di internet pada
pertengahan 1998 menunjukkan bahwa hanya 16.7 persen responden yang
percaya Mahathir dapat mengatasi krisis, sementara 64.6 persen percaya
Anwar-lah yang terbaik memimpin Malaysia keluar dari krisis.[191]
Bagi Mahathir, adopsi retorika reformasi dan kampanye anti-KKN
(korupsi, kronisme, dan nepotisme) oleh Anwar dan pendukungnya tidak
lain memperjuangkan target yang sama seperti di Indonesia, yaitu
mengganti kepala pemerintahan.
Langkah-langkah untuk melucuti kekuatan Anwar segera dilakukan Mahathir. Di samping menunjuk Daim sebagai direktur eksekutif National Economic Action Council
(NEAC) yang jelas mengurangi kewenangan Anwar sebagai Menkeu, dua
minggu kemudian Mahathir mendesak mundur dua orang dekat Anwar, Johan
Jaaffar dan Ahmad Nazri Abdullah, dari jabatannya sebagai kepala editor
dua surat kabar Melayu terbesar, Utusan Melayu dan Berita Harian. Hal ini diikuti dengan pengunduran diri direktur umum TV3, jaringan televisi swasta Malaysia terbesar. Tiga posisi ini kemudian diisi oleh figur-figur pro-Mahathir.[192]
Setelah
itu, Gubernur dan Deputi Gubernur Bank Negara, Ahmad Mohd Don dan Fong
Weng Phak, yang dekat dengan Anwar, dipecat dari masing-masing
jabatannya karena berbeda dengan pemerintah dalam manajemen ekonomi.[193]
Mundurnya mereka, yang segera diikuti dengan kontrol atas mata uang,
menandai kekalahan Anwar. Puncaknya adalah dipecatnya Anwar dari
jabatannya, dibuang dari partai, ditahan di bawah ISA, dan diadili pada
September 1998. Anwar dipecat sebagai deputi PM dan Menkeu pada 2
September 1998, sehari setelah Mahathir mengeluarkan kebijakan
kontroversial mematok nilai mata uang ringgit.
Pemberhentian
Anwar didukung oleh seluruh anggota Majelis Tertinggi, Menteri Besar,
Menteri Kabinet, Deputi Menteri Sekretaris Parlemen, dan ketua-ketua
bahagian UMNO. Mahathir segera menekan kelompok
pendukung Anwar. Dilaporkan bahwa rata-rata 4 dari 11 delegasi bahagian
UMNO dipecat atau berada dalam tekanan karena mendukung Anwar dan
gerakan reformasi. Beberapa hari sebelumnya,
serangkaian penahanan atas sekutu-sekutu Anwar dilakukan. Pada 6
September 1998, Sukma Darmawan, saudara angkat Anwar ditahan atas
tuduhan terlibat dalam aksi sodomi bersama Anwar. Pada 14 September,
Munawar Anis, penulis pidato Anwar ditahan di bawah ISA atas tuduhan
yang sama. Pada hari yang sama, sekretaris pribadi Anwar di kementerian
keuangan, Mohamad Ahmad, ditahan di bawah seksi 117 Kode Penal. Pada 15
September, bekas sekretaris pribadi Anwar lainnya, Mohamad Azmin Ali,
juga ditangkap di bawah seksi 117 Kode Penal. Menyusul
penahanan Anwar, pada 20 September 1998, 16 kolega-kolega politik Anwar
turut ditahan di bawah ISA. Mereka yang ditahan termasuk para pemimpin
ABIM yang memiliki pengaruh di lingkungan gerakan Islam mahasiswa.[194]
Pada
Januari 1999, Mahathir menunjuk Abdullah Badawi sebagai Deputi PM
merangkap Menteri Dalam Negeri. Daim ditunjuk sebagai Menteri Keuangan.
Pada hari yang sama, Mahathir mengumumkan penundaan pemilihan tiga
tahunan Majelis Tertinggi, untuk menghindari gangguan kubu Anwar.
Drama
pemecatan Anwar telah membangkitkan emosi yang begitu kuat di antara
orang Melayu. Emosi ini bahkan merayap melintasi batas-batas sosial,
kelas, dan daerah. Perlakuan pemerintahan terhadap Anwar dianggap sangat
menghinakan, sesuatu yang membuat wibawa pemerintah merosot drastis.
Dalam sejarah politik UMNO, belum pernah terjadi legitimasi partai di
mata kaum Melayu betul-betul tergugat seperti sekarang. Isu Anwar dan
momentum reformasi telah menjadi katalis bagi pelembagaan politik
multietnis menghadapi hegemoni politik koalisi BN.
