BAB I
PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
a.Definisi Pers
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia, kata ‘pers’ berarti:
1)
Alat cetak untuk mencetak buku atau surat kabar
2)
Alat untuk menjepit, memadatkan
3)
Surat kabar dan majalah yang berisi berita-berita seperti yang ditulis
oleh…
4)
Orang yang bekerja di bidang persuratkabaran.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, istilah
pers merupakan nama seluruh penerbitan berkala: Koran, majalah, dan kantor
berita.
Menurut Ensiklopedi Pers Indonesia,
istilah pers merupakan sebutan bagi penerbit atau perusahaan atau kalangan yang
berkaitan dengan media massa atau wartawan. Sebutan ini bermula dari cara
bekerjanya media cetak yang awalnya menekankan huruf-huruf di atas kertas yang
akan dicetak. Dengan demikian, segala barang yang dikerjakan dengan mesin cetak
disebut pers.
UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers,
bahwa yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi
massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk
tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam
bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia.
WEINER
Pers adalah "wartawan cetak"
atau "media cetak", "publisitas" atau "peliputan
berita, dan "mesin cetak" atau "naik cetak".
OEMAR
SENO ADJI
* Pers dalam arti sempit: pers
mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, atau berita-berita dengan
jalan kata tertulis.
* Pers dalam arti luas: adalah semua
media mass communications yang memancarkan pikiran da perasaan seseorang, baik
dengan kata-kata tertulis maupun kata lisan.
BERDASARKAN ILMU
KOMUNIKASI
Pengertian pers yaitu:
Usaha percetakan atau penerbitan
Usaha pengumpulan dan penyiaran berita
Penyiaran berita melalui surat kabar,
majalah, radio, dan televisi
Orang - orang yang bergerak dalam
penyiaran berita
Media penyiaran berita, yakni surat
kabar, majalah, radio, dan televisi.
PASAL 1 AYAT (1)
UU NO. 11 TAHUN 1966
Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat
revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang
bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktunya, diperlengkapi atau tidak
diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto,
klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.
AIM ABDULKARIM
Pers merupakan perusahaan yang berbentuk
badan hukum sehingga hasil cetakannya harus dapat dipertanggungjawabkan..
R EEP SAEFULLOH
FATAH
Pers merupakan pilar keempat bagi
demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting
dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN PERS DIRIAU
Sejarah dan
perkembangan pers di Riau tidak luput dari sejarah Riau sendiri. Sejarah dan
perkembangan pers di Riau dimulai dari Kerajaan Melayu Islam di Riau daratan,
Riau Kepulauan dan Semenanjung Malaysia serta Singapura. Setelah mengalami pasang-surut
sejarah dan perkembangan pers di Riau saat ini cukup mengairahakan terutama
dengan banyaknya penerbitan dan besarnya oplah yang terbut di Riau. Namun yang
perlu digaris bawahi bahwa sejarah dan perkembangan pers di Riau tidak pernah
terlepas dari budaya Islam yang menjadi dasar budaya melayu sendiri.
·
Awal Perkembangan.
Sejarah pers Riau sebenarnya tak dapat
dipisahkan dari riwayat kerajaan Melayu-Riau. Kerajaan Melayu ini dahulu
menyatu dengan wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia), Singapura, Riau daratan
dan kepulauaan Riau. Sehingga awal perkembangan Pers di Riau lebih diwarnai
sistem pemerintahan di kerajaan dan masyarakat Melayu pada saat itu yakni
budaya Islam.
Tonggak
sejarah Pers di Riau dimulai pada tanggal 23 Juli 1906 dengan lahir pula
majalah Al-Iman pimpinan seorang juruwarta keliling Kerajaan Melayu Riau-Lingga,
bernama Radja ’Ali bin Radja Moehammad Joesoef Al-Ahmadi Yang Dipertoean Moeda
Riau, atau dipanggil Raja Ali Kelana. Walaupun bukan penerbit pertama di
Indonesia, namun Al-Iman termasuk majalah awal mula yang terbit dan
menyampaikan semangat perjuangan di Indonesia.
