tanggal 11 april 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Seringkali dan banyak di antara kita
yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal
yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa
ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu.
Mengapa ? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa
memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat
dijelaskan bahwa “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan dan
kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan: “IBADAH adalah suatu istilah yang mencakup segala
sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka
secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa
sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal
yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya
tidak dapat diremehkan begitu saja, misalnya :
- Menjaga lisan dari perbuatan dosa, misalnya dengan tidak berdusta dan mengumbar fitnah, mencaci, menghina atau pun melontarkan perkataan yang bisa menyakiti hati.
- Menjaga kehormatan diri dan keluarga serta sahabat.
- Mampu dan bersedia menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab.
- Berbakti dan hormat kepada kedua orang tua atau orang yang lebih tua dari kita.
- Menyambung tali silaturahim dan kekerabatan.
- Menepati janji.
- Memerintahkan atau setidaknya menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar.
- Menjaga hubungan baik dengan tetangga.
- Menyantuni anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan).
- Menyayangi hewan dan tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat tinggal kita.
- Memanjatkan do’a, berdzikir, mengingat Allah kapan dan dimanapun kita berada.
- Membaca Al Qur’an.
- Mendengarkan ceramah, dan lain sebagainya termasuk bagian dari ibadah.
Begitu pula rasa cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan
agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan
(takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap
qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya,
merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian
dari ibadah kepada Allah” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
BAB
II
P E M B A H A S A N
1.Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti
patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya
tunduk dan merendahkan diri . Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat
disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.
Ini sesuai dengan pengertian yang di
kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan
diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata
‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti
hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya
sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya
untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah”
jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin
kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba
kepada-Nya:
“Dan
Aku tidak diciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (al-Zariyat/51:56)
Menurut istilah syara’ pengertian
ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan
penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah
berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi, ibadah yang
diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah.
Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan
ghayah al-mahabbah. Patuh
kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu
bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang
belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai
Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala
lainnya.
Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah
sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak
dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah
mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta
kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada
Allah.
Dari beberapa keterangan yang
dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh
Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1. Mengikat
diri (iltizam) dengan syari’at Allah yang diserukan oleh para
rasul-Nya, meliputi perintah , larangan, penghalalan, dan pengharaman sebagai
perwujudan ketaatan kepada Allah.
2. Ketaatan
itu harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah
yang paling berhak untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi
segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, perkataan
dan perbuatan lahir dan batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji,
berkata benar dll. Jadi meliputi yang fardhu, dan tathawwu’, muammalahbahkan
akhlak karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah
.
2. Ruang Lingkup Ibadah
Islam amat istimewa hingga
menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan
penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut
cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang lingkup
ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan
amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah
di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali.
Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan
masyarakat adalah ibadah menurut Islam asalkan memenuhi syarat-syarat
tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah
seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah
diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari
oleh Islam dan ada hubungan dengan yang
haram dan
maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2. Amalan
tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara
kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan
memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3. Amalan
tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari
kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
4. Ketika
membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan
ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan
tidak menindas atau merampas hak orang.
5. Tidak
melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalam
melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam
sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta
kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka
waktu tersebut.
3. Dasar-dasar Ibadah
Ibadah harus dibangun atas tiga dasar. Pertama, cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi
larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda,
“Ada
tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan
manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang
lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan
bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya,
sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
(HR Bukhari dan Muslim, dari Anas
bin Malik)
Seorang
hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1. Maqam
takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan
Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2. Maqam
tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak mencintai seseorang
melainkan hanya karena Allah. Ia harus mampu membedakan mana yang dicintai dan
yang dibenci Allah, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3. Maqam
daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia
membenci segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci
jika dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya, cinta harus ditandai
dengan dua hal yaitu:
1. Mengikuti
sunnah Rasulullah saw.
2. Jihad
dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut. Ia tidak merasa takut sedikit pun kepada segala
bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam beribadah, ia harus merasa
takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar menjadi aktivitas rutin
yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam kehidupannya. Maka, dengan
rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan senantiasa khusuk di hadapan-Nya
ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu memelihara dan menjaga ibadahnya
dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT
bias dilahirkan dari tiga hal:
1) Seorang
hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2) Seorang
hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka
kepada-Nya.
3) Hendaknya
hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa
bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada
Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal
tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada
Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai
dengan kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang
senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang ada di sisi
Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba dituntut untuk selalu
berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna.