Ketika
Anwar dalam tahanan polisi pada 27 September 1998, beberapa koalisi
mutirasial diluncurkan. Pertama, NGO-NGO yang dipimpin Suara Rakyat
Malaysia (SUARAM) memprakarsai kerja sama multietnis untuk reformasi
politik, ekonomi, dan sosial yang diberi nama Gagasan Demokrasi Rakyat
(GAGASAN). Koalisi mencakup PAS, DAP, PRM dan 14 LSM yang kebanyakan
bergerak di bidang HAM. GAGASAN dirancang untuk mempersiapkan visi-visi
alternatif terhadap kekuasaan BN. Kedua, PAS juga meluncurkan koalisi
Majelis Gerakan Keadilan Rakyat Malaysia
yang anggota-anggotanya mencakup anggota GAGASAN, PAS, DAP, PRM, dan
puluhan LSM, terutama Islam, termasuk ABIM. Sementara GAGASAN fokus pada
tujuan jangka panjang, agenda GERAKAN adalah penghapusan ISA.
Artikulasi politik lain yang bersifat multikomunal adalah ke-ADIL-an,
partai yang dipimpin oleh isteri Anwar Ibrahim, Wan Azizah, yang
dideklarasikan pada 4 April 1999.
Karakteristik yang paling menonjol dari politik Malaysia
selepas Anwar adalah perubahan sikap kelas menengah Melayu. Seperti
dikemukakan beberapa penulis, kelas menengah di negara-negara Asia
adalah kelas yang secara struktural bersahabat dan tidak memusuhi
otoritarianisme, karena itu kurang terdorong untuk mempromosikan
nilai-nilai demokrasi liberal. Menurut Gomez dan Jomo, kelas menengah Malaysia
yang muncul pada 1990-an adalah kelas yang sangat materialistik, yang
menghindari resiko-resiko reformasi dari bentuk pemerintahan
otoritarian.[195] Crouch pada awal 1980-an juga menyatakan bahwa kesejahteraan relatif kelas menengah Malaysia justru menyediakan basis dukungan yang kuat dan justifikasi utama bagi gaya politik otoritarian.[196]
Watak
kelas menengah yang digambarkan seperti di atas tadi berubah drastis
sejak pemecatan Anwar. Untuk pertama kalinya kelas menengah Melayu
terlibat dalam gelombang reformasi, meskipun mereka bukan aktor
utamanya. Demikian pula, sejumlah penting kelas menengah non-Melayu
terlibat dalam gerakan reformasi. Meskipun jarang terlibat dalam
demonstrasi-demonstrasi jalanan, suara-suara mereka menyerukan isu-isu
keadilan, HAM, dan demokrasi nyaring terdengar. Inilah satu faktor lagi
yang membedakan situasi politik pasca Anwar dan pasca krisis 1987. Jika
krisis 1987 diwarnai ketegangan etnis, krisis 1998 yang melambungkan
wacana reformasi justru menerjang sekat-sekat etnis dan politik
perkauman.
Pemecatan Anwar telah menjadi katalis bagi kebangkitan civil society.
Pemecatan Anwar menghasung munculnya politik baru kesadaran multietnis
dalam masyarakat sipil Malaysia, khususnya di antara kelas-kelas
menengah Malaysia muda. Drama Anwar telah memunculkan moral politik
baru, yakni reseptivitas terhadap semacam politik non-rasial.[197]
PAS
muncul sebagai partai yang paling menangguk untung dari kemarahan
Melayu atas pemerintahan BN. Indikasi dari pasangnya gelombang politik
PAS adalah terbitnya majalah dwimingguan Harakah. Dari awal krisis Anwar hingga akhir 1998, oplah Harakah meningkat dari sekitar 60.000 menjadi 300.000 eksemplar. Total penjualan Harakah mencapai RM 700.000 per minggu. Dilihat dari oplah penjualannya, Harakah tidak lagi seperti media alternatif, tetapi media mainstream yang menggeser oplah penjualan New Straits Times dan The Star. Pada awal 1999, Harakah telah menampilkan dirinya bukan saja sebagai corong partai PAS, tetapi suara kelompok-kelompok oposisi bagi reformasi.[198]
PAS juga mengklaim menerima aplikasi keanggotaan partai yang meningkat
sepuluh kali lipat dalam waktu 6 bulan sejak meletusnya krisis Anwar,
dengan 15.000 aplikasi pada Oktober 1998. Seorang pejabat senior PAS
mengatakan bahwa anggota PAS meningkat sekurang-kurangnya 8.000 per
bulan. Anggota PAS melompat 20 persen dalam sepuluh bulan setelah
pemecatan Anwar.[199]
Anggota-anggota baru ini kebanyakan muntahan dari UMNO yang meliputi
semua segmen; tua, muda, kaya, miskin, terpelajar dan tak terpelajar.
Sebelum episode Anwar, PAS biasanya hanya menarik bagi segmen kaum muda
Melayu.