Dalam
pengelolaan Al-Iman dia bekerja-sama dengan seorang ulama asal Minangkabau,
Sjech Moehammad Tahir Djalaloeddin Falaki, dan Haji Abbas bin Moehammad Thaha.
Majalah ini sepenuhnya dikelola para alim-ulama dan cendekiawan Melayu, termasuk
Hitam Chalid dan Said Syeich Ahmad Al-Hadi. Di samping itu juga tercatat nama
Sjech Salim al-Kilali, seorang saudagar batik Cirebon.
Karena
iklim dan kondisi politik kolonial Balanda di Indonesia pada waktu itu
senantiasa mencurigai setiap kegiatan yang berbau pergerakan, majalah Al-Iman
terpaksa dicetak di Singapura dan didistribusikan ke daerah Sumatera, Jawa,
Tanah Semenanjung Malaya, dan di Singapura sendiri. Percetakan yang mengerjakan
Al Iman bernama Al-Ahmadiyah Press milik himpunan cendekiawan kerajaan
Melayu-Riau-Lingga, Rusydiyah Club. Percetakan ini konon mulanya didirikan oleh
Syarikat Dagang Ahmadi milik Radja Ali Pulau asal Midai, Kepulauan Natuna,
dengan nama Mathba’at Al Ahmadiyah, yang kemudian terkenal dengan Al Ahmadiyah
Press, beralamat di Jalan Lord Minto No. 50, Singapura. Majalah AL Iman
diterbitkan oleh Al Iman Printing Company Ltd., Singapura dengan menggunakan
tulisan Jawi (Arab-Melayu).
Adapun tujuan dari penerbitan majalah ini
adalah untuk menggalang rasa persatuan dan kesatuan di kalangan anak negeri
(bumiputra) dalam menghadapi penindasan penguasaaan kolonial Belanda. Selain
itu majalah ini meryupakan alat komunikasi dan penyampaiaan aspirasi masyarakat
terhadap penjajahan di Indonesia,
Selain mengelola penerbitan Al-Iman Radja Ali
kelana juga menerbitkan beberpa buku. Pada tahun 1898 Radja Ali kelana
menerbitkan buku berjudul Perhimpunan Plekat, yang juga dicetak di Mathba’at Al
Riauwiyah, Pulau Penyengat. Beberapa buku lain yang diterbitkan Radja Ali
kelana adalah Kumpulan Ringkas Al Iman (1909), Bughyat al-Ani fi Huruf
al-Ma’ani (1922), dan Rencana Madah (1926). 2)
Menjelang
Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, atau 22 tahun setelah kehadiran Al Iman, di
Singapura terbit pulamajalah MASA yang dikelola para pengarang asal Riau, Radja
Moehammad Joenoes Ahmad Riauwi dan Farid Djamil Moeda. Majalah yang terbit
setiap awal bulan Arab dan menggunakan tulisan Arab-Melayu (Jawi) ini dicetak
pada percetakan Mathba’at Djamiliyah Farid Djamil Moeda di Jalan Sulaiman No.
19, Muar, Johor.
Majalah
berformat 30 x 20 cm. ini memuat aneka berita, riwayat, sejarah, dan
pengetahuan umum. Dalam edisinya 16 Mei 1934, Tahun VI, di halaman 43, MASA
memuat berita tentang lagu Indonesia Raya yang dilarang oleh penguasa Kerajaan
Hindia Belanda (Nederlans Oost Indie). Ditulisnya bahwa lagu Indonesia Raya
dilarang dinyanyikan dengan mulut (suara), kecuali hanya dengan musik saja. 30
·
Masa Penjajahan
Jepang
Pada tahun 1944 masa penjajahan Jepang, di
Pekanbaru terbit sebuah media mingguan propoganda Jepang Riau Kobo yang
dikelola badan propoganda Jepang, Seng Deng. Mingguan ini dikelola dengan
memanfaatkan tenaga seorang wartawan Indonesia yang aktif dalam gerakan
kemerdekaan, bernama Sboe Bakar Abdoeh. Pada tahun yang sama terbit pula
majalah Fajar Asia di Syohnan To (Singapura). Majalah ini berisi artikel
feature dalam bahasa Indonesia sebagai propoganda Jepang tentang Asia Timur
Raya. Di samping sebagai media propoganda Jepang, majalah ini juga dimanfaatkan
para wartawan muda Indonesia dan Semennanjung Malaya untuk kmenyalurkan
aspirasi mereka tentang kemerdekaan. Mereka terinspirasi dan terangsang oleh
kebangkitan kaum muda Mesir dan Timur Tengah.