Seorang hamba harus senantiasa
berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak boleh memiliki perasaan
bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah diterima oleh Allah SWT tanpa
ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam mengharap
rahmat dari Allah.
Ketika ia menyadari kekurangannya
dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera
menyaksikan karunia dan rahmat Allah.
Sesungguhnya, rahmat-Nya jauh lebih luas daripada
segala sesuatu.
Ada beberapa hal yang bisa
menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1) Kesaksian
seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah
atas hamba-hamba-Nya.
2) Kehendak
yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang
ada di
sisi-Nya.
3) Menjaga
diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus
menyatu dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu dari ketiga hal
tersebut, akan menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa
ulama salaf berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan
rasa cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah
hanya dengan rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang
beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij.
Namun, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut,
maka ia mukmin yang mengesakan Allah.
4. Hakikat dan Tujuan
Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam
Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang
tampak maupun yang tersembunyi.
Dari definisi tersebut kita memahami
bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan
manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini
tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab
sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat. Allah
SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan sebesar zarrah pun, dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS Az-Zalzalah 99: 7-8)
Pada suatu risalah, Al-Ghazali
menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua
perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat
tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa
sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’.
Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya,
sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa
dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah,
bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan
menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah
dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan
melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan
hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari
benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal
ini benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang
akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab
Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah
adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT
dan menunggalkan-Nya
sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan
menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang
melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan
makhluk. Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah,
semakin terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan
sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka
kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah
kemerdekaan hati.
5. Makna Ibadah
Ibadah adalah cinta dan
ketundukan yang sempurna.
“Pada saat kita mencintai, namun
kita tidak tunduk kepada-Nya, maka kita belum menjadi hamba-Nya. Dan pada saat
kita tunduk kepada-Nya tanpa rasa ada rasa cinta, kita pun belum menjadi
hamba-Nya. Sampai kita menjadi orang yang mencintai dan tunduk kepada-Nya.”
Kita
harus menyertakan cinta kita kepada Allah di dalam ibadah kita, meskipun pada
hakikatnya cinta itu telah tertanam di dalam jiwa setiap muslim.
Jika tidak, dia belum beribadah kepada Allah. Maka hendaknya dia menghadirkan
cinta itu untuk meraih kenikmatan yang didambakan.
Area
ibadah itu sangat luas hingga mencakup seluruh perilaku yang dicintai Allah.
Ibadah adalah suatu kata yang maknanya mencakup seluruh perbuatan dan perkataan
yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik yang tersembunyi dan yang tampak.
Jangan membatasi ibadah hanya seputar syiar-syiar ta’abbudiyah (ibadah
mahdhah) saja. Yaitu shalat, shaum, haji dan shadaqah. Akan tetapi lebih dari
itu, ibadah itu mencakup seluruh perbuatan yang disebutma’ruf. Rasulullah
bersabda,
“Setiap
perbuatan baik itu adalah shadaqah.”
`Di
antara perbuatan ma’ruf adalah berbuat baik di dalam masyarakat, menyelesaikan
pekerjaan mubah dengan sempurna dan berusaha mencari karunia Allah di muka
bumi. Bahkan area ibadah itu lebih banyak lagi daripada itu, seperti dengan
cara mengubah amalan yang mubah menjadi bernilai ibadah dengan menyertakan niat
yang baik di dalam amalnya. Sebagiamana Rasulullah bersabda,
“Niat
seorang mukmin itu lebih baik daripada amalannya.”
Setiap
amal untuk dunia dan akhirat yang kita kerjakan, pada hakikatnya semua adalah
untuk kepentingan akhirat.
6. Jalan agar Ibadah dapat diterima
oleh Allah
Ibadah dalam arti sebenarnya adalah
takut dan tunduk sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama.
Seseorang akan belum sempurna ibadahnya, kalau hanya dilakukan lewat perbuatan
saja, sedangkan perasaan tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari hati.
Bila ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain
misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti ia
telah mempersekutukan Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh
Allah. Agar ibadah kita dapat diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap
berikut :
1. Ikhlas,
artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan karena mengharap pemberian
dari Allah, tetapi semata-mata karena perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena
mengharapkan surga dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan
neraka tidak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan
riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia dan supaya dilihat
oleh orang lain.
3. Bermuraqabah,
artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan selalu ada disamping kita sehingga
kita bersikap sopan kepada-Nya.
4. Jangan
keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu tertentu, sedapat
mungkin dikerjakan di awal waktu.