Pasangnya
popularitas kelompok oposisi dan surutnya legitimasi partai berkuasa
membuka peluang untuk mencabut mandat elektoral BN dalam pemilu 1999.
Pemilu 1999 menjadi batu uji baik bagi koalisi partai penguasa maupun
aliansi partai-partai oposisi untuk bertaruh siapa yang paling didukung
rakyat untuk memimpin pemerintahan.
Kendatipun
gugatan atas BN memuncak menyusul bergulirnya reformasi, BN meraih
kembali mandatnya untuk memerintah dan menyukseskan kemenangan lima kali
berturut-turut sejak kepemimpinan Mahathir Mohamad.[200]
BN meraih 56.5 persen suara dan menguasai 76.8 kursi parlemen. Di
tingkat permukaan, kemenangan BN seolah mengukuhkan tesis bahwa pemilu
hanyalah casting suara dari suatu ritual rutin yang
digelar setiap empat atau lima tahun sekali guna memberikan sampul
legitimasi bagi pemerintahan yang sesungguhnya otoritarian.[201] Namun, pemilu 1999 sesungguhnya tidak lagi bisa dipandang sebagai suatu ritual atau orkestra rutin belaka.
Pemilu
1999 telah menunjukkan perubahan konfigurasi politik yang cukup
signifikan. Mayoritas kursi parlemen BN turun drastis dari 166 menjadi
148 dari total 193 kursi yang diperebutkan. Kursi senat BN juga turun
dari 350 menjadi 281 dari 394 kursi yang diperebutkan. Yang paling
penting, koalisi yang ditulangpunggungi UMNO banyak kehilangan suara
justru di kantong-kantong politik Melayu. Hasilnya, BN kehilangan
Terengganu dan Kelantan. Suara-suara Melayu rontok di Kedah, Perlis, dan
Pahang. Hal ini menunjukkan merosotnya dukungan Melayu terhadap UMNO.
Untuk pertamakalinya UMNO memperoleh kurang dari separo (72) dari total
kursi parlemen (148) yang dimenangkan BN. Akibatnya, UMNO kehilangan hak
atas empat posisi menteri, 6 deputi menteri, 1 menteri besar, dan
beberapa kanselir eksekutif negeri, serta sekretaris parlemen.
Pemilu
1999 ditandai naik daunnya PAS. PAS memegang kontrol atas wilayah
Kelantan, merebut negara kaya minyak Terangganu, nyaris merampas kota
kelahiran PM Mahathir Kedah, dan menguasai Pahang dan Selangor.
Perolehan kursi PAS di parlemen meningkat dari 7 menjadi 27 dan kursi
senat hingga 98.
Politik
di Malaysia dalam dekade 1990-an menunjukkan gejala menarik. Didorong
oleh hasrat untuk mengakhiri pemerintahan Barisan Nasional, untuk
pertama kalinya PAS berbicara tentang Islam dengan bahasa demokrasi dan
hak-hak asasi manusia, menghargai kepastian hukum (rule of law),
kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan beragama, hak untuk
hidup bebas dari rasa takut dan ancaman, melindungi hak semua komunitas,
dan lain-lain. Yang mengejutkan, pemimpin PAS mengumumkan kesiapan
partai itu untuk membuka keanggotaan kepada non-Muslim dan untuk
mencalonkan mereka bertanding dalam pemilu atas tiketnya.[202]
PAS juga menyatakan siap berkoalisi dengan partai Cina DAP (Democratic Action Party)
menjelang Pemilu 1999. PAS tempaknya telah melakukan “bedah kosmetik”
untuk menunjukkan kepada dunia luar bahwa tidak ada yang perlu
dikuatirkan dari pemerintahan yang dikuasai PAS.[203]
Bagaimanapun, hasrat untuk berkuasa akhirnya mendorong PAS untuk
bergerak ke tengah. Sebaliknya, pemerintah yang berada dalam posisi
defensif berupaya meningkatkan mandat keislaman mereka agar
sekurang-kurangnya terlihat pro-Islam, jika bukan benar-benar Islam itu
sendiri. Pemerintah Malaysia terdorong untuk seiring dengan jalan
Islamisasi labih karena keharusan-keharusan pragmatis daripada
gagasan-gagasan abstrak.[204]
Pendek kata, orientasi kekuasaan telah membuat UMNO bergerak dari
tengah ke kanan, sementara PAS dari kanan ke tengah. Observasi
Vitikiotis berikut sangat menarik dikutip untuk menutup uraian subbab
ini:
“It
is not inconceivable that if PAS ever came to power in Malaysia they
would behave much like the current ruling Malay elit, deploying moderate
Islamic agenda to shore up their legitimacy…UMNO might in turn adopt
the Islamic struggle to attack PAS”.[205]
(Tidak
mustahil bahwa jika kelak PAS berkuasa di Malaysia, mereka akan berlaku
seperti elit Melayu yang berkuasa saat ini, menyebarkan agenda Islam
moderat untuk menopang legitimasi mereka… UMNO sebaliknya mengambil
perjuangan Islam untuk menyerang PAS).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di
bawah Mahathir, meski secara tradisional terlihat simbolis, perlakuan
pemerintah terhadap agama memperoleh dimensi yang lebih substantif.