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II (1945)
terbit pula majalah bulanan Kenchana, yang bertujuan untuk persatuan Melayu
Raya Indonesia dan Semenanjung Malaya. Majalah yang diterbitkan di Singapura
ini ditangani oleh Harun Aminurrashid, Naz Achnas dan Amir Haji Omar, dan diisi
oleh banyak jurnalis Melayu dari Riau dan para penulis dari Indonesia.
Sebagaimana umumnya media yang mengandung misi perjuangan waktu itu, majalah
Kenchana pun tidak berumurn panjang. Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan,
majalah inipun tak terbit lagi.
Selain
penerbitan yang sudah ada di Pekanbaru terbit pula surat kabar Pekanbaru Shimbun
yang dikelola sendiri oleh orang-orang Jepang sebagai alat komunikasinya.
·
Masa Kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan Indonesia koran Riau Koho
diambil-alih oleh para pemuda pejuang namanya mereka ganti menjadi Perdjoeangan
Kita. Pimpinan redaksinya dipegang oleh Aboe Bakar Abdoeh yang tadinya mengasuh
surat kabar Riau Koho bersama Jepang. Perdjoeangan Kita mempunyai sasaran untuk
membangkitkan semangat para pemuda pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Koran ini diterbitkan dengan tiras 3000 eksemplar, suatu angka yang
cukup besar untuk ukuran zaman revolusi itu.
Waktu
Agresi Belanda II (1948-1949) di Pekanbaru terbit koran stensilan Perintis.
Walaupun bentuknya sangat sederhana dan sirkulasinya terbatas, koran ini telah
berjasa besar dan sangat berperan dalam membangkitkan semangat perjuangan anak
bangsa di Kota Bertuah ini.
Pada
masa perang gerilia di daerah pengungsian, yakni kampung Dua Pelanduk, Tanjung
Palas, pedalaman Dumai di pantai timur Sumatera, lahir pula mingguan stensilan
Republiken. Mingguan ini dikelola oleh Nurdin sebagai Pemimpin Redaksi dan Sersan
Mayor CPM Nahar Efendy sebagai Penanggung Jawab.
Setelah
Belanda mengakui kedaulatan RI 27 Desember 1949, di Riau terbit beberapa surat
kabar harian atau mingguan. Tidak hanya di kota-kota kabupaten seperti
Pekanbaru, Tanjung Pinang dan Rengat, tapi merambah sampai ke ibukota
kewedanaan dan kecamatan. Peluang suasana liberal semasa Republik Indonesia
Serikat (RIS), yang setahun kemudian (27 Desember 1950) diutuhkan kembali oleh
Bung Karno menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), betul-betul dimanfaatkan
oleh para praktisi pers Riau yang sudah mulai membentuk jati dirinya sejak awal
abad itu.
Pada
tahun 1950 di Tanjung Pinang terbit media stensilan empat halaman bertajuk
Bulletin IPPI pimpinan Korengkeng. Lima tahun kemudian bulletin ini berganti
baju menjadi Sari Pers, diasuh orang yang sama dan juga di reproduksi secara
stensilan empat halaman. Media yang kedua ini bertahan sampai tahun 1957.
Tahun
1954, di Bagansiapiapi terbit surat kabar stensilan Pewarta Kita sebagai
penyeimbang dari tiga koran beraksara Cina dan berbahasa Mandarin (juga
stensilan) yang di terbitkan oleh tiga kelompok etnis Tionghoa berbdea ideologi
di kota tersebut. Koran pertama berkiblat ke Peking (Republik Rakyat Tiongkok
yang berpaham Komunis yang atau lazim disebut kelompok go kak atau ”bintang
lima”). Yang kedua berkiblat ke Taiwan (Kwo Min Tang, atau Cina Nasionalis,
dikenal sebagai kelompok cap ji kak atau ”bintang 12”), dan yang ketiga adalah
milik WNI keturunan yang bernaung dibawah panji-panji partai Baperki, yang
diketuai Siauw Giok Tjhan.