7. Tanda-tanda seseorang
yang merasakan nikmatnya Ibadah
Kenikmatan ibadah itu memiliki tanda-tanda sebagaimana
firman Allah,
“Tampak
pada muka mereka tanda-tanda bekas sujud” (QS. Al-Fath: 29)
Ini menunjukan bahwa orang-orang
yang mampu merasakan nikmatnya beribadah akan membekas di wajahnya serta dalam
tingkah laku dan kepekaannya.
Kemudian tanda-tanda yang dapat
dilihat dari seorang mukmin yang telah merasakan kenikmatan ibadah adalah,
1. Bersegera
melakukan ketaatan
Pada
saat seorang mukmin bertemu dengan satu amalan ketaatan, apapun amalan
tersebut, dia akan bergegas untuk menyambutnya dengan rasa senang, baik amalan
itu datang ketika waktu shalat atau saat-saat menjelang bulan Ramadhan yang
penuh berkah atau ketika musim haji atau jihad fi sabilillah atau amalan-amalan
shalih lainnya.
Salah
seorang pemuka tabi’in bernama Said bin al-Musayyib berkata,
“selama
tiga puluh tahun aku telah berada di masjid sebelum muadzin mengumandangkan
adzan.”
Muhammad
bin Sima’ah at-Tamimi berkata, “selama empat puluh tahun aku belum pernah
tertinggal dari takbir pertama bersama imam kecuali pada hari ketika ibuku meninggal.”
Salah
seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah, apabila ingin keluar rumahnya dia
shalat dua rakaat. Apabila masuk rumah dia pun shalat dua rakaat dan beliau
tidak pernah meninggalkan kebiasaannya itu. Rasulullah pun memuji dirinya, beliau
bersabda,
“Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya kepada saudaraku Abdullah bin Rawahah, dia selalu menghentikan
untanya di mana saja dia dapat mendapatkan waktu shalat itu telah tiba”
Bukan hanya dalam persoalan shalat.
Di dalam semua jenis ketaatan kepada Allah yang lain pun demikian. Seperti
kisah yang tidak asing lagi, yaitu Abu Bakar dan Ummar yang berlomba-lomba
dalam melakukan kebaikan. Oleh karena itu, pada hakekatnya setan setan itu
sangat menginginkan seorang mukmin berlambat-lambat untuk melakukan ketaatan.
2. Memanjangkan
shalat
Orang yang merasakan nikmatnya
ibadah, dia tidak merasakan bahwa waktu itu terus berlalu, bahkan waktu yang
panjang baginya terasa sesaat.
Dahulu Nabi Muhammad SAW. Melakukan
shalat malam dengan membaca surat al-Baqarah, Ali
Imran dan an-Nisa’ dalam satu rakaat. Beliau tidak merasakan panjangnya waktu
untuk berdiri dalam shalat karena sibuk menikmati lezatnya bermunajat.
Shalat itu mempunyai bacaan yang
mampu melupakanmu dari makanan dan melalaikanmu dari perbekalan
3. Berpuasa
secara rutin
Sebagaimana halnya seorang hamba
yang senang menikmati ibadah dengan memanjangkan shalatnya, dia pun senang
melakukan puasa secara rutin. Selain menahan lapar dan nafsu, dengan puasa juga
akan memberikan vitamin kepada jiwa dan akan mendekatkan diri kepada Dzat yang
Maha Penguasa Yang Paling Tinggi.
4. Membaca
Al-Qur’an
Allah telah mensifati orang-orang
yang beriman ketika Al-Qur’an turun. Mereka adalah,
“Adapun orang-orang yang beriman,
maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.”(QS. at-Taubah: 124)
Mereka merasa gembira karena
ayat-ayat yang tercantum didalamnya merupakan kabar gembira bagi mereka dan
sebagai bentuk ancaman bagi musuh-musuh mereka. Didalam ayat-ayat Al-Qur’an
terdapat jawaban bagi permasalahan yang mereka hadapi dan di dalamnya pun
terdapat perkataan yang tidak bosan untuk di dengarkan.
5. Menyesal
ketika kehilangan kesempatan untuk melakukan ketaatan
Di antara tanda-tanda seseorang
merasakan kelezatan ibadah adalah apabila seorang mukmin kehilangan kesempatan
dalam melakukan kebaikan dia merasa sedih dan gelisah, sehingga dia akan
berusaha untuk tidak kehilangan kesempatan itu untuk kedua kalinya. Dia merasa
sedih karena orang lain telah mendahuluinya menuju seruan Allah. sebagaimana
sedihnya orang-orang kehilangan kesempatan untuk berjihad.