Secara keseluruhan, perlindungan umum yang dilakukan pemerintah terhadap
Islam menunjukkan bahwa Mahathir adalah seorang pendukung Islam yang
berani, dan juga seorang politisi yang sangat cerdik. Mahathir
mampu secara cerdik menyatukan masa lampau dan masa kini, mengakomodasi
dan mengkooptasi Islam sebagai gerakan politik, dan juga piawai
memanfaatkan Islam dalam politik domestik, regional, dan internasional.
Di bawah Mahathir, program Islamisasi pemerintah berkisar dari
menggunakan simbol-simbol dan retorika Islam hingga mendirikan
lembaga-lembaga Islam.
Kendatipun
terlihat sungguh-sungguh mendukung Islam, kebijakan Islamisasi Mahathir
dilakukan tidak lepas dari motif-motif politis, di antaranya untuk
mengecoh PAS yang menjadikan Islam sebagai basis perjuangannya. Di
bawah tekanan gelombang revivalisme Islam yang melanda masyarakat
Melayu, hasrat UMNO untuk tetap berkuasa membuatnya tidak memiliki
pilihan lain kecuali mengusung Islam jika tidak ingin ditinggalkan
pendukungnya. Agenda Islam UMNO telah menempatkan partai ini dalam
posisi yang lemah dan rapuh berhadapan dengan PAS. UMNO masuk dalam
wacana yang dikembangkan PAS dan mengikuti PAS dalam mendefinisikan apa
yang Islami dan tidak Islami dalam hubungannya dengan politik—hal yang
menjadikan UMNO masuk dalam permainan kucing-kucingan yang tidak akan
pernah dimenangkannya. Pendekatan baru pragmatisme politik Muslim dekade
1990-an telah menampakkan kecenderungan Islamisasi UMNO dan
demokratisasi PAS. Orientasi terhadap kekuasaan telah membuat UMNO
bergerak dari tengah ke kanan, sementara PAS dari kanan ke tengah.
Sebagian
orang memandang kebijakan Islamisasi yang dilakukan Mahathir hanya
kosmetik, yang sesungguhnya didorong oleh pertimbangan politis dan
pragmatis ketimbang keinginan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan
Islam sebagai din al-fitrah. Dalam
banyak kasus, Islamisasi menjadi tidak lebih dari sekadar pernyataan
kembali aspek-aspek simbolik dan ritualistik yang tentunya periferal dan
tidak identik dengan Islam. Sebagaimana dinyatakan seorang analis,
persepsi umum mengenai Malaysia sebagai bangsa Muslim yang patut
dicontoh oleh bangsa-bangsa Muslim lain, apapun alasan pujian itu,
merupakan akibat dari salah baca yang serius terhadap situasi yang
sebenarnya.
Terlepas
dari berbagai penilaian semacam itu, Mahathir telah berjasa menorehkan
warna Islam di Malaysia dan mengukuhkan tempat Malaysia di lingkungan
negara-negara Muslim.
B. Saran
Penilitian
ini adalah riset pendahuluan yang menguak salah satu segi dari politik
Malaysia. Segi-segi lain, seperti adakah hubungan kebijakan Islamisasi
Mahathir dengan menguatnya gejala radikalisme Islam di Malaysia, belum
tersentuh dalam penelitian ini. Kajian politik perbandingan lintas
kawasan semakin mendesak untuk digalakkan, terlebih di
negeri-negeri Asia Tenggara. Pengalaman masing-masing negara dalam
proses pembangunan bangsa penting diungkap sebagai bahan untuk saling
berkaca. Karena itu, materi perbandingan harus diperluas yang mencakup
telaah mengenai aspek-aspek ekonomi politik dan sosial budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Abaza, Mona, “Intellectuals, Power and Islam in Malaysia: S.N. al-Attas or the Beacon on the Crest of a Hill”, Archipel 58, Paris (1999).
Abdullah, Firdaus Haji, Radical Malay Politics: Its Origins and Early Development. Petaling Jaya: Pelanduk Publication, 1985.
Abdul Rahman, Tunku, May 13: Before and After. Kuala Lumpur: Utusan Melayu Press, 1969.
ABIM, Kebangkitan Islam di Malaysia: Peranan ABIM. Kuala Lumpur: ABIM Headquarters, tt.
No comments:
Post a Comment