Pewarta
Kita, surat kabar pertama dan satu-satunya koran berbahasa Indonesia yang
terbit di Bagansiapiapi saat itu, diasuh oleh suatu generasi multi usia dengan
aneka latar belakang. Mereka adalah A. Baza alias Pak Benggol (pensiunan bea
cukai), Dollah Achmad (pensiunan polisi), M. Arsyad dan Djohan Joenoes
(karyawan Bank Rakyat Indonesia), A. Togo Hanafie (tokoh pemuda), dan Moeslim
Roesli (wartawan Harian Warta Berita dan majalah WAKTU, Medan).
Pada
tahun 1956, di Pekanbaru terbit suratkabar mingguan Kumandang pimpinan B.M.
Thahar yang nada pemberitaan dan tajuk rencananya cenderung merupakan terompet
gerakan Dewan Banteng di Sumatera Tengah. Di tahun yang sama, di Selatpanjang,
terbit sebuah mingguan yang dipimpin oleh trio A.Manan Thalib, seorang seniman,
A.Gaffar Noor, jebolan Akademi Wartawan Effendi Harahap Institute di Medan yang
pernah menulis untuk koran Padang Nippo di Padang pada zaman Pendudukan Jepang
(Perang Dunia II), dan Idris Rajiman, seorang penulis tempatan. Mingguan
stensilan ini cuma terbit selama setahun saja.
Setahun
kemudian terbitlah mingguan Bahtera, pimpinan Abdoel Moeis Hadjads, sebagai
pendukung perjuangan pembentukan Provinsi Riau yang ingin berpisah dari
Provinsi Sumatera Tengah. Kedua media tersebut sama-sama dicetak di Padang,
karena Pekanbaru belum memiiliki unit percetakan yang sanggup mencetak koran
ukuran plano. Sirkulasi dan distribusi kedua koran tersebut meliputi wilayah
Keresidenan Riau, Jambi dan Sumatera Barat. Waktu itu ketiga wilayah masih
berada dalam kawasan Provinsi Sumatera Tengah, dengan ibukotanya Bukittinggi,
yang kemudian dipindahkan ke Padang.
Pada tahun 1958 lahir pula mingguan Taruna
yang juga dicetak di luar daerah. Koran Kumandang, Bahtera, dan Taruna berhenti
terbit akibat terjadinya peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) pada awal 1958. 11)
Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), di
Riau terbit koran-koran Riau Pos (1959), Sinarmasa (1961), Suluh Riau, Gotong
Royong, Duta Riau, dan Obor (1962). Kemudian menyusul pula Teladan Minggu dan
Angkatan Bersenjata edisi Tanjung Pinang (1963).
Pada
bulan Maret 1959 terbitlah suratkabar mingguan Riau Pos empat halaman, yang
dicetak di Jakarta. Koran ini dimotori oleh Letnan Kolonel (pur). Hassan Basri,
bersama Wan Sulung (Selatpanjang), dan Tengku Marhaya (Pekanbaru). Kru Riau Pos
terdiri dari Abu Hasyim K. sebagai Pemimpin Umum, serta Zoechrij Lilith dan
G.N.T. Ilyas sebagai redaksi. Riau Pos pertama ini terbit dengan izin Penguasa
Perang Daerah (Peperda) Swatantra Tingkat I Djakarta Raya. Riau Pos ini
merupakan koran Riau yang punya dua ”markas” (Pekanbaru dan Jakarta), Koran ini
menyandang sebuah trilogi semboyan: ”mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945
Karena berbagai kendala, terutama jarak yang
sangat jauh antara kedudukan redaksi Riau Pos dengan lokasi pecetakan, masalah
transportasi dan distribusi, serta kesulitan teknis lainnya, koran milik
Letkol. Hassan Basri ini akhirnya terpaksa juga menyerah kepada keadaan, dan
mengistirahatkan diri sejak 1961.