6. Rindu
ingin bertemu dengan Allah
Di antara ciri-ciri orang yang
merasakan kelezatan ibadah adalah dia merindukan pertemuan dengan Dzat yang dia
cintai. Dia merasakan tenteram mendengar dan membaca kalam-Nya, tenteram dengan
shalat, berjihad melawan hawa nafsunya, puasa karena-Nya untuk mendapatkan
derajat taqwa di sisi Allah. Akan tetapi karena dia belum merasakan kegembiraan
melihat-Nya dan dia selalu berdoa kepada Allah.
Sedangkan cirri-ciri orang yang
terhalang dari mendapatkan kenikmatan ibadah sebagai berikut:
1.
Mereka merasa benci untuk melakukan
ketaatan kepada Allah. Allah berfirman,
“Dan mereka
benci untuk berjihad”(QS.at-Taubah:81)
2. Apabila
mereka diajak berinfak dijalan Allah dengan harta yang nantinya akan kekal dan akan kembali kepadanya dengan berlipat
ganda, maka ia enggan menginfakkannya. Sekalipun mereka menginfakkan harta
mereka, mereka akan mengeluarkan harta yang paling buruk. Allah berfirman,
“ Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu nafkahkan dari padanya “ (QS. Al-Baqarah:267)
3. Orang
yang terhalang dari kenikmatan beribadah akan tidur dan orang yang cinta kepada
Allah akan bangun untuk shalat.
4. Malas
untuk melakukan amal.
8. Sarana meraih
nikmatnya ibadah
Adapun sarana untuk mencapai
kenikmatan ibadah antara lain :
1. Ridha
Allah sebagai rabb yang diibadahi
Firman Allah,
“Allah
ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” (QS.at-Taubah:100)
Mereka ridha kepada perintah dan
takdir Allah, aturan dan hukum-Nya dan ridha kepada penciptaan beserta
hikmah-Nya. Cara untuk mendapatkan ridha-Nya adalah dengan bertawakkal
kepada-Nya, menunaikan perintah-Nya dan mengaku kelemahan-kelemahan. Ridha
lahir dari cinta. Barang siapa cinta kepada Allah, dia akan merasakan
kenikmatan ketika menjadi pelayan bagi Dzat yang dia cintai.
2. Ridha
kepada nabi Muhammad sebagai utusan Allah
Sebagai halnya cinta kepada Allah,
maka kita harus mencintai Rasul-Nya, Muhammad SAW. Karena beliau manusia yang
menyampaikan perintah dan larangan dari Allah dan sebagai perantara yang akan
menghantarkan manusia sampai kepada Allah. Cara seseorang untuk ridha kepada
Nabi adalah dengan mencintainya, tunduk dan berhukum kepadanya.
3. Memperdalam
iman kepada hari akhir dan mengetahui hakikat dunia dan akhirat
Memupuk keimanan pada hari akhir
akan mendorong manusia untuk semangat dalam melakukan pekerjaan.
4. Menjauhi
hal-hal yang menyebabkan hati membatu
Barang siapa ingin meraih kenikmatan
beribadah, hendaklah ia bersungguh-sungguh memacu diri untuk menghindar dari
dorongan hawa nafsu dan janji-janji yang semu.
Imam Ibn Qayyim berkata:
“nafsu itu akan mengajak kepada
keburukan, mungkin disebabkan dia bodoh terhadap akibat buruk yang akan timbul
atau karena niat yang rusak atau pada saat tertentu karena dua hal tersebut
secara bersamaan”
5. Bersungguh-sungguh
Barang siapa yang bersungguh-sungguh
menundukkan hawa nafsunya untuk selalu taat, maka yang demikian adalah pahala
yang besar daripada amalan lainnya. Rasulullah bersabda,
“Sudikah kalian aku tunjukkan
kepada sesuatu yang menyebabkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan dan
mengangkat kedudukannya dengan beberapa derajat?” para sahabat menjawab,”Ya,
wahai Rasulullah.” Lalu beliau bersabda:”sempurnakanlah wudhu atas hal-hal yang
di benci, perbanyaklah melangkahkan kaki menuju masjid-masjid dan menunggu
shalat wajib setelah shalat nafilah”
6. Berdoa
7. Merasa
yakin akan mendapatkan tujuan beribadah dan yakin akan berhasil
meraih kenikmatannya
8. Menegetahui
bahwa ibadah itu bukan sekedar bentuk-bentuk yang harus ditunaikan, akan tetapi
ibadah adalah ruh
9. Menjadikan
ibadah sebagai prioritas perhatian seseorang
10. Memberikan kesempatan
istirahat kepada jiwa dan memberikan ketenteraman hati.