Kekosongan
media yang ditinggal oleh kepergian Riau Pos ini kemudian langsung diisi oleh
kelahiran koran Sinarmasa yang terbit pada 1961. pengelolanya adalah Wan
Sjafroeddin Idroes (Pemimpin Umum), A. Moeis Hadjads (Pemimpin Redaksi), Boestamam
Halimy (Wakil Pemred), serta Mawardittam dan A. Rahman Junus (redaksi). Mulanya
koran ini terbit tiga kali seminggu, berupa stensilan 16-20 halaman, dengan
oplah beberapa ratus eksemplar saja. Kemudian ia tampil dalam format plano
empat halaman, dicetak di Padang, dengan frekuensi terbit menjadi mingguan.
Mereka dibantu dengan karya karikatur goresan Tenas Effendy, dan berita-berita
lokal oleh wartawan RRI Zainal Abbas, Marlis Ramali, dan Arisun Agust.
Koran Riau berikutnya yang memperoleh SIT (Surat
Izin Terbit) dan SIPK (Surat Izin Penerbit Koran) adalah suratkabar Obor.
Walaupun SIT-nya harian tapi hanya mampu terbit dua sampai tiga kali seminggu.
Inilah surat kabar pertama dan satu-satunya yang dicetak setempat waktu itu di
Pekanbaru. Format-nya adalah tabloid (setengah plano) dengan ketebalan 8 sampai
12 halaman dan dikerjakan pada Percetakan Otonom milik Pemerintah Kebupaten
Kampar, di Pekanbaru. Sebelum pindah ke Bangkinang ibukota Kabupaten Kampar
berikut kedudukan Bupati dan seluruh perangkatnya berada di Pekanbaru. Lokasi
Percetakan Otonom waktu itu persis di sudut Jalan Riau dengan Jalan Mawar,
Pekanbaru. Percetakan ini sudah sangat tua, konon bikian tahun 1890. seluruh
hurufnya masih disusun dengan tangan (handzet), mulai dari judul sampai ke
semua naskah berita. Puluhan, bahkan ratus ribu huruf harus disusun huruf demi
huruf, baris demi baris dan kolom demi kolom untuk setiap penerbitan.
Surat kabar Riau lainnya yang terbit pada era
ini adalah harian pagi Suluh Riau di bawah asuhan M. Ali Rasahan, Eddy Mawuntu,
dan Soedirman Backry (1962-1965) yang terbit di Tanjungpinang, disusul oleh
majalah bulanan budaya stensilan Sempena, juga terbit di Tanjungpinang dengan
pengelola H. Soedirman Backry, Samsulkamar A.H., Rona Sjuib, dan Rossanjoto (1962-1967)
Pada tahun yang sama (1962) di Pekanbaru lahir pula mingguan stensilan Gotong
Royong asuhan Burhanuddin Ajam dan Mawardiittam, dan koran minggu Duta Riau
cetakan Medan yang digarap oleh Muhammad S. dan Busra Algerie.
Pada saat-saat kritis menjelang pecahnya
peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI), di Riau terbit lagi lima surat
kabar, yakni Teladan Minggu di Tanjung Pinang (1963), Angkatan Bersenjata edisi
Tanjungpinang (1963-1964), Demokrasi (1964-1965), Angkatan Bersenjata edisi
Pekanbaru (1964-1968), dan Berita Rumbai (1965).
Selain
Obor (1962-1966) dan Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru (1964-1968)
koran-koran pada era Demokrasi Terpimpin ini tak ada yang berusia lanjut.
Angkatan Bersenjata edisi Pekanbaru yang dipimpin Perwira Penerangan Korem
031/Wirabima, Kapten Zuhdi, merupakan koran pertama berukuran plano yang di
cetak di Pekanbaru, menggunakan unit Percetakan ’Daya Upaya hasil perjuangan
mati-matian PWI Cabang Riau. Unit percetakan tersebut ditampatkan di Jalan
Kuantan Raya 101, yang pernah menjadi ”markas” Harian Riau Pos sebelum
menempati gedung sendiri di Jalan Raya Pekanbaru-Bangkinang (sekarang H.R.
Subrantas) KM 10 1/2, tanggal 5 Maret 1997.
·
Masa Orde Baru
Selama
12 tahun pertama Orde Baru (1966-1978), di Riau hampir tidak sebuahpun
suratkabar yang berhasil hidup, selain organ resmi humas Pemda Provinsi, yakni
Gema Riau. Memang pernah terbit sebuah majalah kanak-kanak , Nenek Kebayan,
sebuah mingguan, Sempana, serta dua majalah budaya, Solarium dan Canang, tapi
sayang tak satupun yang berumur panjang.
Gema Riau diterbitkan oleh Bagian Hubungan
Masyarakat Kantor Gubernur, setelah Kolonel Arifin Achmad memangku jabatan
Gubernur Riau menggantikan Brigjen. Kaharoedin Nasoetion di penghujung 1966.
Pada mulanya Gema Riau terbit hanya berupa stensilan satu halaman ukuran
kuarto. Distribusinya terbatasuntuk para pejabat dan kantor-kantor Pemerintah,
ditambah beberapa anggota masyarakat yang berminat saja. Pada bulan September
1967, Arifin Achmad merekrut Drs. Rustam S. Abrus (alm.), untuk menjadi Kepala
Bagian Hubungan Masyarakat Kantor Gubernur Riau. Waktu itu dia masih wartawan
harian Duta Masyarakat di Jakarta.
Surat kabar organ resmi Pemda Riau Gema Riau
sempat bertahan sampai tahun 1980-an, dengan mengalami beberapa kali regenerasi
pengelola sesuai dengan pergantian pejabat Humas Pemda. Demikian juga stafnya
mengalami beberapa kali penggantian dan penambahan sesuai kebutuhan. Peran Gema
Riau ini kemudian digantikan oleh mingguan Warta Karya (1987) pada era Gubernur
Imam Munandar dengan Kepala Biro Humasnya Drs. Aparaini Rasyad.
Melanjutkan
misi dan peran Gema Riau yang sempat eksis di Bumi Lancang Kuning selama hampir
20 tahun, Imam Munandar mendukung ide penerbitan koran baru tersebut. Malah
konon dia sendiri yang memilih nama Warta Karya, dengan penerbitnya Yayasan
Penerbit dan Percetakkan Pers ”Riau Makmur” yang juga dipimpin oleh Imam
Munandar. Pengelolanya adalah Sekwilda Riau Ir. Firdaus Malik, sedang Pemimpin
Redaksi dijabat oleh drs. Asparaini Rasyad, Kepala Biro Hubungan Masyarakat
Kantor Gubernur Riau.
Namun dalam Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP) tertanggal 22 September 1987, sebagai pengganti Surat Izin Terbit (SIT)
Gema Riau, disebutkan bahwa para pengelola Warta Karya adalah Drs. Asparaini
Rasyad (Pemimpin Umum), Zoechrij Lilith (Pemimpin Redaksi), dan Drs. Ruskin Har
(Pemimpin Perusahaan).
Baru berjalan kurang dari setahun, penerbitan
ini sudah mengalami kemacetan akibat kelemahan manajemen, padahal dukungan dana
Pemda Riau cukup tersedia. Mingguan Warta Karya ternyata bernasib sama dengan
pendahulunya, yang akhirnya terpaksa menghentikan penerbitan.
o
Awal Mulanya Riau Pos
Ketika
Gubernur Riau di pegang oleh Soeripto, pertama sekali, dia memutuskan untuk
menghidupkan kembali media pemda, dengan semangat baru, para pengelola baru,
dan bahkan nama baru. Maka diajukannyalah permohonan penggantian SIUPP dari
Warta Karya menjadi Riau Pos, dengan para pengasuhnya Zuhdi SH sebagai Pemimpin
Umum merangkap Pemimpin Redaksi, dan J.K. Aris (Pemimpin Perusahaan). Dengan
diperolehnya persetujuan Menteri Penerangan tertanggal 28 Agustus 1989, maka
mingguan Riau Pos pun mulai beredar dengan melanjutkan nomor edisi Warta Karya
sebelumnya.