9. Jenis
ibadah
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam
Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara
satu dengan lainnya:
1.
Ibadah
Mahdhah,
artinya
penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah
secara langsung. Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada
contoh Rasulullah saw
Salah satu tujuan diutus rasul oleh
Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah.” (QS.
An-Nisa’: 64)
“Dan apa saja
yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka
tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau
tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur”
perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab
hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena
kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas
jangkauan akal)
artinya ibadah bentuk ini bukan
ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi
memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat,
adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan
ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan
ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan
rukun yang ketat.
d). Azasnya “taat”,
yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan
ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan
hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk
dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1. Wudhu 7. Membaca
al-Quran
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah
2.
Ibadah
Ghairu Mahdhah,
(tidak murni semata hubungan dengan
Allah)
yaitu ibadah yang di samping sebagai
hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara
hamba dengan makhluk lainnya . Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang
melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional,
ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
3. Hikmah Ibadah
Mahdhah
Pokok
dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) ,
dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk
mengekpresikan ke Esaan Allah itu,
sehingga dalam pelaksanaannya
diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan
arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke
arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat
dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke
sana untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang
diibadati itu Esa.
“Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya.” (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
BAB
III
P
E N U T U P
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat
penyusun simpulkan bahwa :
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Ibadah adalah ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik keagungan yang tidak terbatas pula. Dalam Islam perhubungan dapat dilakukan oleh seorang hamba dengan Allah secara langsung. ‘Ibadah di dalam Islam tidak berhajat adanya orang tengah sebagaimana yang terdapat pada setengah setengah agama lain. Begitu juga tidak terdapat dalam Islam tokoh tokoh tertentu yang menubuhkan suatu lapisan tertentu yang dikenali dengan nama tokoh tokoh agama yang menjadi orang orang perantaraan antara orang ramai dengan Allah.
Secara garis besar iadah dibagi
menjadi dua:
· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
· Ibadah murni (mahdhah), adalah suatu rngkaian aktivitas ibadah yang ditetapkan Allah Swt. Dan bentuk aktivitas tersebut telah dicontohkan oleh Rasul-Nya, serta terlaksana atau tidaknya sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran teologis dari masing-masing individu.
· Ibadah Ghairu Mahdhah, yakni sikap gerak-gerik, tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal.
Ruang lingkup ‘ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Ianya merangkumi setiap kegiatan kehidupan manusia. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ‘ibadah menurut Islam selagi mana ia memenuhi syarat syarat tertentu.
Manusia diciptakan Allah bukan
sekedar untuk hidup di dunia ini kemudian mati tanpa pertanggungjawaban, tetapi
manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah. Karena Allah maha mengetahui
tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, bertaqwa, diberi
kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diberi kewajiban ibadah agar menusia itu
mencapai taqwa.
Demikianlah makalah sederhana ini
kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan,
itu datangnya dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami
harapkan dari pembaca semua. Terutama dari
Bapak Agustiar,S.Ag,M.Ag selaku pembimbin saya pada
umumnya.
Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah wassalamu’alaikum wr.wb.
Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah wassalamu’alaikum wr.wb.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta:
Kencana, 2003), Cet. Ke-2.
Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.
Syihab, M. Quraisy, M. Quraisy Syihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Cet. Ke-1.
Al manar, Abduh, Ibadah Dan Syari’ah, (Surabaya: PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1
Daradjat, Zakiyah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1.
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2.
Sumber-Sumber Lain ;
[1] Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana,
2003), Cet. Ke-2, hal. 17. M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB
1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, (Jakarta: Lentera Hati, 2008),
Cet. Ke-1, Hal. 3. Abduh Al manar, IBADAH DAN SYARI’AH, (Surabaya:
PT. pamator, 1999), Cet. Ke-1, Hal. 82.
Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67. M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6.
Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5.
Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2002), Cet. Ke-2, Hal. 67. M. Quraisy Syihab, M. QURAISY SYIHAB MENJAWAB 1001 SOAL KEISLAMAN YANG PATUT ANDA KETAHUI, Hal.6.
Zakiyah Daradjat, ILMU FIQIH, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), Cet. Ke-1, Hal. 5.
No comments:
Post a Comment