Setahun kemudian Riau Pos kembali bernasib
sama dengan pendahulunya, yakni mengalami kemacetan karena lemahnya sistem
pengelolaan (manajemen). Kemudian Riau Pos dikelila oleh Rida K. Liamsi, mantan
pengasuh GeNTA yang hijrah ke harian Suara Karya Jakarta. Dibawah komando Rida
K Liamsi Yayasan Penerbit Riau Makmur, pengayom Riau Pos, akhirnya berhasil
menemukan mitra usaha baru Jawa Pos Group’ dari Surabaya. Kerjasama ini terjalin
berkat jasa wartawan senior Dahlan Iskan, kolega Rida dari majalah berita
mingguan TEMPO, Jakarta.
Bulan
Juni 1990 tercapailah kesepakatan resmi antara YPP ’Riau Makmur’ dengan ’Jawa
Pos Group’. Dan mulai tanggal 17 Januari 1991, Riau Pos pun mulai merajut
sejarah barunya sebagai koran harian pertama di Riau. Sampai sekarang kemitraan
itu sudah berjalan lebih 16 tahun. Dan kini Riau Pos sudah berkembang biak dan
beranak pinak menjadi 12 media cetak (11 koran dan satu majalah), dua media
elektronik (TV), enam unit perangkat cetak koran, sedang jangkauannya telah
menggurita, menggapai sampai ke empat provinsi yakni Riau, Kepri, Sumatera
Utara, dan sumatera Barat.
Tahun
1998 merupakan tonggak sejarah baru bagi pertumbuhan pers perjuangan di
indonesia, lebih-lebih di Riau. Seiring terbukanya pintu reformasi untuk
mendirikan partai-partai baru, media cetakpun muncul bak cendawan tumbuh. Sejak
saat itu dunia penerbitan Riaupun ikut gegap gempita dengan kelahiran sejumlah
penerbitan baru. Pertumbuhan pers Riau betul-betul booming sejak 1998. Puluhan
koran harian, mingguan dan majalah lahir silih berganti. Beberapa di antaranya
ada yang reinkernasi dengan gonta ganti nama.
Dalam tahun pertama reformasi (1998) terbit
tabloid mingguan Pantau, majalah berita Tema, tabloid berita Azam, majalah
budaya Sagang, semua di Pekanbaru, dan harian Lantang di Batam. Tahun
berikutnya (1999) muncul pula majalah bulanan Madani, tabloid berita Mediator
Solusi, harian Suara Kita, harian Media Riau, majalah Utama, harian Pekanbaru
Sore, dan mingguan Cahaya Riau di Pekanbaru, serta mingguan Serantau di
Tanjungpinang. Cuma sayang umumnya tidak mampu bertahan lama, kecuali Sijori
Pos, Azam, Lantang, Media Riau, dan Sagang. Suara Kita yang kemudian berganti
nama menjadi Suara Riau, tadinya diperkirakan bakal bertahan lama, dan bisa
menjadi pesaing Riau Pos. Tapi ternyata hanya bertahan dua tahun.
Tahun
2000 nafsu menerbitkan koran malah kian menggebu-gebu. Waktu itu tampil pula
harian Riau Mandiri, Riau Express dan Sijori Mandiri yang didukung modal yang
cukup kuat, serta sejumlah tabloid mingguan
BAB III
TOKOH PERS RIAU
A.TOKOH PERS
RIAU
v ATIKA SURI -JURNALISTIK
Atika suri
(lahir di Lirik, Riau, 10 Februari 1968; umur 46 tahun) adalah salah
satu dari pembawa acara berita perempuan di Indonesia yang juga menjadi
produser program berita televisi. Atika Suri mengawali kariernya sebagai
presenter di TVRI untuk acara Kamera Ria sampai 1993 dan pindah reporter and
pembawa acara berita di RCTI untuk acara Nuansa Pagi pada tahun 1993. Sejak itu
ia banyak meliput kegiatan kepresidenan di Istana termasuk lawatan ke luar
negeri dari mantan presiden Soeharto and Abdurrahman Wahid.
Atika Suri kini menjadi produser program musik siang
TVRI Kamera Ria berita siang RCTI, Buletin Siang, yang merupakan acara berita
dengan rating tertinggi di siang hari. Tugasnya adalah mengelola produksi
berita sesuai kebijakan keredaksian RCTI. Atika menyeleksi dan menentukan
urutan berita berdasarkan kepentingan dan nilai berita, menulis berita dan
menerjemahkan naskah dari kantor berita atau televisi asing seperti APTN dan
CNN, menyunting naskah reporter dan mengisi suara. Sebagai produser, Atika Suri
bertanggung jawab atas seluruh isi program berita tersebut dan semua aspek
produksinya.
Sejak 2004, Atika Suri kembali menjadi penyiar berita
pagi RCTI Nuansa Pagi bersama rekannya Ade Novit. Atika Suri juga pernah
menjadi penyiar utama Buletin Siang serta membawakan program berita utama RCTI
Seputar Indonesia selama beberapa tahun.
Atika Suri adalah lulusan Universitas Trisakti
Jakarta. Selama menjalani kariernya sebagai jurnalis televisi, Atika Suri
pernah mengikuti sejumlah pelatihan professional termasuk Jurnalisme Damai dari
BBC tahun 2001, CNN Television Workshop bulan Oktober 2000, and TV News Production
Workshops dari Frank N. Magid Associates pada tahun 1995 and 1996. Atika Suri
juga masuk nominasi penyiar berita wanita terfavorit dalam Panasonic Awards
pada tahun 2000.
v BUSRA
ALGERIE- TOKOH PERS RIAU
Busra Algerie
(lahir di Sianok Anam Suku, IV Koto, Agam, Sumatera Barat tahun 1935 -
meninggal di Pekanbaru, Riau 17 Februari 2007 pada umur 72 tahun) adalah
seorang wartawan dan penulis Indonesia dari Pekanbaru, Riau.[1] Ia merupakan
salah seorang pendiri koran Riau Pos serta PWI Riau dan juga pernah menjabat
sebagai ketuanya. Busra juga merupakan anggota Dewan Komisaris PT Riau Pos
Intermedia, sebuah perusahaan yang menerbitkan media di Pekanbaru yang pasarnya
mencakup beberapa provinsi sekitarnya.
Busra dikenal
sebagai wartawan dan penulis yang handal. Sebelum berkiprah di Pekanbaru, Busra
Algerie aktif menulis di Harian Haluan Padang pada tahun 60-an dan 70-an dan
mengasuh rubrik Si Jibun jo Si Kiah yang populer pada masa itu di Sumatera
Barat.
Busra merupakan salah seorang tokoh pers dan tokoh
masyarakat Minang di Pekanbaru, Riau yang berasal dari Sianok Anam Suku, IV
Koto, Agam, Sumatera Barat. Ia meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya
di Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru pada tanggal 17 Februari 2007 dalam usia 72
tahun dengan meninggalkan seorang istri dan sepuluh orang anak.
v WANDRA DONIE – BLOGGER
BAB IV
PENUTUP
1.KESIMPULAN
Dalam UU
nomor 40 tahun 1999 tentang pers, bahwa yang dimaksud dengan pers adalah
lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media
cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
BERDASARKAN
ILMU KOMUNIKASI
Pengertian
pers yaitu: Usaha
percetakan atau penerbitan
Usaha
pengumpulan dan penyiaran berita
Penyiaran
berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan
televisi
Orang - orang
yang bergerak dalam penyiaran berita
Media penyiaran
berita, yakni surat kabar, majalah, radio,
dan televisi.
2.SARAN
Untuk
kemajuan jurnalistik zaman sekarang, kita sebagai mahasiswa harus banyak
belajar dari orang-orang yang berpengalaman dan banyak membaca tentang jurnalistik dan banyak membaca Koran atau pun
menonton berita , tapi semua itu tidak hanya kita lakukan begitu saja melainkan
harus kita cerna,bagaimana berita tersebut,apakah sesuai dengan kenyataan atau
hanya gossip belaka, dan dan kita perlu mencari inti dari berita tersebut, dan
jurnalistik adalah salah satu media untuk mendapatkan berita ataupun menyiarkan
berita,dan untuk menjadi seorang jurnalis yang
hebat harus lah bersungguh sungguh dalam mempelajari ilmu tentang
jurnalistik.